Senin, 20 April 2009

peradaban persia

A. Awal Peradaban Islam di Persia

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perkembangan peradaban Islam baru bekembang di Persia sejak dinasti Abbasyiah di Baghdad mengalami kemunduran. Namun demikian, perkembangan peradaban Islam kala itu masih sebatas permulaan. Sejatinya, perkembangan peradaban Islam di Persia dimulai sejak berdirinya kerajaan Safawi yang dipelopori oleh Safi al-Din yang hidup sejak tahun 1252 hingga 1334 M.[1] Kerajaan ini berdiri di saat kerajaan Turki Usmani mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan ini pertama kali dipimpin oleh Ismail. Ia berkuasa kurang lebih selama 23 tahun, yakni antara tahun 1501 sampai 1524 M.

Kerajaan Safawi itu sendiri berasal dari sebuah gerakan tarekat bernama Safawiyah yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat Safawiyah ini didirikan bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani di Turki. Hingga di masa perkembangannya, nama Safawi ini terus dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik.

Sebagai pendiri kerajaan, Safi al-Din dikenal sebagai pribadi yang agamis. Ia merupakan keturunan Musa al-Kazhim yang terkenal sebagai imam Syi’ah yang keenam. Setelah ia berguru dengan Syaikh Taj al-Din Ibrahim Zahidi dan menjadi menantunya, ia mendirikan tarekat Safawiyah pada tahun 1301 M. Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah ini bertujuan untuk memerangi orang-orang ingkar dan golongan Ahl al-Bid’aH Namun pada perkembangannya, gerakan tasawuf yang bersifat lokal ini berubah menjadi gerakan keagamaan yang mempunyai pengaruh besar di Persia, Syria dan Anatolia. Di negeri-negeri yang berada di luar Ardabil inilah, Safi al-Din menempatkan seorang wakil yang diberi gelar Khalifah untuk memimpin murid-murid di daerahnya masing-masing.[2]

B. Proses Perkembangan Peradaban Islam di Persia

Peradaban Islam di Persia berkembang cukup cepat. Hal ini ditandai dengan mulai meluasnya daerah kekuasaan pada masa kepemerintahan Abbas I yang menjadi raja kelima dari dinasti Safawi. Meskipun pada masa pemerintahannya sering terjadi perebutan daerah kekuasaan dengan kerajaan Turki Usmani yang notabenenya sebagai sesama kerajaan Islam, namun pada masa pemerintahannya inilah, perkembangan peradaban Islam mulai berkembang pesat.

Ahmad al-Santanawi mengungkapkan bahwa perkembangan peradaban Islam di Persia diawali dengan penunjukkan kota Isfahan sebagai Ibu kota kerajaan Safawi pada saat Abbas I menjadi penguasa kerajaan Safawi. Kota ini merupakan gabungan dari dua kota sebelumnya, yakni Jayy dan Yahudiyyah yang didirikan oleh Buchtanashshar atau Yazdajir I atas anjuran istrinya yang beragama Yahudi.[3]

Terjadi perbedaan pendapat tentang kapan kota ini masuk dalam wilayah Islam. Pemdapat pertama mengatakan bahwa penaklukkan kota ini terjadi pada tahun 19 H atas perintah khalifah Umar Ibn Khattab. Sedangkan pendapat kedua yang beraliran Bashrah menyebutkan bahwa kota ini ditaklukkan pada tahun 23 H di bawah pimpinan Abu Musa al-Asy’ari. Namun terlepas dari kedua perbedaan di atas, al-Santanawi menyatakan bahwa Isfahan menjadi kota penting sebagai pusat industri dan perdagangan setelah penaklukkan kedua terjadi pada masa dinasti Abbasiyyah.[4]

Dengan demikian, peradaban Islam di Persia mulai berkembang pesat setelah kota Isfahan berhasil ditaklukkan oleh bala tentara Dinasti Abbasiyyah untuk yang kedua kalinya. Berangkat dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa proses perkembangan peradaban Islam di Persia dilakukan dalam rangka perluasan daerah kekuasaan.

C. Kemajuan Peradaban Islam di Persia

Sebagaimana diketahui bahwa antara kebudayaan dan peradaban memiliki arti yang hampir sama. Namun dari kesamaan arti tersebut terdapat perbedaan dalam hal perwujudannya. Kebudayaan lebih diwujudkan dalam hal seni, sastra, religi dan moral. Sedangkan peradaban lebih diwujudkan dalam hal politik, ekonomi dan teknologi.[5] Demikian juga dengan kemajuan peradaban Islam di Persia.

Keberhasilan raja Abbas I dalam merebut kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kerajaan lain pada masa raja-raja sebelumnya menjadi tolak ukur kemajuan peradaban Islam di Persia khususnya dalam bidang politik. Selain kemajuan di bidang politik, raja Abbas I juga telah membawa peradaban Islam menuju masa keemasan di bidang yang lainnya seperti ekonomi, ilmu pengetahuan dan pembangunan.

Di bidang ekonomi, raja Abbas I berhasil mengubah pelabuhan Gumrun menjadi pusat perdagangan yang berada pada jalur penghubung antara Timur dan Barat. Sebelum dikuasai sepenuhnya oleh kerajaan Safawi, pelabuhan ini pernah diperebutkan oleh Belanda, Inggris dan Perancis. Di samping itu, raja Abbas I juga berhasil menjadikan daerah Bulan Sabit Subur (Fortile Crescent) sebagai daerah yang maju di sektor pertanian.

Sedangkan di dunia IPTEK, Persia masa itu berhasil melahirkan ilmuwan-ilmuwan handal seperti Baha al-Din al-Syaerazi, Sadar al-Din al-Syaerazi (filosof) dan Muhammad Baqir Ibn Muhammad Damad yang pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah-lebah. Mereka inilah yang selalu hadir di majlis istana untuk mengisi setiap kajian yang diadakan di sana. Pada masa ini, Persia bisa dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan daerah dari kerajaan lain pada masa yang sama.

Pada masa kejayaan inilah, kota Isfahan yang menjadi pusat perkembangan peradaban Islam dihiasi dengan bangunan-bangunan berarsitektur tinggi. Hal ini bisa dilihat pada arsitektur masjid Syah yang dibangun pada tahun 1611 M. Pada pintu masjid ini terdapat lapisan perak yang membuat masjid ini terlihat begitu megah. Selain itu, di komplek salah satu masjid terindah di dunia ini terdapat lapangan serta taman yang masih terawat hingga sekarang. Ketika Abbas I wafat, di Isfahan terdapat 162 Masjid, 48 akademi, 1802 penginapan dan 273 pemandian umum.


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. XVI, 2004, hlm. 138.

[2] Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, Jilid III, Cet. Keempat, hlm. 60.

[3] Ahmad al-Santanawi, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah, Jilid II, hlm. 258-259.

[4] Ibid., hlm. 259.

[5] Effat al-Sharqawi, Filsafat Kebudayaan Islam, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 5

































Soheib Bencheikh: Kita Perlu Desaudinisasi Islam
Oleh Redaksi
Secara umum, perkembangan Islam di Prancis saat ini berjalan sehat. Namun menguatnya corak Islam yang ideologis dan puritan juga cukup mengkhawatirkan. Diperlukan desaudisasi Islam agar mereka lebih mampu menyesuaikan Islam dengan kultur Prancis. Demikian pendapat Dr. Soheib Bencheikh, mantan Mufti Marseilia yang kini sedang merintis French Institute for Islamic Science, dalam kunjugan 10 harinya di Indonesia, kepada Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Sabtu (25/11) lalu.
Secara umum, perkembangan Islam di Prancis saat ini berjalan sehat. Namun menguatnya corak Islam yang ideologis dan puritan juga cukup mengkhawatirkan. Diperlukan desaudisasi Islam agar mereka lebih mampu menyesuaikan Islam dengan kultur Prancis. Demikian pendapat Dr. Soheib Bencheikh, mantan Mufti Marseilia yang kini sedang merintis French Institute for Islamic Science, dalam kunjugan 10 harinya di Indonesia, kepada Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL), Sabtu (25/11) lalu.
NOVRIANTONI (JIL): Apa kesan kunjungan di Indonesia?
SOHEIB BENCHEIKH (SB): Kesan pertama adalah hangatnya sambutan dan perjamuan serta kemurahan hati individu-individu dan lembaga-lembaga yang saya kunjungi. Saya menemukan wajah Islam yang sumringah dan lapang dada di Indonesia. Di sini, saya juga menemukan geliat pemikiran (at-tafkir) sekaligus alpanya pemikiran (`adamut tafkir) di berbagai kalangan yang saya jumpai. Saya banyak bertanya soal tantangan-tantangan Islam di Indonesia, tapi tak banyak jawaban yang saya dapat. Tampaknya, ada banyak ketidakpahaman tentang berbagai konsep dan gagasan dasar yang berlaku di dunia modern saat ini, seperti konsep kewarganegaraaan, sekuralisme, dan demokrasi.
Saya terbiasa memaknai sekularisme sebagai ”netralitas administratif” (hiyadatul idarah) dalam sebuah negara terhadap semua kelompok agama dan keyakinan. Demokrasi saya sebut sebagai sistem yang tak mungkin diingkari dan tidak juga perlu disifati, misalnya dengan sebutan demokrasi Islam, demokrasi Kristen, atau demokrasi ekologis. Sifat-sifat itu pada ujungnya hanya mengorupsi dan menyerabut demokrasi dari akarnya. Demokrasi itu tidak punya warna, bau, juga identitas. Demokrasi adalah ruang yang memberi tempat bagi segala warna, bau dan identitas warga negara untuk mengekspresikan dirinya secara terbuka. Rumusnya: yang paling persuasif dan paling rasional akan diikuti.
JIL: Anda senang melihat Indonesia menjadi negara yang demokratis?
SB: Saya senang. Indonesia adalah negara Muslim pertama yang mengamalkan demokrasi, dan juga prinsip-prinsip negara sekuler. Iklim ini akan memberi kesempatan pada semua kelompok untuk mengekspresikan dirinya. Tapi sayang, di Indonesia dan banyak negera Muslim lainnya, ada semacam hambatan psiko-linguistik untuk menerima penerapan sekularisme. Hambatan psikologis terjadi karena sekularisme memang berasal dari Barat. Bagi sebagian orang, segala yang datang dari Barat harus disikapi secara sekptis walau kita belum membahasnya. Hambatan lingustik terjadi karena ada problem semantik saat kita memaknai kata sekularisme ke dalam bahasa kita.
Mungkin kalangan Kristen Arablah orang yang pertama-tama menerjemahkan kata sekularisme dengan kata Arab, al-`almaniyyah (dinisbatkan pada alam, dunia atau le monde). Itu karena dalam kitab suci mereka, terutama Perjanjian Baru, disebutkan bahwa Yesus bukanlah bagian dari alam. Bahkan dikatakan, setanlah penguasa alam sebenarnya. Mereka lebih memahami sekularisme sebagai kehampaan atau ketiadaan agama.
Sebagian lain menerjemahkan sekularisme dengan sebutan al-`ilmaniyyah yang dinisbatkan pada ilmu. Tampaknya kata ini merujuk pada sebutan untuk kalangan saintisme (scientism). Kalau membaca buku-buku Arab yang menista sekularimse, seperti karangan Syekh al-Qardlawi, bahasannya selalu dimulai dengan pemaparan sejarah sekularisme sejak masa kaum demokrat Yunani dari mazhab atomisme, menuju mazhab materialisme, dan ditarik ke abad XIX ketika pengaruh kalangan saintis (al-ilmawani) makin menguat di masyarakat.
Saintisme, sebagaimana kita tahu, adalah pandangan filosofis yang mengingkari segala sesuatu yang belum terbukti lewat prosedur ilmiah. Mereka terkadang bersikap ekstrim dalam pandagan demikian. Mereka mengatakan, sampaipun soal-soal metafisika, kita sangat mungkin menerima atau tidak menerimanya lewat prosedur pembuktian ilmiah. Tapi sikap demikian lama-lama surut, terutama di Prancis yang menjadi lumbung kalangan saintis.
Filosofi kalangan saintis kemudian berkembang ke arah positivisme, seperti yang dipelopori oleh sosok seperti August Comte. Mereka-mereka yang berpandangan positivistik ini sampai pada gagasan bahwa ilmu tidak akan berkembang kecuali kalau kita benar-benar skeptis terhadap metode-metode yang kita gunakan. Karena itu, ilmu bagi mereka tidak bersifat mutlak, tapi baru tahapan tertentu pencapaian akal manusia. Ilmu juga tidak dianggap bersifat pasti dan berakhir. Sikap demikian membuat seorang ilmuwan tidak dapat mengatakan inilah kesimpulan akhir pembahasan saya. Sikap demikian hanya menutup rapat-rapat pintu menuju ilmu pengetahuan.
Dalam perkembangannya, kalangan ilmuwan kemudian lebih menitikberatkan bahasan pada soal epistimologi pengetahuan atau dengan cara apa ilmu didapat. Bahasan ini kemudian menjadi independen dari filsafat. Berkat epistimologi, kalau ditemukan sesuatu, mereka segera akan membahas metode yang digunakan dalam pencapaian tersebut. Nah, bagi saya, para pemikir di dunia Islam yang menolak sekularisme, sebetulnya sedang menolak saintisme dan klaim-klaimnya. Mereka menyerang sasaran yang salah.
JIL: Apa pemaknaan pribadi Anda terhadap sekularisme?
SB: Bagi saya pribadi, sekularisme bukanah filsafat yang rumit. Laicite di Prancis bukanlah agama dan ideologi. Ia adalah gagasan yang tidak bertubuh dan sangat sederha, yaitu netralitas administratif dalam aspek pengelolaan hubungan antara negara dan agama. Artinya, ketika sebuah negara mendeklarasikan diri sebagai negara sekuler, ia harus memberi ruang bagi setiap orang untuk menerima atau tidak menerima agama. Lebih kongkritnya, sekularisme adalah pemisahan antara urusan agama dan negara. Di situ ada dua faedah penting. Pertama, bagi agama sendiri, dan kedua bagi sebuah negara.
Bagi semua kelompok agama, kita dapat meraskan bahwa semua kita sedang dalam perlindungan negara yang netral, rasional, dan dapat dikritik, karena dia bukan bagian dari suatu institusi yang sakral. Setiap partai yang berkuasa di negara-negara sekuler dapat dikritik, dievalusai, direformasi, bahkan diganti oleh partai-partai yang kemungkinan lebih mampu memimpin dan membuktikan bahwa mereka mampu mengerjakan hal yang lebih baik.
Institusi negara, dengan demikian, menjadi netral, profan, tidak punya mandat dari langit, dan tidak punya nilai kesakralan sebagaimana klaim agama-agama. Negara terbebas dari dogmatisme. Di samping itu, agama juga dapat terbebas dari permainan dan intrik-intrik politik demi mencapai tampuk kekuasaan. Itulah fakta di negara-negara yang sudah mapan dengan sekularismenya.
JIL: Bagaimana dengan negara yang teokratis atau semi-sekuler?
SB: Pemandangan itu berbeda sekali dengan Aljazair, Tunisia, Maroko, dan negara-negara Arab lainnya. Di sana Anda akan menemukan fakta bahwa negara sama sekali tidak mencerahkan, tak dapat diharapkan untuk perbaikan. Tugas negara sekan-akan hanya terfokus untuk satu hal, yaitu menjaga kesucian agama dan kekuasaan para penguasanya. Lebih tepatnya, mereka hanya berkepentingan menjaga corak agama yang konservatif dan terbelakang dan memanfaatkannya untuk tetap langgeng berada di kekuasaan.
Sebaliknya, partai-partai politik yang bertindak sebagai kekuatan oposisi dan kritikus pemerintah berkuasa, juga berhasrat untuk merebut kekuasaan dengan medium yang sama, yaitu mimbar masjid. Semua itu dilakukan dengan menggunakan idiom-idiom keagamaan demi membangkitkan sentimen keagamaan masyarakat. Sentimen keagamaan mayoritas umat Islam, misalnya, selalu menjadi sandera atau pertaruhan di tengah permainan dan intrik-intrik politik yang tidak bermoral sekalipun.
JIL: Mengapa Anda tampak gigih sekali membela sekularisme?
SB: Perlu Anda ketahui, orang-orang yang paling keras berteriak tentang pentingnya pemisahan agama dan negara dalam sejarahnya adalah orang-orang yang tulus dalam beragama. Saya punya alasan praktis untuk membela sekularisme. Sebagai seorang Muslim, di Prancis saya tetap dapat menjalankan Islam dengan penuh keceriaan dan kebanggaan di bawah kekuasaan negara sekuler. Andai kekuasaan politik Prancis hanya dipasrahkan pada prosedur demokrasi yang kadang-kadang lebih banyak bicara soal kekuasaan mayoritas (mayoritas Katolik dalam kasus Prancis, Red), sudah barang tentu kita tidak akan nyaman berada di sana.
Untungnya, pemahaman demokrasi yang dangkal itu sudah berlalu dari Prancis. Prancis sudah lama punya Konstitusi yang menjamin kelangsungan sekularisme, termasuk aspek perlindungan terhadap hak-hak individu dan kaum minoritas. Karena itu, bila ada yang mencela sekularisme secara berlebih-lebihan, saya menyarankan mereka untuk mencoba tinggal di Prancis atau Amerika sekitar lima tahun. Dengan itu, saya yakin mereka akan dapat membuktikan bahwa sekularisme benar-benar melindungi mereka dari sentimen-sentimen keagamaan yang dangkal.
JIL: Para penentang sekularisme memaknai sekularisme lebih dari soal netralitas administratif. Bagi mereka, sekularisme adalah ideologi yang meminggirkan, kalau bukan membuang agama dari kehidupan. Tangapan Anda?
SB: Bohong dan tidak berdasar kalau ada yang mengatakan bahwa sekularisme lebih dari itu dan dapat menggusur agama dari semua level kehidupan. Sekularisme secara sederhana hanya soal cara pengelolaan negara agar tidak gampang dipengaruhi oleh sentimen-sentimen agama murahan. Di Barat, Anda tidak dipaksa untuk beragama atau tidak beragama. Soal anda taat atau tidak taat beragama adalah urusan Anda dengan Tuhan semata. Nuansa itu berbeda sekali dengan apa yang terjadi di negara-negara Arab, baik yang dianggap sekuler maupun yang nyata-nyata bersifat teokratis.
Ketika berada di Arab Saudi atau Aljazair, saya merasa bahwa diri saya sedang dikelilingi oleh aparatur lembaga inkuisisi. Dengan begitu, salatku, ibadahku, hidupku dan matiku, seakan-akan bukan untuk Tuhan penguasa alam. Semua itu seakan untuk menghindar dari orang yang memata-matai setiap gerak-gerik dan ibadah kita. Semua bukan demi Tuhan, tapi untuk menjaga stabilitas kekuasaan atau citra positif di hadapan masyarakat umum.
Di Perancis, sedikit ketaatan yang saya abdikan pada Tuhan benar-benar lepas dari motif-motif seperti itu. Sekalipun bukan orang yang terlalu taat, saya benar-bernar merasa ikhlas ketika beribadah. Tidak ada yang memaksa saya untuk menerapkan Islam atau tidak menerapkan. Dan itulah hakikat Islam; dia hanya disodorkan (yu`radl) bukan dipaksakan (yufradl). Kalaupun saya menerapkan Islam secara konsisten, itu bukan untuk mencari muka di hadapan komunitas Islam atau untuk mendapat kedudukanm khusus dengan pakaian yang mengada-ada.
JIL: Para pejuang negara Islam mengklaim tegaknya negara Islam justru akan menjamin hak-hak minoritas jauh lebih baik dari yang diberikan negara sekuler. Pendapat Anda?
SB: Bagaimana menghilangkan konsep ahluz dzimmah (non muslim yang diproteksi di negara mayoritas Muslim dengan konsesi-konsesi tertentu, Red) yang masih ada di kepala mereka?! Terus terang, saya dan kebanyakan Muslim Prancis tidak pernah ingin menjadi ahluz dzimmah mayoritas Katolik Prancis. Saya dan tentu saja setiap orang, selalu ingin menjadi warga negara yang setara dengan segenap hak-haknya sebagai warga negara yang sah. Para pejuang negara agama di manapun kadang lupa bahwa sekat-sekat agama dalam banyak negara, kini makin mencair dan jauh berbeda dari masa lampau. Anda dapat menyaksikan warga negara Indonesia yang Kristen dan orang Swedia yang Muslim hidup nyaman dalam sebuah negara sekuler yang modern. Kalau perkembangan positif seperti itu terus berkembang, kelak kita akan menemukan suatu negara yang tidak ada lagi yang bermasyarakat mayoritas atau mengklaim sebagai mayoritas.
Revolusi ilmu pengetahuan, sarana telekomunikasi dan transportasi saat ini memungkinkan kita untuk hidup dengan orang lain tanpa perlu tahu identitas primordialnya. Setiap gagasan dapat direngkuh dan setiap orang gampang berinteraksi satu dengan lain. Apa yang ditulis orang Arab Saudi untuk mendiskreditkan agama Kristen, niscaya dibaca dan dipahami Vatikan dalam bahasa Arab. Begitu juga sebaliknya. Karena itu, kalau ingin menjadikan Islam sebagai peserta aktif revolusi dunia masa mendatang, yang potensial menyatukan kita dalam unsur kemanusiaan meski berbeda bahasa dan kebudayaan, maka kita harus terus memperbarui wacana kita tentang Islam dan menyiapkan diri untuk meninggalkan konsepsi-konsepsi lama kita tentang agama ini.
JIL: Tampaknya Anda berangan-angan terjadinya pertemuan dan perbauran budaya, bukan perbenturan dan percekcokak antarbudaya. Apakah gagasan ini cukup realistis?
SB: Pada hakikatnya apa yang disebut perbenturan peradaban itu tidak ada dalam realita. Yang selalu ada di mana-mana adalah perbenturan antara kelompok yang lapang dada (munfatihin) dan yang menutup diri (munghaliq). Tidak ada perbenturan Barat dan Timur. Perlu diingat, yang pertama kali menentang invasi Amerika atas Irak adalah almarhum Paus Yohanes Paulus II. Dan orang pertama yang menutup mata atas tragedi itu, kalau bukan menyepakatinya, adalah Syekh al-Azhar.
Negara yang paling gigih menentang perang dan sampai kini masih menangggung akibat adalah Perancis dan Jerman. Keduanya nyaris kehilangan sekutu abadi dan alamiahnya, yaitu Amerika. Dan negara yang ikut memfasilitasi invasi itu dan menyediakan kawasannya untuk pangkalan militer Amerika adalah negara-negara Arab. Karena itu, benturan antarperadaban itu sebenarnya tidak berwujud kecuali dalam imajinasi para ilmuwan Amerika. Dan demi membuktikan itu, mereka menunjukkannya lewat pelbagai aksi mereka di berbagai belahan dunia.
JIL: Sebagian orang Islam menilai pelarangan jilbab, cadar atau burka, di beberapa negara Barat sebagai bentuk konfrontasi negara sekuler Barat terhadap Islam. Ada perbenturan nilai antara orang Islam di Barat dengan budaya Barat pada umumnya?
SB: Peradaban saya sebagai seorang Arab-Muslim tidak terletak pada keharusan memakai jilbab, apalagi cadar dan burka. Pemahaman-pemahaman tentang standar peradaban yang dibatasi dalam hal-hal yang artifisial seperti itu sudah saya tinggalkan sejak lama. Bentuk peradaban yang saya dambakan adalah peradaban yang senantiasa menjaga moralitas.
Kita tahu, perempuan-perempuan nomaden Arab dulunya juga mengenakan jilbab dengan sedikit belahan pada bagian dada. Karena itu, Alqur’an menganjurkan untuk menjumbaikan jilbabnya ke daerah dada. Kalau kita mengklaim anjaran itu bersifat universal, bagaimana kita menghukumi perempuan-perempuan Muslim di negara Barat dan Afrika yang belum akrab betul dengan budaya jilbab? Karena itu, kita mesti memahami anjuran dalam ayat itu sebagai anjuran untuk berperilaku sopan. Itulah makna universal yang bisa kita tangkap dari ayat-ayat Alqur’an tentang jilbab.
JIL: Anda tidak menganggapnya sebagai bagian pokok dari ajaran Islam?
SB: Saya tidak mengatakan itu, tapi Islam sendiri yang mengatakan. Kita semua tahu, soal itu bukan bagian dari pokok ajaran Islam, tidak termasuk 5 rukun Islam dan tidak pula bagian dari 6 rukun iman. Itu termasuk cabang Islam, yaitu anjuran untuk bertindak dan berperilaku sopan. Dan lebih penting lagi, ada banyak cara bagi kaum perempuan untuk menjaga kesopanan di zaman modern. Bagi perempuan nomaden Arab masa lalu, cara menjaga harkat dan martabat itu diwujudkan dalam aspek yang sangat lahiriah. Tapi bagi kebanyakan perempuan Muslim di Prancis dan Inggris saat ini, yang dititikberatkan justru pembekalan diri dengan sebanyak mungkin ilmu dan keahlian.
JIL: Ada organisasi-organisai Islam Prancis yang medukung pelarangan jilbab, terutama cadar atau burka?
SB: Ada banyak figur politik yang menginginkan agar di kawasan mereka masyarakat Muslim tidak terlalu menonjolkan identitas keagamaanya, terlebih dengan cadar dan burka. Kini banyak isu keamanan yang muncul dari penonjolan simbol-simbol keagamaan itu. Tapi isu seperti itu sebenarnya isu yang sekunder. Bagi kami, perdebatan seputar itu tanpa sengaja telah menggiring Islam untuk tetap berkutat pada persoalan-persoalan yang artifisial. Banyak isu-isu lain yang perlu dibahas lebih serius daripada soal pakaian, seperti isu pendidikan, kemiskinan, dan kesempatan kerja.
Bagi kami, kita tetap harus memperjuangkan Islam sebagai agama yang bersemayam di sanubari tiap induvidu, sehingga kita tidak perlu mengandalkan negara untuk menjaga kelangsungan agama kita. Kita tidak perlu menjadikan soal ketaatan dan ketidaktaatan kita dalam beragama menjadi persoalan negara. Biarlah itu menjadi zona perjumpaan kita yang langsung dengan Tuhan, tanpa intervensi siapapun. Perkembangan Islam yang terlepas dari kekuasaan negara sangat penting karena memang tidak ada dokrin klerisisme di dalam Islam.
JIL: Anda menganggap para pendukung penggunaan cadar atau burka di negara-negara Barat gagal beradaptasi dengan corak kebudayaan Islam di Barat?
SB: Mereka secara umum memang tidak mampu berinteraksi secara positif dengan peradaban dunia. Padahal, sejak dulu salah seorang intelektual Prancis yang banyak menulis tentang Islam, yaitu Roger Garaudy, sudah mengingatkan perlunya kita melepaskan diri dari proyek Saudinisasi Islam (masyru`us sa’wadatil Islam). Kita perlu melakukan desaudinisasi Islam. Garaudy mengingatkan itu, karena itulah gejala kuat yang sedang ia saksikan. Bagi saya, sangat mengenaskan bila perbenturan kita dengan Barat hanya disebabkan oleh isu jilbab dan cadar, bukan oleh isu-isu yang lebih substansial.
Saya terenyuh menyaksikan panasnya perdebatan soal ini di televisi Aljazirah. Lebih terenyuh lagi ketika kaum Muslim di Inggris bersikeras menyenggarakan Hari Jilbab Sedunia (al-yaumul `alami lil hijab). Bagi saya, itu adalah pertarungan dan pertaruhan yang tidak bermanfaat. Sudah empat belas abad lebih usia agama ini, tapi perdebatan kita masih saja soal pakaian apa yang mesti kita kenakan. Saya sulit membayangkan saat ini malaikat Jibril akan naik-turun lagi ke muka bumi hanya untuk mengajarkan bangsa Arab dan umat Islam bagaimana cara berpakaian, seberapa panjang jenggot yang diharuskan, dan persoalan-persoalan artifisial lainnya.
Jangan lupa, kalau kita menganggap semua itu esensial, para musuh Nabi Muhammad dulunya pun adalah orang-orang yang bersorban lebih besar dan berjenggot lebih panjang daripada kita.


JIL: Anda frustasi melihat gagalnya sebagian umat Islam melakukan penyesuaian Islam dengan kebiasaan setempat?
SB: Penyesuaian itu adalah hak kita semua. Mengapa kita memaksakan Muslim Prancis untuk mengamalkan corak Islam yang akan menjauhkan mereka dari lingkungan kebudayaan Prancis? Bagi saya, mereka berhak menentukan corak Islam ala Prancis, dengan syarat paling minimal seperti percaya pada Tuhan dan kenabian Muhamad. Tidak lebih dari itu. Untuk apa mereka harus mengubah nama mereka dengan nama yang berbau Arab ataupun mengubah secara radikal cara berpakaian mereka? Apakah Abu Bakar dan Umar pernah mengganti namanya ketika memeluk Islam? Apakah Khadijah dan Aisyah mengganti namanya?
JIL: Dengan apa Anda memberi nama anak-anak Anda?
SB: Yang pertama saya beri nama Hajar, ibundanya orang Arab dan Nabi Ismail. Yang kedua saya beri nama Iskandar atau Alexander Makedonia. Yang ketiga saya beri nama Arsalan yang khas Turki. Tidak ada maksud untuk menegaskan identitas agama ketika saya memberi nama-nama pada anak saya. Semuanya nama-nama yang mendunia. Nama saya sendiri Shoheib, berasal dari nama bawaan dari orang tua saya yang Arab. Itu pun diambil dari nama seorang sahabat Nabi yang berasal dari Yunani yang memeluk Islam.
Bagi saya, tidak ada hal-hal yang perlu membatasi kebudayaan Timur dan Barat. Pembatasan itu sendiri baru ditetapkan secara tegas oleh negara-negara Eropa pada era kolonialisme. Itulah yang disebut Edward Said sebagai batasan-batasan geografis yang imajiner. Karena itu, kalau kita serius membahas akar-akar pemikiran klasik Islam, kita akan menemukan wujud filsafat yang bersumber dari Yunani, administrasi pemerintahan dari tradisi Persia, dan adopsi prinsip `urf (adat) yang berasal dari tradisi hukum Romawi. Itulah peradaban. Saling memberi dan menerima. Peradaban Eropa tidak akan bisa tinggal landas kalau tidak meneruskan dan mengembangkan peradaban Arab-Islam yang mulai runtuh.

JIL: Kini kita seakan menghadapi pertarungan mencari otentisitas. Orang Islam menginginkan otentisitas Islam sementara kalangan fundamentalis Kristen juga ingin seperti itu. Dan itu menimbulkan gap. Tanggapan Anda?
SB: Kelompok-kelompok yang fundamentalis itu di mana-mana hanya minoritas. Tapi kebangkitan minoritas Kristen fundamentalis di beberapa negara Barat saat ini sangat mudah dipahami. Mereka memang berpandangan sempit. Tapi kemunculan mereka sedikit banyak juga dipicu oleh perasaan bahwa negara mereka yang demokratis, sekuler, toleran, dan pluralis, kini seakan-akan kedatangan kuda troya yang berpotensi mengancam kenyamanan hidup mereka. Mereka merasa telah memberikan kebebasan penuh kepada banyak imigran Muslim untuk tinggal di negeri mereka. Tapi para imigran ini kini dianggap mengganggu eksistensi mereka. Karena itulah gejala kebangkitan kelompok kanan itu kini terjadi di Jerman, Denmark, menjalar ke Belanda dan negara Eropa lainnya. Tapi mereka tetap minoritas yang tak perlu terlalu dirisaukan.
JIL: Apakah orang Islam akan diperlakukan seperti Yahudi di Jerman dulunya atau masa depan mereka akan cerah?
SB: Saya selalu mengatakan kepada umat Islam di Prancis agar mengambil pelajaran dari orang-orang Yahudi. Sebab mereka lebih tahu bagaimana populisme mengancam eksistensi mereka. Kita tahu, di mana-mana, demokrasi tidak pernah bisa lepas dari ancaman populisme yang kadang bengis. Bahkan sebuah konstitusi, sebagai sumber nilai tertinggi sebuah negara, mungkin saja berubah bilamana opini publik berubah drastis. Kalau kita menyia-nyiakan kekuatan kita untuk sesuatu yang tidak perlu dan menantang Barat di kampung halaman mereka sendiri, mereka bisa saja memanipulasi opini publik tentang ancaman orang Islam di Eropa. Kalau sudah parah, mereka bisa saja membuntuti orang Islam di manapun. Untungnya, sekularisme selalu melingdungi kita. Dan iklim kebebasan selalu dapat memberi perlindungan terhadap kalangan minoritas. Jangan lupa, Hitler menggunakan populisme dan demokrasi untuk sampai pada tampuk kekuasaaan dan menciptakan bencana.
Karena itu, saya selalu menganjurkan orang Islam untuk mengambil pelajaran dari orang-orang Yahjudi tentang bagaimana mempengaruhi pusat-pusat kekuasaan tanpa kebisingan. Itu berhasil mereka lakukan di Prancis tanpa mengingkari sejarah dan identitas keprancisan mereka. Dan mereka juga berjuang untuk hak-hak kaum minoritas secara keseluruhan. Tapi tampaknya kita tidak mau mengambil pelajaran. Kita seakan-akan tak punya kesadaran politik yang memadai.
Dulu, institusi-institusi pendidikan di Prancis berada dalam asuhan Gereja Katolik. Semua mata pelajaran di Prancis, dulunya sangat kuat dipengaruhi institusi agama Katolik, tepatnya Kongregasi Jesuit. Tapi gerakan Kaum Republikan III mampu meruntuhkan dominasi Gereja atas institusi pendidikan dan menjadikan pendidikan sebagai ruang yang terbuka bagi semua. Itu dicapai lewat perjuangan yang berdarah-darah dalam perang Prancis-Prancis. Eksponen Republik III lalu mampu menyerabut sektor pendidikan dari dominasi suatu gereja, sehingga muncullah corak pendidikan sekuler dan netral untuk semua agama dan kelompok. Dengan itu, konsep kewarganegaraan yang setara menjadi semakin kokoh.
Nah, ketika orang-orang Muslim datang di Prancis, mereka tidak mengerti sejarah Prancis. Mereka datang dengan surban yang menjulang tinggi lalu berteriak bahwa demi demokrasi kami mestinya juga berhak melakukan ini dan itu. Mereka secara umum tidak paham bahwa perjuangan Prancis untuk mencapai sebuah negara sekuler hanya bisa terwujud lewat cara yang berdarah-darah. Mereka juga tidak tahu bahwa keharmonisan hubungan antaraagama di Prancis tidak datang sekonyong-konyong, tapi juga melalui pelbagai cobaan pahit.
Pada mulanya, orang Islam generasi pertama yang datang di Prancis disambut dengan penuh toleransi dan rasa iba kerena mereka adalah kalangan minoritas yang sempat tertindas di negara asalnya. Tapi ketika orang Islam makin banyak dan sudah pula menjadi perpanjangan kepentingan ideologis di tanah asalnya, seperti Wahhabisme dan Ikhwanul Muslimin, para anggota Parlemen Prancis mulai waswas dan merasa adanya bara yang siap menyala. Kecemasan itu menguat karena ada tanda-tanda meningkatnya intoleransi beragama yang mewabah seperti pengecaman berlebihan terhadap Yahudi dan Kristen di Prancis. Perkembangan jilbab dan cadar juga sangat mengkhawatirkan mereka.
JIL: Anda tergangggu oleh pengaruh Islam berwatak ideologis itu di Prancis?
SB: Secara umum saya tidak khawatir akan masa depan Muslim Perancis. Tapi saya mengkhawatirkan jenis keislaman yang mulai dianut dan dikembangkan oleh banyak kalangan muda Muslim Prancis saat ini. Mereka telah menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak bermanfaat. Dengan menganut jenis Islam tertentu, mereka mulai kesulitan membangun hubungan sosial yang lebih baik dengan tetangganya. Mereka menghabiskan waktu untuk membahas soal jenggot, ukuran celana, budaya siwak, dan lain-lain.
Mereka lupa bahwa Nabi Muhammad sendiri memanfaatkan hal-hal terbaik pada zamannya sebagaimana kita di zaman modern. Sebagai pemikir Islam, saya pernah dikecam tidak mengindahkan sunnah Nabi versi mereka. ”Anda sungguh tidak mengindahkan sunnah Nabi!” sergah mereka. ”Dalam hal apa aku tidak mengindahkan sunnah Nabi?” tanyaku. Katanya, ”Dari gaya hidup Anda sehari-hari, terutama cara berpakaian.” Jawaban saya waktu itu adalah: yang aku pahami dari sunnah Nabi adalah fakta bahwa Nabi tidak punya minat untuk bertindak menyimpang (syadz) dari budaya pada masanya.
Bagi saya, untuk benar-benar menghormati sunnah Nabi, kita hendaknya jangan bertindak janggal-janggal pada masa kini, terutama dalam hal-hal yang tidak esensial. Saya menyayangkan kalau hendak menjadi Muslim kita justru berperilaku menyimpang dari tatanan sosial yang ada. Padahal kalau kita jujur, justru itulah prototipe yang digambarkan kalangan orientalis tentang Islam. Kesan eksotis dan aneh dari orang Islam itulah yang mereka citrakan tentang hakikat Islam. Tapi, saya dan para orientaslis pun dianggap tidak mengerti tentang Islam. ”Mereka (para orientalis itu, Red) justru mengetengahkan Islam sebagaimana yang kalian tunjukkan pada mereka,” kata saya.
Itulah pengalaman saya berdialog dengan sebagaian anak muda Islam yang ekstrem. Memang banyak dialog yang mentok, tapi sering juga berhasil. Karena itu, saya selalu menyarankan para pengambil keputusan di Prancis untuk bertindak bijak terhadap mereka. Saya jelaskan, mereka berperilaku demikian bukan karena dalamnya pemahaman Islam mereka, tapi karena sedikitnya Islam yang mereka pahami. Mereka sungguh tidak punya kekebalan-diri dari virus fanatisme. Mereka mendatangkan orang-orang yang ekstrem untuk mengajarkan Islam sehingga mereka gagal membangun hubungan sosial yang positif dengan masyarakat Prancis dan terpinggirkan.
JIL: Apa bayangan Anda tentang sosok Muslim Prancis yang ideal?
SB: Saya berpandangan sederhana: ketika seorang Prancis mengaku dia Muslim, dia akan tetap Muslim, meski orang lain meragukan kemurnian Islam mereka. Toh, Tuhan tidak memperkenankan kita untuk menjadi pengadil (qudlat) bagi nurani dan jenis keislaman orang. Bagi saya, sosok Muslim Perancis yang ideal adalah seorang Muslim yang terbuka, cerdas, berwawasan luas, dan punya sensitivitas politik yang tinggi. Mereka berpikiran terbuka dan selalu mencermati pemikiran-pemikiran kontemporer. Mereka hendaknya juga mengetahui sejarah Prancis, dan Eropa pada umumnya, karena Prancis punya posisi strategis di kawasan Eropa. Di sisi lain, mereka hendaknya juga mendalami khazanah pemikrian Arab dan Islam, khususnya sebelum fase kemundurannya.
Saya teringat seorang mahasiswa Indonesia yang terobsesi untuk menghidupkan kembali masa kejayaan ilmu dan peradaban Islam dengan proyek kembali menelaah karya-karya Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Khaldun. Saya katakan, ”Jangan membatasi diri pada mereka saja. Mereka memang brilian pada masanya. Tapi kalau Anda benar-benar ingin memperdalam ilmu pengetahuan dan sains, Anda hendaknya melanjutkan apa yang sudah dicapai oleh khazanah ilmu pengetahuan modern. Boleh saja Anda menengok ulang apa yang sudah dicapai oleh para raksasa pemikiran Islam itu. Tapi Anda harus menambahkan sesuatu yang baru!”
Kita tahu, untuk saat ini, buku kedokteran Ibnu Sina, yaitu as-Syifa atau al-Qanun fit Thibb, sudah lama ditinggalkan negara-negara Eropa. Orang Eropa juga tak lagi merujuk al-Khawarizmi dan Abul Hayyan at-Tauhidi untuk mengerti ilmu pasti. Memang, sejarah membuktikan bahwa apa yang dicapai oleh orang-orang saat ini bukan sesuatu yang turun begitu saja dari langit, tapi merupakan akumulasi dari pencapaian-pencapaian peradaban yang tiada henti dari masa sebelumnya. Tapi mengandalkan apa yang dicapai Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Ibnu Khalun terlalu jauh dan sangat kurang.
JIL: Saran Anda untuk perkembangan Islam di Indonesia?
SB: Saya heran mengapa masyarakat Islam Indonesia yang terkenal ramah dan mampu membangun pola hidup berdampingan secara damai dengan agama-agama lain seperti Katolik, Protestan, Hindu, dan Buddha, kini justru bertindak semena-mena terhadap kelompok Ahmadiyah. Bagi saya, kalau mereka mengaku Islam, tak ada yang berhak mengeluarkan mereka dari keluasan Islam dengan cara memonopoli pandangan tentang Islam. Sunni, Syiah, Khawarij, dan lain-lain, semuanya tidak berhak memonopoli kebenaran tentang Islam. Kalaupun mereka dianggap keluar dari Islam, prinsip yang berlaku adalah: bagi mereka agama mereka dan bagi kita agama kita.
Saya heran mengapa ekstremisme seperti itu muncul dalam perilaku masyarakat Islam Indonesia yang terkenal toleran dan lapang dada menyikapi keragaman. Katakan pada nurani orang-orang Islam Indonesia yang ingin kembali menghidupkan kembali pandangan yang positif tentang kemajemukan, tradisi toleransi, dan keluesan watak Islam, bahwa jika usaha mereka berhasil, itu akan banyak sekali manfaatnya.
JIL: Banyak yang merasa tidak berdosa memperlakukan Ahmadiyah secara semena-mena karena mereka sudah dianggap sesat. Tanggapan Anda?
SB: Tidak soal sebesar apapun perbedaan keislaman Anda dengan mereka. Biar Tuhanlah yang nantinya menjadi hakim perbedaan di antara kita. Begitulah prinsip Islam yang saya kenal. Tentu ada saja yang beranggapan bahwa mereka sedang membela kemurnian Islam dengan menyerang Ahmadiyah. Tapi bagi saya, kalau ingin menunjukkan wajah Islam yang murni dan asli, Anda harus menampilkannya dalam bentuk yang lapang dada. Tunjukkan pada dunia bahwa meski banyak perbedaaan di antara kita, kita tetap tidak menjadikan itu sebagai alasan untuk berkonflik.
Saya kita, sikap itu akan lebih banyak membantu citra Islam daripada bertindak konyol. Itu lebih baik daripada kita terus-menerus berimajinasi sedang membela Islam yang asli. Klaim Islam asli itu pada hakikatnya tidak perlu dan tidak bermanfaat untuk membangun hubungan sosial-kemasyarakatan yang harmonis. Kita tahu, Alqur’an sendiri tidak berbicara tentang apa itu Islam yang asli. Sepanjang hidup, saya tidak menemukan Alqur’an berjalan di muka bumi dengan mikrofon sembari memberi kuliah tentang apa itu Islam asli. Yang ada hanya orang-orang dengan berbagai watak dan kecenderungannya yang berbicara lantang atau lamat-lamat tentang apa itu Islam menurut mereka. []
Dr. Soheib Bencheikh was born in Jeddah, Saudi Arabia in 1961, studied Islamic theology at Al-Azhar University and received his doctorate from the prestigious Parisian Ecole Pratique des Hautes Etudes (EPHE). Formerly the mufti of Marseilles, France, he is a member of the French Council for the Muslim Religion(1) and head of the French Institute for Islamic Science.(2) Recently, he announced his candidacy for the April 2007 French presidential election, and launched his election website (http://www.elanrepublicain.net). In addition, one of his supporters maintains a blog (http://soheib.bencheikh.over-blog.com) that includes interviews he has given to the press, as well as links to other French Muslim reformist





















Tentang Jaringan Islam Liberal
1. Apa itu Islam liberal?
Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:
a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).
b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
e. Meyakini kebebasan beragama.
Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.
2. Mengapa disebut Islam Liberal?
Nama “Islam liberal” menggambarkan prinsip-prinsip yang kami anut, yaitu Islam yang menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang menindas. “Liberal” di sini bermakna dua:
kebebasan dan pembebasan. Kami percaya bahwa Islam selalu dilekati kata sifat, sebab pada kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirnya. Kami memilih satu jenis tafsir, dan dengan demikian satu kata sifat terhadap Islam, yaitu “liberal”. Untuk mewujudkan Islam Liberal, kami membentuk Jaringan Islam Liberal (JIL).
3. Mengapa Jaringan Islam Liberal?
Tujuan utama kami adalah menyebarkan gagasan Islam Liberal seluas-luasnya kepada masyarakat. Untuk itu kami memilih bentuk jaringan, bukan organisasi kemasyarakatan, maupun partai politik. JIL adalah wadah yang longgar untuk siapapun yang memiliki aspirasi dan kepedulian terhadap gagasan Islam Liberal.
4. Apa misi JIL?
Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang kami anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari tekanan konservatisme. Kami yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat.
Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.











Program JIL
Ada beberapa kegiatan pokok Jaringan Islam Liberal yang sudah dilakukan saat ini:
Sindikasi Penulis Islam Liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal (atau belum dikenal) oleh publik luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme. Sindikasi ini akan menyediakan bahan-bahan tulisan, wawancara dan artikel yang baik untuk koran-koran di daerah yang biasanya mengalami kesulitan untuk mendapatkan penulis yang baik. Dengan adanya “otonomi daerah”, maka peran media lokal makin penting, dan suara-suara keagamaan yang toleran juga penting untuk disebarkan melalui media daerah ini. Setiap minggu, akan disediakan artikel dan wawancara untuk koran-koran daerah.
Talk-show di Kantor Berita Radio 68H. Talk-show ini akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-keagamaan di Tanah Air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu, dan disiarkan melaui jaringan Radio namlapanha di 40 Radio, antara lain; Radio namlapanha Jakarta, Radio Smart (Menado), Radio DMS (Maluku), Radio Unisi (Yogyakarta), Radio PTPN (Solo), Radio Mara (Bandung), Radio Prima FM (Aceh).
Penerbitan Buku. JIL berupaya menghadirkan buku-buku yang bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan tulisan, maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema-tema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara, dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL, berjudul Wajah Liberal Islam di Indonesia.
Penerbitan Buku Saku. Untuk kebutuhan pembaca umum, JIL menerbitkan Buku saku setebal 50-100 halaman dengan bahasa renyah dan mudah dicerna. Buku Saku ini akan mengulas dan menanggapi sejumlah isu yang menajdi bahan perdebatan dalam masyarakat. Tentu, tanggapan ini dari perspektif Islam Liberal. Tema-tema itu antara lain: jihad, penerapan syari’at Islam, jilbab, penerapan ajaran “memerintahkan yang baik, dan mencegah yang jahat” (amr ma’ruf, nahy munkar), dll.
Website Islamlib.com. Program ini berawal dari dibukanya milis Islam Liberal ( islamliberal@yahoogroups.com) yang mendapat respon positif. Ada usulan dari beberapa anggota untuk meluaskan milis ini ke dalam bentuk website yang bisa diakses oleh semua kalangan. Sementara milis akan tetap dipertahankan untuk kalangan terbatas saja. Semua produk JIL (sindikasi media, talk show radio, dll.) akan dimuat dalam website ini. Web ini juga akan memuat setiap perkembangan berita, artikel, atau apapun yang berkaitan dengan misi JIL.
Iklan Layanan Masyarakat. Untuk menyebarkan visi Islam Liberal, JIL memproduksi sejumlah Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Advertisement) dengan tema-tema seputar pluralisme, penghargaan atas perbedaan, dan dan pencegahan konflik sosial. Salah satu iklan yang sudah diproduksi adalah iklan berjudul “Islam Warna-Warni”.
Diskusi Keislaman. Melalui kerjasama dengan pihak luar (universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren, dan pihak-pihak lain), JIL menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keislaman dan keagamaan secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling yang diadakan melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok mahasiswa di sejumlah universitas, seperti Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Diponegoro Semarang, Institut Pertanian Bogor, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dll.





ZaiNuDDiN LoSi's SiTe
KHILAFAH MEMPERSATUKAN UMAT
Dunia kini laksana sebuah dusun kecil. Penyatuan berbagai bangsa merupakan sebuah keniscayaan. Namun, realitas menunjukkan umat Islam sekarang terpecah-belah. Kaum Muslim terkotak-kotak menjadi lebih dari 50 negara kecil-kecil. Antar negara itu pun terjadi pertentangan. Suriah dan Libanon masih bersitegang. Negara-negara Teluk membiarkan Irak digempur AS sendirian. Indonesia dan Malaysia masih berebut blok Ambalat. Belum ada yang dapat menyatukan umat terbaik yang diturunkan bagi manusia itu. Padahal Allah dan Rasulullah menegaskan bahwa umat Islam adalah satu, laksana tubuh. Lalu bagaimana persatuan umat itu dalam tataran praktis? Sejarah mencatat dengan tinta emas bahwa umat Islam dunia disatukan oleh Khilafah.
Khilafah Menyatukan Umat
Rasulullah saw. diutus untuk seluruh umat manusia. Wahyu yang dibawanya memiliki kemampuan menyatukan manusia. Semasa Beliau hidup, sejak berdirinya pemerintahan Islam pertama di Madinah, Islam mempersatukan dan mempersaudarakan berbagai suku dan bangsa. Berbagai kabilah/suku di Makkah yang dulu sering bertentangan dipersaudarakan dengan kalimat tauhid. Macam-macam suku di Madinah, termasuk suku Aus dan Khajraj yang ratusan tahun tak pernah berhenti bertikai, dipersatukan di bawah Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh. Makkah dan Madinah yang berbeda karakteristik, budaya dan adat kebiasaan pun dipadukan membentuk suatu masyarakat baru, masyarakat Islam. Karenanya, “Mereka membawa bukan hanya ideologi baru, tetapi juga mengilhami energi dan kepercayaan (confidence) yang sedemikian radikalnya mengubah manusia dan masyarakat dimana ia tinggal. Mereka melengkapi pengobar semangat buat abad baru dan kemajuan kebudayaan di peradaban, seni dan ilmu, material dan spritual.” (Abul Hasan an-Nadawi, Islam The Most Suitable Religion for Mankind: The Challenge of Islam).
Islam terus meluas. Pada masa Khalifah Abu Bakar, Kekhilafahan mencakup segenap semenanjung Arabia. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab Islam menembus Persia, sekalipun mereka memiliki kultur yang sangat khas. Bayangkan, Persia selama ini merupakan salah satu dari dua raksasa dunia kala itu. Awalnya, kultur mereka adalah pemburu dan petani, kemudian berkembang menjadi bandar dagang. Bahasa yang digunakan dalam perdagangan di antara mereka adalah bahasa Babylon. Kepercayaan awal mereka berdasarkan pada ide bahwa mereka dan bandar mereka adalah surga tuhan di dunia. Setiap bandar dimiliki oleh tuhan dan patungnya diletakkan di dalam sebuah berhala pusat. Bandar mereka sering bersengketa satu sama lain. Pasca masuknya Islam, banyak di antara penduduknya yang memeluk Islam. Setelah itu, mereka dapat disatukan ke dalam masyarakat berkat adanya Khilafah sebagai kepemimpinan umat. Semenanjung Arabia dan Persia pun menyatu.
Khilafah Islam bukan hanya sekadar menyatukan daerah Asia Barat tersebut, pada Masa Khalifah Umar negeri-negeri Syam dan Baitul Maqdis disatukan ke dalam Khilafah. Tahun 639 M Mesir dengan pelabuhan Alexandria di Afrika disatukan ke dalam Khilafah. Kebanyakan penduduk di sana dari orang Qibti. Mereka awalnya bangga dengan Mesir kuno. Pada masa Kekhalifahan Utsman bin Affan, rakyat di kota-kota dan negeri-negeri di Afrika disatukan. Daerah-daerah tersebut merupakan daerah yang sebelumnya di bawah kendali dan pengaruh Romawi. Tentu, karakteristik masyarakatnya berbeda dengan Arab dan Persia. Namun, dengan Islam mereka dapat menjadi umat yang satu. Kulit hitam dan sawo matang dapat disatukan oleh Islam melalui Khilafah.
India, Persia dan Afganistan makin mendapatkan pengaruh Islam pada masa Kekhilafahan Umayah. Masuknya Islam ke daerah-daerah lain membawa bermacam kerajinan tangan—seperti pekerjaan tembaga di Iran, tenun di Irak, pembuatan kaca dan tembikar di Syam dan Alexandria, dll—yang merupakan satu kegiatan baru di negeri-negeri itu, yang membuka mata pencaharian, membasmi pengangguran dan meningkatkan hasil negara serta menggairahkan usaha dagang dan perindustrian. Khilafah Umayah memperluas penyatuan wilayah hingga ke Asia Tengah sampai Cina, merayap ke Afrika Utara, terus ke Andalusia (Spanyol). Bangsa berkulit putih dan bermata biru disatukan dengan bangsa yang bermata sipit dengan Islam. Benua Asia, Afrika, dan Eropa disatukan.
Pada masa Khilafah Umayah pula para seniman, arsitek dan ahli berbagai bidang lainnya didatangkan dari berbagai negeri. Para ahli ini dipakai untuk membangun dan memugar kota-kota bersejarah yang membawa corak kesenian campuran antara Islam, Byzantium, dll hingga merupakan suatu teknik baru yang baru dikenal pada masa Islam (Fuad M. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam). Masyarakat pun makin menyatu. Bahkan Raja Sriwijaya di Nusantara bernama Srindravarman pada tahun 100 H (718 M) mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Umayah. Isinya, meminta dikirimkan dai yang bisa menjelaskan Islam kepadanya (Ayzumardi Azra mengutip dari Ibnu Abi Rabbih, Jaringan Ulama).
Hal ini terus berlangsung. Pada masa Khilafah Abbasiyah dan Utsmaniyah berbagai bangsa disatukan. Jelaslah, sejarah mencatat Khilafah menyatukan umat manusia lintas suku, warna kulit, ras, bangsa, bahkan benua.
Faktor Keberhasilan
Realitas menyatunya umat dari berbagai suku, warna kulit, ras, bangsa, bahkan benua merupakan prestasi luar biasa. Belum ada dalam sejarah manusia yang berhasil mempersaudarakan bangsa-bangsa seperti ini. Islam memang memiliki faktor-faktor untuk itu. Pertama: Pengikat persatuan itu adalah akidah Islam. Ikatan ini merupakan ikatan hakiki. Betapa tidak. Akidah Islam memandang manusia sama di hadapan Allah Swt. Kata Nabi saw., tidak ada kelebihan orang Arab atas non-Arab, tidak ada kelebihan non-Arab atas bangsa Arab, kecuali karena takwa. Bahkan Allah menegaskan kemuliaan seseorang di sisi Allah bukan karena suku, ras, keturunan, warna kulit, atau tampak luar lainnya, melainkan hanya karena takwanya. Akidah Islam meniscayakan adanya berbagai suku bangsa, namun semuanya harus saling mengenal. Dengan ikatan seperti ini setiap bangsa yang disatukan ke dalam Islam berkedudukan sama. Tidak ada istilah pribumi dan pendatang. Karenanya, masyarakat siap dipimpin oleh siapapun dari bangsa manapun. Saudi Arabia siap dipimpin oleh Nabi saw. yang berasal dari Makkah. Kaum Muslim siap dipimpin oleh Bagdad atau Andalusia. Bahkan Arab siap dipimpin oleh Turki pada masa Utsmaniyah, misalnya.
Kedua: Kesamaan visi dan misi antara rakyat dan penguasa. Karena pengikatnya sama maka tolok ukur antara rakyat dan penguasa (miqyas al-a‘mâl) juga sama, yaitu syariah Islam. Misi hidupnya juga telah ditetapkan oleh Allah, yakni untuk ibadah, dakwah dan jihad. Karenanya, persatuan yang dilahirkan bukan berasal dari kesamaan suku, warna kulit, atau ras melainkan karena kesadaran bahwa syariah Islam mewajibkan umat Islam menjadi ummah wâhidah sekaligus mengharamkan perpecahan.
Ketiga: Adanya institusi pemersatu, yakni Khilafah Islam. Selain akidah dan kesamaan visi misi, persatuan akan benar-benar direalisasi jika ada Khilafah yang menyatukan. Khilafahlah yang kala itu menyatukan umat Islam di benua Asia, Afrika, dan Eropa. Ketika ada upaya untuk memecah-belah umat, Khilafah juga yang menghadangnya. Upaya mengakulturasikan berbagai bangsa itu dilakukan oleh Khalifah. Bahkan perbedaan pandangan disatukan dengan adanya pendapat Khalifah. “Ra‘yu al-Imâm yarfa‘u al-khilâf (Pendapat Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan,” begitu bunyi salah satu kaidah ushul. Karenanya, ketika Khilafah diruntuhkan, umat tidak dapat bersatu sekalipun pekik persatuan terdengar dimana-mana.
Keempat: Kemampuan menyelesaikan konflik internal dan menjadikan perbedaan sebagai perekat. Berbagai konflik terjadi, namun dapat diselesaikan. Perbedaan sikap sejak masa Abu Bakar pasca wafat Nabi saw., konflik Ali-Muawiyah, dsb dapat dituntaskan. Perbedaan tetap ada, tetapi kesatuan sebagai umat tetap diutamakan.
Kelima: Keberhasilan mensejahterakan seluruh rakyat. Faktor ini sangat penting. Sebab, tujuan keberadaan masyarakat Islam itu sendiri adalah menegakkan syariah di dalam kehidupan demi kesejahteraan masyarakat. Dalam bidang pendidikan, misalnya, masyarakat gratis sekolah. Sekadar contoh, Madrasah Darul Hikmah yang didirikan oleh Khalifah al-Hakim Biamrillah pada tahun 395 H merupakan institut pendidikan yang dilengkapi dengan perpustakaan yang dibuka untuk umum. Perpustakaannya juga difasilitasi dengan ruang studi, ceramah, dan ruang musik untuk refreshing bagi pembaca. Di al-Mustansyiriyah setiap siswa diberi beasiswa satu dinar sebulan. Ad-Dimsyaqy mengisahkan dari al-Wadliyah bin Atha’, bahwa Umar bin al-Khathab memberikan gaji kepada tiga orang guru yang mengajar anak-anak di kota Madinah masing-masing sebesar 15 dinar setiap bulan (1 dinar = 4,25 gram emas). Artinya, 63,75 gram perbulan. Kalau diuangkan saat sekarang (katakan saja 1 gram emas seharga Rp 90.000), gaji mereka sebesar Rp. 5.737.500. Pada masa Umar bin Abdul Aziz masyarakat sejahtera hingga tak ada yang layak menjadi mustahiq (penerima) zakat. Di Cordova pada masa Abdul Rahman III dan al-Hakam (961-967) yang berpenduduk 1 juta jiwa memiliki 50 rumah sakit, 900 tempat mandi umum, 800 sekolah, 600 masjid, perpustakaan dengan 600.000 jilid buku, ditambah 70 perpustakaan pribadi (Ali Zaki, Islam in the World).
Berdasarkan kenyataan tersebut, jelaslah hanya Khilafah yang dapat menyatukan umat manusia dari berbagai suku, ras, etnis, warna kulit, bahkan agama. Tanpa itu, persatuan dan perdamaian dunia hanyalah omong-kosong. Karenanya, adanya Khilafah benar-benar merupakan kebutuhan sekaligus tuntutan sejarah kemanusiaan.










POTRET PERADABAN
TULISAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI ILKHAN
(1258-1343 M)

A.Pendahuluan
Dinasti Ilkhan dikenal dalam berbagai literatur sejarah Islam sebagai salah satu dinasti yang dibangun oleh orang-orang non-Muslim yang kemudian dalam perjalanannnya menjadi sebuah Dinasti Islam. Dinasti Ilkhan muncul ke panggung sejarah dimulai dari pertengahan abad XIII M (tahun 1258 M) sampai dengan dekade keempat dari abad XIV M (Tahun 1343 M), yang wilayah kekuasaannnya meliputi Anatolia, Syiria, Irak, Persia Afghanistan dan India Utara dengan pusat kekuasaannnya di Tabriz. Dengan demikian dinasti ini eksis memerintah kurang lebih selama 85 tahun (Lihat Arthur Goldshmidt, 1983: 116).
Dinasti ini sebenarnya didirikan oleh orang-orang Mongol yaitu oleh Hulagu Khan, cucu dari Jengis Khan yang sejak awal abad XIII M telah banyak melakukan invasi terhadap wilayah-wilayah Islam khususnya ke kawasan Asia Tengah, seperti Turkistan dan Transoxiana. Kehadiran bangsa Mongol, yang kemudian ditindaklanjuti dengan proses penguasaan mereka melalui dinasti Ilkhan, bagi masyarakat Muslim di kawasan tersebut mungkin kerap dipandang sebagai malapateka karena kehadirannnya yang lebih banyak merugikan masyarakat Muslim di wilayah itu.
Sebagai salah satu bukti yang memperkuat dari paparan di atas di atas dapat dilihat dari momentum kronologi keruntuhan Khilafah Abbasiyah yang telah diporak-porandakan baik suprastruktur politik, infrastruktur bangunan, kekayaan materil maupun kekayaan spiritualnya. Padahal keberadaan kekhilafahan ini telah eksis selama lima abad sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam, bahkan dunia.

Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri Khilafah Abbasiyah, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat peradaban dan kebudayaan Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut lenyap dibumihanguskan oleh tentara Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan (Badri Yatim, 1997 ; Muhammad Sayyid al-Wakil, 1998).
Pada masa inilah banyak terjadi tragedi kemanusian. Penyerbuan-penyerbuan yang sangat dahsyat yang dilakukan oleh bangsa Mongol terhadap apa yang dilaluinya dapat dikatakan sebagai tragedi kemanusiaan terbesar sepanjang sejarah umat Islam, dan mungkin dalam konteks sekarang dapat disebut sebagai suatu peristiwa pelanggaran HAM yang paling mengerikan. Dalam peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada tahun-tahun permulaan abad ke XIII M atau 7 Hijriyah itu, serbuan bangsa Mongol bagai air bah. Kehadirannnya melabrak apa saja yang dilaluinya, tidak peduli dihadapannnya ada anak kecil, masjid, istana, orang tua, gedung, mushala, ataupun benda-benda berharga dan budaya semuanya dihancurkan, dibakar, disembelih tanpa ada rasa kemanusiaan.
Secara umum potret peradaban Islam itu sendiri pada masa penguasaan orang Mongol acapkali digambarkan sedang berada dalam kondisi suram untuk tidak dikatakan telah mencapai titik nadir. Betapa tidak, di samping secara politis masyarakat Muslim telah kehilangan suprastruktur politik yang bisa menjamin masa depan kehidupannnya, ternyata selama penguasaan bangsa Mongol, keberadaanya telah membawa dampak negatif terhadap kehidupan sosio-religius masyarakat Muslim. Fakta menunjukkan bahwa setelah penyerbuan dan selama penguasaan Bangsa Mongol, perkembangan Islam cenderung stagnan dan terpuruk baik secara politis, agama, ekonomi, sosial maupun budaya (Lihat Harun Nasutin, 1993 : 13)
Dari paparan tersebut di atas akhirnya mengemuka beberapa pertanyaan yang menarik untuk diteliti, di antaranya bagaimana sejarah keberadaan Dinasti Ilkhan? Benarkah potret peradaban Islam pada masa penguasaan dinasti Ilkhan sebagai salah satu dinasti yang merefresentasi keberadaan bangsa Mongol sangat suram? Apakah Dinasti Ilkhan memiliki kontribusi di dalam upaya mengembangkan peradaban Islam? Seperti bagaimanakah kebijakan para penguasa Dinasti Ilkhan di dalam usaha memajukan peradaban masyarakatnya, sehubungan di antara mereka ada yang sudah memeluk agama Islam? Apakah sama kebijakan dari para penguasa Dinasti Ilkhan yang sudah beragama Islam dengan yang masih menganut agama Syamanism ataupun Kristen Nestorian?
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk memecahkan berbagai kompleksitas keraguan dari persoalan-persoalan itu. Oleh karena itu, untuk menjawabnya, maka metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah, dengan harapan bisa menjawab dan memecahkan semua pertanyaan-pertanya itu.

B. Dinasti Ilkhan: Asal-usul dan Sejarah Keberadaannnya
Dinasti Ilkhan adalah sebuah dinasti yang dibangun oleh orang-orang Mongol, ketika mereka berhasil menginvasi dan menguasai Baghdad sebagai pusat kekuasaan dari Khilafah Abbasiyah. Dinasti Ilkhan berdiri pada tahun 1258, pada saat Hulagu Khan berhasil memantapkan kekuasaannya di Baghdad (Harun Nasution, 1985: 80). Ilkhan sendiri artinya artinya warga khan yang agung (C.E. Bosworth, 1993:176). Ilkhan juga adalah gelar yang diberikan kepada Hulaghu Khan sebagai bentuk penghargaan terhadap prestasi-prestasinya yang diperolehnya ketika sukses melakukan ekspansi wilayah dan mengalahkan setiap musuh-musuhnya.
Dinasti Ilkhan memerintah di wilayah yang memanjang dari Asia Kecil di Barat dan India di Timur dengan ibukotanya Tabriz. Di wilayah itu sekarang membentang negara Turki, Syiria, Irak, Iran, Uzbekistan dan Afghanistan. Selama dinasti ini berkuasa, terdapat 16 raja yang pernah berkuasa. Di antara raja-raja tersebut yang pertama adalah Hulaghu Khan, seorang raja Mongol dari Dinasti Ilkhan yang merupakan anak dari Tuli Khan. Ia merupakan cucu dari Jangis Khan dan beragama Syamanism. Masa kekuasaan dari Hulagu Khan hanya berlangsung selama tujuh tahun karena pada tahun 1265 ia meninggal dunia.

Hulagu Khan digantikan anaknya yang bernama Abaga Khan. Ia merupakan salah satu di antara penguasa Dinasti Ilkhan yang memerintah paling lama, yaitu selama 17 tahun (Muhammad Sayyid al-Wakil, 1998: 270). Ia memerintah dari tahun 1265 s.d.1282 M. Berbeda dengan bapaknya yang beragama Syamanism, maka Abaga Khan adalah seorang pemeluk agama Kristen Nestorian. Selanjutnya, penguasa ketiga dari dinasti ini adalah Ahmad Teguder. Ia memerintah dari tahun 1282 s.d.1284 M. Pada tahun 1284 hanya karena telah beralih agama dengan menjadi seorang Muslim, ia dibunuh oleh Argun, yang kemudian menggantikannnya menjadi raja Dinasti Ilkhan (1284-1291). Raja yang keempat ini adalah penganut agama Kristen Nestorian militan, yang karena kefanatikannnya banyak melakukan tindakan refresif dengan mengusir dan membunuh orang-orang Islam (Hassan Ibrahim Hassan, 1989: 307).
Selanjutnya raja Mongol yang kelima adalah Gaygathu. Ia memerintah selama empat tahun, dari tahun 1291 sampai dengan 1295. Ia kemudian digantikan oleh Baydu yang memerintah tidak lama, kurang lebih dari setahun, yakni masih dalam tahun 1295. Dari masa Hulagu Khan sampai Baydu, kecuali Ahmad Teguder, seluruh penguasa Dinasti Ilkhan adalah non-Muslim. Dengan demikian umat Islam yang ada di kawasan tersebut diperintah dan dikuasai oleh penguasa-penguasa Dinasti Ilkhan yang non-Muslim. Diprediksikan pada periode ini tidak ada sebuah perkembangan yang berarti bagi masyarakat Muslim terutama yang menyangkut perkembangan Islam dan peradabannnya, karena memang penguasa-penguasa dari dinasti Ilkhan pada periode ini adalah orang-orang yang tidak memiliki perhatian terhadap Islam. Yang menarik bisa jadi adalah sebuah ironisme, yaitu masyarakat Muslim yang jumlahnya sebagai mayoritas diperintah minoritas non-Muslim yang berasal dari luar.
Sebuah tanda-tanda angin baik dari Dinasti Ilkhan terhadap umat Islam muncul pada masa penguasa Dinasti Ilkhan yang ketujuh dan yang sesudahnya. Pada 1295 M Mahmud Ghazan diangkat sebagai raja yang ketujuh. Mahmud Ghazan (1295-1304), adalah pemeluk agama Islam. Dengan masuk Islamnya Mahmud Ghazan, Islam sedikit demi sedikit mulai meraih kemenangan yang sangat besar terhadap agama Syamanism. Bahkan pada periode ini seperti yang dikemukakan C.E. Bosworth ( 1993: 176), ketika tekanan kultural dan keagamaan dari lingkungan Persia semakin besar, maka para penguasa dari Dinasti Ilkhan mulai merenggangkan hubungannnya dengan raja-raja agung di Cina.
Ada sinyalemen, para penguasa dari dinasti Ilkhan sejak masa kekuasaan raja ini mulai memperhatikan Islam dan kepentingan masyarakat Muslim, dan sekaligus mereka mulai memposisikan dirinya melalui pembauran dengan lingkungan masyarakat di sekelilingnya. Sejak masa ini masyarakat Muslim, terlebih orang Muslim di Iran telah mendapatkan kemerdekaannnya kembali (Badri Yatim, 1997: 115-117).
Mahmud Ghazan digantikan Muhammad Khudabanda Uljaetu (1304-1317 M). Figur Muhammad Khudabanda Uljaetu di samping sebagai seorang yang taat memegang agama Islam, ia adalah seorang penganut dan pembela madzhab Syiah (Hamka, 1975: 49-50). Ia mengendalikan pemerintahan Dinasti Ilkhan selama kurang lebih 14 tahun, sampai kemudian digantikan oleh Abu Said (1317-1335 M.) .
Dinasti Ilkhan mengalami kemunduran pasca pemerintahan Abu Said. Perlu diketahui bersama pada masa ini Dinasti Ilkhan diperintah Raja Arpha, Musa, Muhammad, Jahan Timur, Sati Bek dan Sulaeman. Mereka semua adalah figur raja-raja yang lemah, karena di masa ketujuh raja ini di wilayah kerajaan Dinasti Ilkhan banyak terjadi perpecahan dan pertikaian, sampai kemudian wilayah kekuasaannnya digantikan oleh dinasti-dinasti lokal seperti Dinasti Jalayiriyah, Muzhaffariyyah dan Sarbadariyyah di Khurasan ( Lihat C.E. Bosworth, 1993: 175). Selanjutnya, sampai dengan dengan dekade keempat dari abad XIV, tepatnya di tahun 1343 H kekuasaan dari Dinasti Ilkhan sudah tidak ada dan sisa-sisa dari wilayah kekuasaannnya di masa kemudian diambil alih dan dipersatukan oleh Timur Lenk sebagai satu kesatuan integritas di bawah panji-panji kekuasaannya.




C. Pola Pemerintahan Dinasti Ilkhan dan Gambaran Kehidupan Masyarakatnya
Dinasti Ilkhan telah eksis lebih dari delapan dasawarsa. Ketika membicarakan dinasti Ilkhan, di kalangan para peneliti atau pemerhati sejarah umumnya mereka bersepakat bahwa Dinasti Ilkhan yang memerintah di wilayah Iran, Irak, Anatolia dan daerah-daerah lainnnya didirikan di atas banjir darah manusia dan puing-puing kehancuran dari institusi kekuasaan yang dihancurkannnya. Pandangan ini tidaklah keliru dan bisa dipahami, karena Hulagu Khan sebagai pendiri dari dinasti Ilkhan beserta tentaranya, kehadirannnya ke berbagai wilayah hanya mendatangkan malapetaka dan menimbulkan bencana bagi manusia.
Fakta sejarah telah banyak menunjukkan bahwa pada saat Hulagu Khan melakukan penyerbuan banyak penduduk dari beberapa kota dan kampung dimusnahkan secara sistemik. Di setiap daerah yang dijumpai acapkali ditemukan telah kosong dan menjadi tidak berpenduduk disebabkan oleh kehadiran pasukan penyerbu dan oleh gelombang tentara Mongol yang mengusir kaum petani. Kaum penyerbu tersebut membantai penduduk setempat, menjadikan mereka sebagai budak dan membebani mereka dengan pajak, sehingga menyita seluruh kekayaan mereka. Dalam konteks ini Ira M. Lapidus (1999:428) sampai menyatakan penyerbuan Hulagu Khan sebagai sebuah bencana besar yang melanda penduduk akibat pembantaian dan pembunuhan. Tidak hanya itu, kehidupan perekonomian pun hancur karena selama satu abad atau lebih salah satu sumber penghidupan masyarakat Iran yaitu kerajinan tembikar dan pengolahan logam tidak bisa berproduksi.
Rezim dari Dinasti Ilkhan yang berkuasa di Iran, Irak, Anatolia, pada kenyataannnya lebih merupakan sebuah rezim penakluk. Dinasti ini dibentuk dari sebuah pasukan besar yang dihimpun dari para aristokrasi militer kesukuan yang bersekutu dengan dinasti yang sedang berkuasa. Kelompok aristokrat ini dalam perjalanannya telah memandang diri mereka sendiri sebagai manusia istimewa yang berhak mendominasi dan memungut pajak kepada rakyatnya. Rasa superioritas ini terefleksi dari sebuah undang-undang yang dimilikinya, Alyasak, yang menetapkan hak-hak dan kewajiban kalangan elite dan pengesahan pemerintahannnnya(Hassan Ibrahim Hassan, 1967: 136-139).
Raja-raja Dinasti Ilkhan memerintah di Iran, Irak, Anatolia dan daerah-daerah disekelilingnya dilakukan dengan me-manaje distribusi tanah kepala-kepala militer untuk mengolahnya atau memungut pajak atasnya. Selanjutnya kepala-kepala militer tersebut membagi-bagikan tanah tersebut di antara anak buah mereka. Padang rumput dan tanah garapan dipadukan menjadi sebuah pertanahan yang disebut Tuyul, sebuah konsep yang memadukan cita-cita Mongolian tentang distribusi padang rumput dan konsep administratif Iran tentang distribusi hak mengumpulkan pajak (Ira M. Lapidus, 1999: 430).
Kemudian , roda pemerintahan Mongol dijalankan dengan menggantungkan diri melalui dukungan keluarga-keluarga bangsawan setempat, sebagaimana yang pernah terjadi pada beberapa dinasti Seljuk sebelumnya. Kebijakan para penguasa Dinasti Ilkhan dalam melaksanakan roda pemerintahannnya berusaha menyatukan diri dengan beberapa birokrat, para pedagang, dan ulama perkotaan Iran. Ulama melanjutkan atau memperkokoh kedudukan mereka dengan memposisikan diri sebagai elit lokal. Para ulama pada masa Dinasti Ilkhan umumnya banyak mengisi jabatan qadhi, dai, kepala pasar, dan sejumlah jabatan lainnya (Ira M. lapidus, 1999: 430).
Selanjutnya Ira M. lapidus (1999: 430-431 ) memberikan gambaran tentang kehidupan kelompok elit yang hidup di perkotaan. Kelompok elit yang hidup diperkotaan di mana prestise mereka didasarkan pada pendidikan Islam, umumnya kekuasaan mereka didasarkan kepada unsur kepemilikan tanah, perkebunan dan kekuasaannya menangani tanah wakaf. Para penguasa Dinasti Ilkhan telah menempatkan kedudukan kelompok ini dalam tugas-tugas administrasi finansial dan yudisial untuk menyokong kelangsungan pemerintahan lokal dan menahan dampak negatif akibat perubahan rezim militer. Kelompok ini juga ditugaskan untuk membantu tugas administratif dalam pembentukan pemerintahan Dinasti Ilkhan .



D. Perhatian Para Penguasa Dinasti Ilkhan Terhadap Pengembangan Peradaban Islam.
Menarik untuk dicermati, sekalipun perkembangan peradaban Islam pada periode pertengahan seringkali dikatakan berada dalam kondisi kemunduran, namun bukan berarti pada periode ini di kalangan masyarakat Muslim tidak ada perhatian sama sekali terhadap upaya-upaya memajukan dan mengembangkan peradaban Islam. Hal ini pun tampaknya terjadi pada Dinasti Ilkhan. Walaupun Dinasti Ilkhan pada awal kehadirannnya kerap dikatakan sebagai sebagai dinasti pembawa bencana, namun dalam perjalanan sejarahnya dinasti ini memiliki andil juga di dalam upaya membangun dan mengembangkan peradaban Islam, terutama sekali setelah dinasti ini diperintah oleh raja-rajanya yang memeluk agama Islam.
Memang perhatian para penguasa Dinasti Ilkhan mungkin sangat kecil dan tak sebanding dengan penghancuran dan pembunuhan yang telah dilakukan, tetapi walaupun begitu sebagai bangsa Mongol yang telah memeluk Islam dan besar dalam kutur keagamaan Persia mereka masih memiliki perhatian perhatian terhadap upaya membangun dan memajukan peradabannnya.
Bila diamati, memang Dinasti Ilkhan pada saat masih dipegang oleh raja-raja yang belum memeluk agama Islam seperti Hulagu Khan, Abagha Khan, Argun, Gaygatu dan Baydu perhatian mereka terhadap upaya memajukan dan mengembangkan peradaban Islam tidak ada. Hal ini bisa terjadi karena karena didorong oleh semangat kebencian terhadap Islam.
Sebuah perubahan yang sangat mendasar mulai nampak pada masa Mahmud Ghazan. Pada masa Mahmud Ghazan, Dinasti Ilkhan mulai bergerak menuju ke arah sentralisasi kekuasaan negara dan mewujudkan kembali kejayaan kultur monarki Seljuk periode Iran Turki. Pada masa pemerintahan Mahmud Ghazan (1295-1304 M), Dinasti Ilkhan mulai membangun beberapa kota dengan mengembangkan beberapa proyek irigasi, mensponsori kemajuan pertanian dan perdagangan dengan cara-cara yang pernah dikembangkan oleh beberapa imperium Timur Tengah. Kemudian secara khusus, dinasti ini mulai membuka rute perdagangan yang menghubungkan Asia Tengah dengan Cina.
Berbeda dengan raja-raja sebelumnya, pemerintahan Mahmud Ghazan mulai memperhatikan perkembangan peradaban. Ia seorang pelindung ilmu pengetahuan dan sastera. Ia sangat mencintai kesenian terutama seni arsitektur dan ilmu pengetahuan seperti astronomi, kimia, mineralogi, metalurgi dan botani (Hasan Ibrahim Hassan, 1989: 309). Ia juga banyak membangun infrastruktur keagamaan dan pendidikan seperti menyediakan biara untuk para darwis, perguruan tinggi untuk madzhab Syafi’i dan Hanafi, sebuah perpustakaan, observatorium dan gedung-gedung umum lainnnya(Hassan Ibrahim Hassan, 1989: 312).
Meskipun banyak peperangan dan memperoleh tekanan dari dalam, tampilnya Mahmud Ghazan sebagai raja yang ketujuh, pada periode dapat dikatakan sebagai periode kemakmuran bagi Dinasti Ilkhan. Dengan masuknya Ghazan ke dalam Islam, proses rekonsiliasi antara kelas penguasa Turki-Mongol dan rakyatnya mulai terjadi. Ibukota Ilkhaniyah, Tabriz dan Maragha menjadi pusat ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sejarah dan ilmu-ilmu kealaman (C.E. Bosworth, 1993: 177).
Pada masa Mahmud Ghazan, elite-elite militer Dinasti Ilkhan telah berpindah ke agama Islam dan mengambil legitimasi kulturalnya dari tradisi Mongolian dan juga dari sumber-sumber kesusastraan Iran. Berkat dukungan penguasa Mongol-Muslim, penulisan sejarah yang mencerminkan kepedulian raja Mahmud Ghazan terhadap nasib dunia ini berkembang dengan subur. Sebagai contoh karya Al-Juwaini (1226-1283), History of the World Conquerors yang banyak menguraikan tentang perjalanan Jenghis Khan dan penaklukan Iran. Begitu pula karya seseorang yang sezamannnya dengannnya, Rasyid al-Din (1247-1318), seorang ilmuwan Fisika dan seorang menteri, menulis karya Compendium of Histories yang mengintegrasikan sejarah bangsa Cina, India, Eropa, Muslim dan sejarah Mongol ke dalam sebuah perspektif kosmopolitan mengenai nasib umat manusia (Ira M. Lapidus, 1999: 431).
Konstribusi Raja Mahmud Ghazan dalam menegakkan kembali kejayaan kerajaan Iran yang paling cemerlang adalah usahanya mengembangkan seni lukis dan seni ilustrasi manuskrip. Beberapa tulisan sejarah karya Rasyid al-Din terus menerus disalin dan diilustarikan. Demikian juga syair-syair efik dari karya Syah Name dan Life of Alexander , dan beberapa fable dari karya Kalila wa Dimah. Kota Tabriz sendiri telah menjadi pusat bagi sebuah sekolah seni lukis dan seni ilustrasi yang sangat pesat pada saat itu (Ira M. Lapidus, 1999: 432).
Dinasti Ilkhan, setelah dipegang raja-raja Muslim telah bekerja keras membangun sejumlah bangunan makam yang monumental, dan melestarikan bentuk-bentuk arsitektural bangsa Iran terdahulu pada beberapa monumen di Tabriz, Sultaniyah, dan Varamin. Yang paling terkenal di antara konstruksi peninggalan Dinasti Ilkhan adalah bangunan makam Muhammad Khudabanda Uljaytu (1304-1317) di Sultaniyah, yang dilengkapi dengan kubah besar di tengahnya yang melambangkan kemajuan teknik arsitektural yang tinggi di mana permukaan eksteriornya dihiasi dengan berbagai plester ubin, keramik dan batua-batuan yang berwarna-warni (C.E. Bosworth, 1999: 177).
Dinasti Ilkhan tidak mengembangkan sebuah identitas kebahasaan atau identitas keagamaan yang baru di Timur Tengah. Berbeda dengan bangsa Arab yang berhasil mengubah identitas kebahasaan dan keagamaan wilayah Timur Tengah, bangsa Mongol justru terserap ke dalam kultur Persia (Ira M. Lapidus, 1999:431). Sikap terbuka dari para penguasa Mongol Muslim pada masa Dinasti Ilkhan dan hubungan-hubungan mereka dengan kultur-kultur yang berbeda seperti kultur Eropa Kristen dan Cina telah membawa pengaruh yang segar terhadap pengembangan kegiatan intelektual, komersial dan seni ke dunia Persia. Hal ini terlihat ketika koloni-koloni para pedagang Italia banyak terdapat di kota Tabriz yang keberadaannnya telah memainkan peranan penting sebagai penghubung dalam kegiatan perdagangan dengan Timur jauh dan India (C.E. Bosworth, 1993: 177).
Begitu juga sikap terbuka ditunjukkan para penguasa Mongol Muslim dari Dinasti Ilkhan terhadap masuknya pengaruh Cina yang diperkenalkan oleh kaum pelancong, tentara dan pedagang Mongol yang melintasi Asia Tengah dalam kegiatan perdagangan sutra dan rempah-rempah Cina. Beberapa pengaruh Cina sangat menonjol pada pengambaran artistik panorama alam, burung, bunga-bunga, dan awan; pada komposisi bidang lukis yang terikat pada bidang yang menyusut, dan pada cara-cara baru dalam mengelompokkan gambar-gambar manusia. Salah satu tipe dari gambaran manusia adalah pertama, bersifat aristokratik, yang digambarkan dengan wajah memanjang, tanpa bergerak, agaknya secara sepintas ia diibaratkan dengan sebuah gerakan kepala atau jari. Kedua adalah gambaran yang bersifat karikatur degan ungkapan yang sangat berlebihan perihal komedi dan kesengsaraan(Ira M. Lapidus, 1999: 432).
Itulah tentang Dinasti Ilkhan yang telah menunjukkan kekosmopolitannnya pada masa para penguasa Mongol-Islam. Dengan demikian, keberadaan dan kontribusi Dinasti Ilkhan periode Hulghu sampai Baydu sangat berbeda dengan periode dari Mahmud Ghazan sampai dengan paling tidak, masa kekuasaan Abu Said. Keberadaan Dinasti Ilkhan pada masa Raja Hulagu Khan sampai dengan Baydu banyak menimbulkan bencana bagi masyarakat Muslim, tetapi perlu dipertegas bahwa dari masa Raja Mahmud Ghazan sampai dengan Abu Said, mereka banyak berjasa besar di dalam mendorong dan memajukan peradaban Islam.

E. Kesimpulan
Potret peradaban Islam pada masa Dinasti Ilkhan tidak benar selamanya suram. Kendatipun pada awalnya kehadirannnya kerap dikatakan sebagai sebagai dinasti pembawa bencana, namun dalam perjalanan sejarahnya dinasti ini telah memiliki andil di dalam upaya membangun dan mengembangkan peradaban Islam, terutama sekali setelah dinasti ini diperintah oleh raja-rajanya yang memeluk agama Islam.
Pada masa Dinasti Ilkhan dipegang oleh raja-raja yang telah memeluk Islam peradaban Islam berkembang dengan pesat, sekalipun tidak dapat dipersamakan dengan periode sebelumnya. Hal ini terlihat dari masih banyak berbagai bentuk khazanah peninggalan peradaban yang ditinggalkan pada periode ini. Ini telah mengindikasikan bahwa para penguasa Muslim Mongol dari dinasti ini banyak memberikan perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan infrastruktur masyarakat, bahkan peradaban Islam. Wallahu a’ lam bi as shawab.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Wakil, Muhammad Sayid. 1998. Wajah Dunia Islam dari Bani Umayyah hingga Imperialisme Modern. Terj.Fadhil bachri. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Badri Yatim. 1997. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Bosworth C.E. 1993. Dinasti-dinasti Islam. Bandung : Mizan.

Goldsschmidt Jr., Arthur. 1983. A Concise History of the Middle East. Colorado: Westview Press.

Hamka. 1975. Sejarah Umat Islam. Jakarta : Bulan Bintang.

Hassan Ibrahim Hassan. 1989. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Kota Kembang.

----------------------------. 1967. Tarikh al-Islam al-Siyasi wa al-Din wa al-Tsaqafi wa al-Ijtimai. Mesir : Dar al-Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah.

Lapidus, Ira M. 1999. Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: Rajawali Pers.

Nasution, Harun. 1986. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

---------------------. 1993. Pembaharuan dalam Islam:: Sejarah Gerakan dan Pemikiran. Jakarta : Bulan Bintang.







"Rekonstruksi" Khilafah:
Dari Romantisme Historis ke Realitas Kontemporer
Drs. Moeflich Hasbullah, MA
Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung
Salah satu kekayaan pranata politik Islam yang belum ada tandingannya dalam sejarah umat manusia kapanpun adalah sistem kekhalifahan (Khilafah). Sistem ini telah terbukti mampu membangun hegemoni politik dan budaya yang sangat luas dan jauh lebih besar dibandingkan dengan yang pernah dicapai bangsa-bangsa Eropa. Napoleon Bonaparte, sang penguasa Prancis yang telah menjadi legenda dalam sejarah Eropa, dengan kekuatan pasukannya pernah menguasai setengah daratan Eropa. Diktator Jerman, Adolf Hitler, dengan pasukan Nazi-nya yang ditakuti dalam perang dunia II hanya pernah "melamun" untuk membuat bangsa Jerman, sebagai bangsa Aria yang dianggapnya memiliki ras unggul, sebagai bangsa penguasa Eropa. Inggris, Belanda, Perancis dan negara-negara imperialis kolonialis lainnya pernah memiliki daerah koloninya di wilayah-wilayah tertentu di Asia dan Amerika Latin. Tetapi, selain terbilang "relatif kecil" --yaitu hanya terdiri dari beberapa negara yang terpisah-pisah-- wilayah kekuasaan bangsa-bangsa tersebut didapatkan atas paradigma kerakusan ekonomi dan kekuasaan dengan metode penjajahan, kolonialisasi dan penaklukan. Kaum Muslimin, di pihak lain, pernah memiliki suatu daerah kekuasaan yang sangat luas membentang dari Iran di Timur sampai Spanyol di Barat, dan dari Ethiopia di Selatan sampai Turki di Utara. Wilayah ini meng-cover tiga wilayah benua sekaligus: Asia, Afrika dan Eropa. Berbeda dengan motif-motif ekonomi dan nafsu kekuasaan yang menjadi "ruh" kolonialisasi oleh negara-negara Eropa, perluasan wilayah Islam digerakkan oleh semangat tauhid dan disemangati oleh ruh spiritual dimana umat Islam menyebarkan agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Beberapa paradigma historis Islam yang turut mendukung perluasan wilayah Islam ini adalah : Spiritual, Kultural dan Land Reform.
(1) Tauhid Spiritual
Perluasan wilayah Islam tidak didasari oleh semangat materialistik (ekonomi dan kekuasaan) melainkan semangat spiritual (dakwah) menyebarkan keselamatan (rahmatan lil ‘alamin) sebagaimana diemban oleh Islam. Dengan demikian, sejarah Islam tidak bisa dianalisis oleh pendekatan Marxian. Dengan kata lain pendekatan Marxian atau juga Weberian, akan gagal dalam memahami dinamika sejarah peradaban Islam.
(2) Kultural
Penyebaran Islam mengalami kesuksesan besar karena bergerak atas paradigma emphatic approach. Motivasi dasar penyebaran bukan kekuasaan, militerisasi dan ekonomi, melainkan dakwah: Seruan kepada jalan kebenaran dan penegakkan keesaan Tuhan. Dengan demikian, Islamisasi adalah gerakan kultural yang damai. Peperangan dalam sejarah Islam terjadi atas dasar prinsip diserang dan diperangi. Doktrin Islam adalah bila diserang dan diperangi harus melawan dan mempertahankan diri. Dengan "imajined reward" yaitu surga bagi yang turut berjihad, seperti yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad SAW pada umatnya, power dan semangat juang umat Islam dalam menyebarkan agamanya maupun menghadapi penindasan dan perlawanan musuh menjadi berlipat ganda. Inilah psikologi umat Islam yang tidak berhasil difahami para sarjana Barat yang mengatakan bahwa Islam disebarkan dengan pedang. Sejarawan Eropa Edward Gibbon misalnya, yang dalam bukunya The Decline and Fall of The Roman Empire, mengatakan bahwa Islam disebarkan dengan "Koran in their left-hand and sword in their right hand".
(3) Land-Reform
Dalam sejarah Islamisasi yang terjadi pada zaman kekhalifahan dikenal metode land-reform. Land-reform ini dibawa oleh Napoleon Bonaparte ke Eropa dan dijadikan metodanya dalam menyebarkan kekuasaannya.
Ingin ditekankan disini, bahwa ketiga prinsip atau pendekatan Islamisasi ini bergerak di bawah satu institusi yang menjadi kekhasan keunggulan politik Islam dan berjasa menyatukan wilayah yang demikian luas di bawah dinasti Umayyah dan Abbasiyah yaitu sistem Khilafah yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Karena keunggulannya ini, lembaga khilafah telah menjadi kebanggaan umat Islam ketika mengenang sejarah mereka pada zaman kejayaannya. Karenanya, sebagian umat Islam terjebak pada romantisme historis dimana mereka mengidealkannya kembali dalam kondisi ketidakberdayaannya menghadapi hegemoni politik-kultural Barat yang dahsyat atas dunia Islam dewasa ini.
Kini institusi khilafah telah hilang dalam kubangan sejarah setelah dicabut "nyawanya" oleh "malaikat maut" Mustafa Kemal Attaturk di Turki tahun 1924, khalifah terakhir Turki Utsmani (The Ottoman) yang menerapkan program sekulerisasi liberal dalam upaya pembaharuan bangsanya.
Makalah ini tidak membicarakan lembaga kekhalifahan dalam konteks sejarah. Alih-alih melakukan romantisme-historis, berikut ini akan diuraikan tinjauan futuristik bagaimana melihat kemungkinan, realitas dan problematika sistem khilafah dalam panggung sejarah umat Islam babak kedua di masa depan.

Khilafah : Problematika Kontemporer
Sistem khilafah Islamiyyah telah menunjukkan supremasi dan kegemilangan yang telah dicapainya dalam sejarah Islam klasik dan pertengahan. Untuk menghadapi persoalan-persoalan internal dunia Islam kekinian yang sering membutuhkan komando, keseragaman langkah serta kesatuan persepsi, juga menghadapi persoalan-persoalan politik dunia Islam kontemporer, dimana dunia Islam sering "makan hati" atas ketidak- berdayaannya menghadapi hegemoni politik dan kultural Barat, kaum Muslimin tidak bisa tidak membutuhkan satu sistem politik yang dapat menyatukan kembali dunia Islam yang terpencar-pencar dan porak poranda diterjang nasionalisme Barat. Mungkinkah itu adalah Khilafah Islamiyyah seperti dimiliki Islam masa lalu? Persoalannya adalah mungkinkah kita mendirikan kembali bangunan Khilafah yang telah hancur itu mewujud kembali di zaman modern ini?
Berikut adalah sekelumit realitas dan problematika sosiologis-historis umat Islam kontemporer dalam kaitannya dengan gagasan Khilafah Islamiyyah :
1. Pada masa fase kemunduran Islam ditandai oleh krisis dan perpecahan kekhalifahan. Imperialisme Eropa yang mulai masuk ke dunia Islam ditandai oleh masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir tahun 1789 yang membawa ide-ide dan pengaruh Barat. Pengaruh Barat yang paling kuat di dunia Islam dalam wilayah politik adalah ide nation-state (negara bangsa). Ide nation-state didasarkan atas faham nasionalisme. Nasionalisme inilah yang telah menggerogoti dan memecah belah sistem Khilafah Islamiyyah yang memang sedang mengalami krisis dan kemunduran. Sejak munculnya ide nation ini dinasti-dinasti Islam kecil yang berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyyah, seperti Dinasti Fathimiyyah di Mesir abad ke-10, Dinasti Aghlabiyah di Afrika (800 – 811), Dinasti Idrisiyyah, Dinasti Tuluniyyah di Mesir dan Syria (868 – 905), Dinasti Ikhsidiyyah di Turki (935 – 969) dsb, melepaskan diri dari Khalifah pusat menjadi negara-negara merdeka dan akhirnya berevolusi menjadi negara seperti dikenal zaman modern ini.
2. Keragaman budaya dan peradaban sebagai ciri khas Islam, baik dalam masalah teologi (Mu’tazilah, Asy‘ariyyah, Maturidiyyah, Sunni, Syi’ah, dll), fiqh (Hanbaliyah, Hanafiyah, Syafi’iyyah, Malikiyah, Ja’fariyyah), politik (Suni, Syi’ah), bentuk negara (Republik, kerajaan/monarkhi, dll), kultur (Arab, Turki, Persia, Asia Tengah, Asia Tenggara, dll), di satu sisi merupakan kekayaan peradaban Islam yang disimbolkan dalam ungkapan "unity in diversity" tetapi di sisi lain, heterogenitas itu pula yang telah turut mendorong proses disintegrasinya sistem sistem kekhilafahan. Logikanya adalah heterogenitas memunculkan ragam aspirasi, ragam aspirasi menyebabkan ragam kepentingan, dan ragam kepentingan menyebabkan sulitnya persatuan. Sebagian negara-negara Arab berkiblat kepada Amerika bahkan menjadikannya sahabat setia, seperti Arab Saudi, Kuwait, dan lain-lain. Iran yang ketika zaman Imam Khomeini sangat anti-Amerika, kini mulai moderat dan melakukan rekonsiliasi, sementara Malaysia tetap kritis dan bersuara keras kepada negara-negara Barat, terutama Amerika. Indonesia telah kehilangan harga diri seolah-olah tidak bisa hidup tanpa bantuan utang negara-negara Barat lewat IMF, Bank Dunia, dan lain-lain.
3. Di tengah dunia Islam, sudah menjadi persoalan kita bersama, sulitnya mencari pemimpin Islam yang disepakati bersama, apalagi dalam lingkup Khilafah internasional. Oleh sebagian kalangan Sunni, revolusi Iran tahun 1979, tidak dihayati sebagai kebangkitan dunia Islam, melainkan kebangkitan kaum Syi’ah Iran, sehingga imbasnya kurang dirasakan oleh negara-negara muslim lainnya. Di Indonesia, persoalan pemimpin Islam yang disepakati bersama dan diterima semua pihak belum pernah terwujud. Persaingan kelompok NU, Muhammadiyah, kelompok modernis, tradisionalis, dsb masih belum begitu cair. Djalaluddin Rahmat pernah menulis bahwa persoalan kepemimpinan Islam adalah persoalan definisi yang belum pernah disepakati.

Adakah Alternatif ?
Secara historis, sistem Khilafah sesungguhnya merupakan a historical blessing (kebetulan sejarah). Secara konstitusional, sistem Khilafah yang didirikan dan berkembang sejak masa Umayyah sampai menjadi Dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang sangat besar yang bersifat monarki absolut itu sesungguhnya merupakan a historical deviance (penyimpangan sejarah) dari kekhilafahan yang berkembang pada masa khulafaur rasyidiin. Tugas umat Islam sekarang bukanlah terjebak pada romantisme sejarah yaitu membangkitkan kembali sistem Khilafah yang memang hanya kondusif dengan perkembangan masyarakat Islam pada masa itu, melainkan mencari satu bentuk alternatif yang cocok dengan realitas objektif umat Islam kontemporer. Alternatif itu misalnya intensifikasi kerjasama dunia Islam, apakah yang sudah terbentuk dalam OKI (Organisasi Konferensi Internasional) atau yang lain. Yang penting bentuk ikatan baru tersebut harus memenuhi kriteria-kriteria kerjasama sebagai berikut: (1) Kerjasama ekonomi agar bangsa-bangsa Islam mengurangi ketergantungannya kepada negara-negara Barat seperti dicontohkan Malaysia. (2) Kerjasama pendidikan agar umat Islam mampu meningkatkan kualitas pendidikannya dan membentuk SDM yang berkualitas dan mandiri. (3) Kerjasama politik agar negara-negara Islam bisa mengingatkan dirinya dalam barisan yang kuat, memiliki semangat persatuan, solid dan meningkatkan berani. (4) Kerjasama militer agar umat Islam mampu meningkatkan kekuatan senjatanya, memiliki kekuatan tentara dan senjata yang diperhitungkan, terutama untuk tujuan membela masyarakat Islam yang ditindas di suatu negara. Selama ini dunia Islam hanya gigit jari melihat pembantaian muslim di Bosnia, di India, di Chechnya, Ruwanda, bahkan di Ambon di Indonesia. Wallahu a’lam bi shawab !!.

Sekularisasi Bahasa Arab: Upaya Membumikan “Bahasa Langit”

Dari perspektif historis, jejak budaya Arab-Islam telah demikian kuat dan luas pengaruhnya dalam memberi corak warna baru bagi kehidupan masyarakat di “tlatah” bumi Nusantara ini. Salah satu sub-kultur (universal culture) dari Arab-Islam yang menarik untuk disinggung lebih awal adalah seputar bahasa Arab dengan segala dinamikanya. Tulisan seputar realitas, eksistensi dan dinamika bahasa Arab ini sesungguhnya lebih berupa ekspresi keresahan dan kegelisahan penulis terhadap eksistensi dan masa depan bahasa Arab sebagai salah satu pilar penting budaya Arab-Islam di Indonesia. Tulisan ringan, sederhana, dan cenderung tidak formal -dengan kajian dan analisis yang tentu saja tidak begitu mendalam- ini penulis persembahkan sebagai Prawacana buku ini.
Adalah suatu hal yang tak bisa dipungkiri bahwa bahasa Arab memiliki peranan dan kedudukan yang sangat penting tidak saja bagi masyarakat Arab-Islam sendiri, tetapi juga bagi masyarakat internasional terutama pada abad-abad pra- modern (dark age). Sebagai salah satu sub-kultur kebudayaan Arab-Islam, bahasa Arab jelas tidak terpisahkan dari dinamika kebudayaan Arab-Islam itu sendiri. Persenyawaan Islam dengan bahasa Arab semakin mengkristal ketika Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya dengan bahasa Arab. Dengan demikian sejak saat itu menjadi momen penting bagi sejarah perjalanan bahasa Arab dalam turut serta mengabadikan pesan-pesan ilahi melalui nilai fungsinya sebagai medium pewahyuan Al-Qur’an Al-Karim. Momen tersebut pada saat yang sama juga menjadi starting point bagi bahasa Arab untuk naik kasta menjadi “bahasa langit” melalmpui fungsi bahasa -bahasa lain yang ada.
Al-Qur’an telah menjadi bukti hubungan prioritas antara bahasa Arab dengan peradaban Islam. Tidak hanya Al-Qur’an, sumber pokok ajaran Islam yang lain, seperti Al-Hadits, juga menggunakan bahasa Arab sebagai mediumnya, termasuk buku-buku rujukan keagamaan juga ditulis dengan bahasa Arab. Atas dasar inilah orang lalu melihat bahwa bahasa Arab dan agama Islam ibarat dua sisi mata uang, satu dengan lainnya saling melekat dan tak mungkin dipisahkan. Sebab faktanya ,dan sudah menjadi sifat agama Islam, kemana saja ia pergi wajiblah Al-Qur’an turut serta setia bersamanya. Dengan demikian,kedudukan bahasa Arab sebagai “bahasa wahyu” sesungguhnya ibarat “kartu as” bagi bahasa Arab di tengah-tengah percaturan dinamika peradaban masyarakat, utamanya masyarakat Islam.
Jika agama dan budaya Arab-Islam diperkirakan menjejakkan kakinya pertama kali di bumi Nusantara pada abad 7-8 Masehi melalui para pedagang Muslim dari Arab dan Persia dan mulai berkembang pesat sekitar abad 12 Masehi (Hadi, 1995), maka itu artinya bahwa keberadaan bahasa Arab di bumi Nusantara sesungguhnya telah mencapai lebih dari 12 abad. Bagi eksistensi sebuah budaya (peradaban) yang dinamis, rentang waktu 12 abad sesungguhnya bukan waktu yang pendek. Namun faktanya, rentang waktu yang telah demikian panjang tersebut belum mampu menjadi jaminan tumbuh berkembangnya bahasa Arab di Bumi Nusantara secara signifikan, bahkan yang terjadi justru cenderung mengalami stagnasi yang berkepanjangan. Agama Islam dengan segala pilarnya di Nusantara demikian hiruk-pikuknya dengan segala dinamika yang terus berkembang dan semakin kokoh keberadaannya, sementara bahasa Arab sebagai sub-kultur Arab-Islam masih dirasa statis, beku, jumud dan jalan di tempat, jika dibandingkan dengan perkembangan bahasa asing lainnya yang datang lebih belakangan, seperti bahasa Inggris. Padahal bagi penganut Islam, interaksi kultural dengan bahasa Arab justru telah terjadi lebih dini ketimbang dengan bahasa asing lainnya. Hal ini bisa terjadi, lantaran nilai fungsional bahasa Arab sebagai medium upacara-upacara ritual Islam seperti, dalam bacaan dua kalimat syahadat, shalat, dzikir dan semacamnya, yang kesemuanya itu menjadi amaliah dan rutinitas sehari-hari seorang muslim.
Realitas tersebut seolah-olah menjadi legitimasi bagi bahasa Arab di mata kebanyakan orang, bahwa bahasa Arab adalah “bahasa langit”. Fenomena seperti ini disadari atau tidak akan berimplikasi ganda bagi bahasa Arab, menguntungkan sekaligus amat merugikan. Perlakuan berlebihan terhadap bahasa Arab seperti memberikan kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa supranatural, bahasa keramat, bahasa yang identik dengan mantra dan azimat, bahasa suci, dan sebagainya memang semakin menempatkan bahasa Arab pada posisi paling istimewa diantara bahasa-bahasa lainnya, tetapi pada saat yang sama justru mendorongnya ke ruang eksklusifisme sempit yang hanya akan merugikan bahasa Arab itu sendiri. Sebab hal ini sama halnya dengan semakin membelenggu gerak dinamis bahasa Arab secara fleksibel, cerdas dan merdeka. Dan itu artinya kontraproduktif dengan upaya penyebaran, pengembangan dan universalisasi bahasa Arab agar lebih mondial.
Tragedi yang menimpa bahasa Yunani dan bahasa Sansekerta yang dewasa ini hampi-hampir punah – kalau tak boleh disebut telah punah- barangkali bisa dijadikan cermin dan pelajaran berharga bagi upaya pelestarian bahasa Arab agar tetap survive di tengah kebudayaan-kebudayaan modern di dunia. Linguistik pernah hidup dibawah cengkeraman agama, takhayul dan etnosentrisme selama berabad-abad. Pada masa itu selalu terjadi pemberian penghargaan suatu bahasa yang berlebih-lebihan dari pengguna bahasa itu sendiri, sehingga memberikan dampak yang negatif terhadap perkembangan linguistik. Bahasa Yunani umpamanya, menganggap bahwa bahasa Yunani lebih unggul dari bahasa lainnya, karena bahasa tersebut digunakan oleh dewa Olimpian. Hanya bahasa ini lah, menurut mereka yang sempurna tata bahasa dan pengertiannya, sedangkan bahasa lainnya dianggap “barbarian” ( kasar dan tak punya aturan) (Syeed,1989).
Nasib tragis yang kurang lebih sama juga menimpa bahasa Sansekerta, yang bagi masyarakat India dianggap sebagai bahasa tingkat tinggi yang hanya boleh digunakan oleh kasta tinggi yaitu kasta Brahmana. Orang Hindu yang berkasta rendah tidak boleh mendengarkan bait-bait kitab suci yang berbahasa Sansekerta, bahkan hal itu dianggap perbuatan tidak tahu tatakrama, tidak etis atau bahkan asusila. Akankah keberadaan bahasa Arab, khususnya di Indonesia, mengalami nasib setragis kedua bahasa besar dunia tersebut ? Tentu tak ada yang bisa menjamin, sebab upaya membumikan bahasa Arab di Indonesia sering berhadapan dengan tembok raksasa, utamanya adalah berupa kendala psikologis masyarakat Islam sendiri dalam memandang dan memposisikan bahasa Arab, yang agak-agaknya mirip dengan kasus yang terjadi pada bahasa Yunani dan bahasa Sansekerta.
Bagi masyarakat Islam di Nusantara, bahasa Arab memegang andil yang cukup signifikan sebagai fase awal interaksi kultural, yang diharapkan dapat membawa dampak pada kehidupan sosio-ekonomi-politik. Namun yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah membebaskan bahasa Arab dari muatan-muatan ideologis. Sesuatu yang salah kaprah di pahami oleh sebagian besar dari bangsa Indonesia adalah mengidentikkan Arab dengan Islam. Bahasa sebagai alat komunikasi, informasi, edukasi, telah dilekati dengan muatan-muatan ideologis yang membelenggu bahasa tersebut, dan pada akhirnya mempersempit pemahaman masyarakat. Bahasa Arab yang diidentikkan dengan Islam, membuat kita selama ini sibuk barasyik-masyuk dengan buku-buku keislaman (soal-soal keagamaan). Hal itu melahirkan stigma, bahwa kalau tidak berisi ajaran Islam, tak ada tulisan Arabnya, berarti bukan buku Islam.
Pengkultusan yang berlebihan terhadap bahasa Arab bukan malah menempatkan bahasa Arab di kedudukan paling tinggi, tapi justru semakin mengisolasi dan menjauhkan bahasa Arab dari dinamika sosialnya. Jika fenomena ini dibiarkan terus berkembang lebih jauh lagi, tak menutup kemungkinan bisa menimbulkan phobia bagi orang yang ingin mempelajarinya. Tidak sedikit diantara kita yang mengharuskan berwudlu’ terlebih dahulu sebelum belajar dan menyentuh teks-teks berbahasa Arab. Ada lagi sebagian dari kita yang begitu hormatnya terhadap bahasa Arab, begitu menemukan secuil kertas berbahasa Arab lalu dipungut dari jalan dan diselipkan di dalam kopyah sebagai tanda rasa penghormatan terhadap bahasa Arab, tanpa tahu sama sekali apa isi dan makna tulisan Arab tersebut. Padahal, bisa jadi tulisan tersebut tentang kata-kata asmara, ejekan, atau bahkan umpatan sumpah serapah. Ada lagi contoh lain, seorang ibu mendengarkan tape recorder, terdengar lagu Salam Min Ba’iid yang amat populer dinyanyikan Mas’ud Shidiq itu. Ketika mendengar lagu itu suasana menjadi hening seketika, seakan mendengar alunan ayat-ayat suci. Padahal kalau tahu isi dan makna sesungguhnya dari syair tersebut, tentu dia akan segera istighfar sebab isinya tak lebih dari sekedar kidung kasmaran, rayuan gombal, dan omong kosong lainnya sekitar cinta dan asmara.
Subtansi penghormatan yang sesungguhnya menurut Islam adalah bukan pada bahasanya, tetapi apa isi dan makna bahasa tersebut. Meski dengan tulisan atau bahasa Jawa sekalipun, jika isi dan makna tulisan tersebut tentang asma-asma Allah SWT atau kalimat-kalimat yang harus diagungkan, maka sesungguhnya itulah hakekat yang secara substansial mesti dihormati dan dijunjung setinggi-tingginya. Tragisnya, kebanyakan orang seringkali tidak mampu memilah-milah yang sakral dari yang profan. Sakralisasi terhadap bahasa Arab, tidak akan menempatkan bahasa Arab pada posisi menguntungkan, tetapi sebaliknya malah akan menambah beban psikologis bahasa Arab semakin tidak ringan. Oleh karena itu sekularisasi bahasa Arab merupakan hal yang amat mendesak direalisasikan. Yang dimaksud sekularisasi disini adalah melepaskan bahasa Arab dari “baju” atau “image” teologis Islam, artinya menempatkan hal yang profan pada tempatnya, dan yang sakral juga pada tempatnya. Memperlakukan hal yang profan pada wilayahnya dan hal yang sakral juga pada wilayahnya sendiri.
Arab bukan hanya Islam, dan karena itu tidak identik dengan Islam. Dan Islam tidak hanya fiqh, akhlak, hadits, tashawwuf dan sebagainya. Dalam Islam juga ada politik, sosial, ekonomi, sastra, budaya, dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan di negara-negara Arab sendiri saat ini bahkan sudah cukup lama terjadi perubahan struktur sosial, pergeseran wacana, perubahan perilaku sosial-politik masyarakat. Hal-hal tersebut dalam tataran tertentu belum dipahami dan dialami bangsa Indonesia sebagai salah satu komunitas dunia yang banyak mengadopsi dan menjadikan budaya Ara-Islam sebagai jalan hidupnya. Sikap inklusif masyarakat Mesir misalnya, perlu dielaborasi agar wacana beragama dan bermasyarakat di Indonesia tidak lagi diwarnai golok, carok, bom bunuh diri, radikalisme, terorisme, dan jargon-jargon seram dan menakutkan lainnya. Perubahan-perubahan positif yang bersifat inklusif itulah yang perlu dikembangkan di Indonesia. Perkembangan dunia keilmuan dan juga bahasa-sastra di negara-negara Arab perlu ditranformasi, agar setidaknya terjadi interaksi kultural yang lebih konstruktif.
Perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat menjadi momentum penting bagi bahasa Arab untuk memainkan fungsi utamanya sebagai medium komunikasi global. Jaringan internet, jaringan TV-TV Arab seperti Al -jazeerah, dan Al- Arabiyyah, serta beragama media cetak berbahasa Arab bisa menjadi contoh kecil paling aktual mengenai interaksi kultural dan dinamika bahasa Arab sesungguhnya, dalam sirkulasi arus informasi dan komunikasi masyarakat global, setara dengan bahasa-bahasa dunia lainnya. Masyarakat semestinya semakin sadar kalau fungsi bahasa Arab tidak lagi hanya berkutat pada pusaran upacara-upacara ritual keagamaan Islam saja, melainkan telah amat jauh menembus batas fungsi-fungsi sebagai “ bahasa yang hidup” dengan dinamika yang amat tinggi di segala lini (aspek) kehidupan modern.
Adalah tugas bagi para pakar, pemerhati, dan peminat bahasa Arab di Indonesia untuk secara intens menyosialisasikan dan memperjuangkan signifikansi pembebasan bahasa Arab dari hegemoni muatan-muatan ideologis yang bersifat supranatural dan “samawi”. Ide sekularisasi bahasa Arab setidaknya bisa menjadi “ state of the arts” bagi kajian – kajian dan berbagai studi linguistik Arab secara menyeluruh yang salah satu tujuannya tak lain adalah menghindarkan bahasa Arab jatuh ke wilayah esoterik. Membiarkan status quo bahasa Arab dalam cengkeraman agama (Islam ), berarti sama halnya membiarkan bahasa Arab hidup dalam pasungan, oleh karenanya mesti segera dibebaskan. Sebab jika tidak, maka terulangnya kembali tragedi yang pernah menimpa bahasa Yunani dan bahasa Sansekerta pada bahasa Arab, bukanlah hal yang mustahil

Tidak ada komentar: