Senin, 20 April 2009

Pendidikan Islam Untuk Anak Jalanan

Oleh Mohammad Latief

Pendahuluan

Topik ini sengaja diangkat karena tiga alasan. Pertama, bulan Mei sebagai momentum pendidikan nasional mengingatkan kita untuk menengok latar dan wajah pendidikan yang kita sadari sebagai aspek terpenting dalam perubahan masyarakat. Kedua, harus diakui bahwa selama ini perhatian kita sebagai pelaku dakwah, khususnya lembaga-lembaga dakwah terhadap realitas komunitas masyarakat yang terpinggirkan secara struktural, sosial, ekonomi dan budaya, masih dirasa sangat kurang, padahal peran utama dari eksistensi lembaga-lembaga dakwah adalah berusaha bagaimana Islam mampu menjadi spirit dalam kehidupan umat manusia dan tentunya mampu menampilkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Ketiga, sebagai akibat logis dari alasan kedua, tulisan ini sengaja memancing sejauhmana perhatian yang akan diberikan lembaga dakwah terhadap pendidikan Islam bagi anak jalanan. Sebagai bagian dari potensi dakwah, semestinya kita berani mengakui bahwa dakwah kita seringkali tertuju kepada kelompok masyarakat yang sudah terbina dan jarang menyentuh kelompok masyarakat marginal sebagaimana yang disandang oleh anak-anak jalanan.

Kemiskinan dan Realitas Anak Jalanan

Realitas kemiskinan dengan indikator ketidakmampuan nilai pendapatan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak hanya melemahkan posisinya sebagai individu, tetapi juga berakibat pada terbatasnya pemenuhan kesejahteraan keluarga, baik kebutuhan yang bersifat primer maupun sekunder, seperti tempat tinggal yang layak, pemenuhan gizi keluarga dan pendidikan anak. Salah satu pihak yang menjadi korban dari kondisi ini adalah anak, dimana jaminan untuk berlangsungnya proses pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu, baik dari segi fisik, psikis, kehidupan sosial, pendidikan dan kualitas moral keagamaan. Ketidakberdayaan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan anak, membuat anak terpaksa drop out sekolah atau bahkan tidak mampu bersekolah. Kondisi ini juga ikut mendorong anak untuk bekerja atau terpaksa turun ke jalan-jalan dalam rangka membantu perekonomian keluarga (children on the street), bahkan banyak diantara mereka yang terpaksa hidup di jalan (children of the street) akibat terputus hubungan dengan orang tua dan keluarganya. (homeless)

Situasi kehidupan di jalanan memang memberikan peluang bagi anak-anak untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat menghasilkan nafkah atau sekedar untuk bergaul dan bermain dengan teman sebaya. Tetapi situasi kehidupan jalanan juga sangat membahayakan bagi kehidupan anak-anak, baik ancaman kecelakaan, maupun ancaman terhadap kesehatannya. Kehidupan keras di jalan menyebabkan anak rentan terhadap eksploitasi kekerasan, kriminalitas, penyalahgunaan narkotika, psikotrofika dan zat adiktif lainnya, serta perbuatan asusila, sehingga membahayakan perkembangan emosional, intelektual, dan moral anak.

Sekarang ini, anak jalanan adalah bagian dari pemandangan kehidupan kota, menurut survei yang dilakukan oleh Pilar tahun 1998, jumlah anak jalanan ditaksir ada 50.000 orang. Di Jakarta saja, pada Agustus 1998 terdata 6.100 orang, dan di bulan Oktober 1998 melonjak menjadi sekitar 12.630 orang. Sementara di Bandung tak kurang dari 10.000 anak jalanan, padahal sebelum krisis cuma 2.000 anak. Begitu pula di Ujungpandang, menurut perhitungan sebelum krisis ada 3.900 anak, kini diperkirakan 5.700 anak atau bertambah 50 persen (Pilar, No. 24/Th.1/2-15 Desember 1998).

Hak Mendapatkan Pendidikan Islam

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah asset bangsa yang amat berharga dan menentukan kelangsungan hidup, kualitas dan kejayaan suatu bangsa di masa datang. Untuk itu, anak mempunyai hak dan kebutuhan hidup yang wajib dipenuhi, yaitu hak dan kebutuhan akan makan, gizi, kesehatan, bermain, kebutuhan emosional dan pendidikan, serta memerlukan lingkungan keluarga dan lingkungan sosial yang mendukung bagi kelangsungan hidup, tumbuh kembang, dan perlindungan, sebagaimana hak-hak anak yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yaitu hak terhadap kelangsungan hidup, hak terhadap perlindungan, hak untuk tumbuh kembang, dan hak berpartisipasi.

Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwasanya perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Realitas anak jalanan sebenarnya menunjukkan bahwa negara belum mampu memberikan perlindungan atau standar pelayanan terhadap anak, dengan demikian maka amanat suci dari Undang-undang Perlindungan Anak masih jauh dari kenyataan dan membutuhkan perjuangan yang panjang.

Diantara bentuk perlindungan dan pelayanan itu adalah, terjaminnya pendidikan agama bagi anak. Sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam dan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, maka bisa diklaim bahwa agama yang dianut oleh mayoritas anak Indonesia, termasuk anak jalanan adalah agama Islam. Dengan demikian anak jalanan berhak mendapatkan jaminan dan perlindungan untuk memperoleh pendidikan Islam, sebagaimana anak-anak lainnya yang hidup dalam keadaan sosial yang normal.

Secara sederhana pendidikan Islam adalah usaha sadar yang dilakukan secara sistematik untuk membentuk masyarakat didik sesuai dengan tuntutan Islam. Pendidikan Agama Islam dalam konteks ke-Indonesiaan memiliki peran penting dalam upaya mewujudkan generasi dan masyarakat Indonesia yang beradab. Apalagi jika dikaitkan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional juga bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Dalam perspektif Undang-undang Sisdiknas, pelaksanaan pendidikan Islam untuk anak jalanan dapat berlangsung melalui jalur tiga jalur. Pertama, pendidikan formal, yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Kedua, pendidikan nonformal, yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Dan ketiga, pendidikan informal, yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.

Mengingat karakteristik yang melekat pada sosok anak jalanan, maka pelaksanaan model pendidikan Islam bagi anak jalanan berbeda dengan model pendidikan Islam bagi komunitas yang lainnya, khususnya dalam pendekatan belajar dan pembelajaran, metode dan strategi pengajaran, kurikulum dan standar kompetensi, sarana, dan pengelolaan lembaga pendidikan.

Pendidikan memang merupakan kunci kemajuan, semakin baik kualitas pendidikan yang diselenggarakan oleh suatu masyarakat dan bangsa, maka akan semakin baik pula kualitas masyarakat dan bangsa tersebut. Fazlurrahman menyatakan bahwa setiap reformasi dan pembaharuan dalam Islam harus dimulai dengan pendidikan. Dan dari sekian banyak tantangan permasalahan yang dihadapi khususnya oleh dunia Islam dewasa ini , pendidikan adalah masalah yang paling menantang, masa depan dunia Islam menurut Khursid Ahmad tergantung kepada cara bagaimana dunia Islam mampu menjawab dan memecahkan tantangan ini.

Peran organisasi Islam

Permasalahan anak jalanan merupakan permasalahan yang komplek yang pada hulunya banyak faktor yang menjadi pemicu dan penyebabnya seperti kemiskinan, keretakan keluarga, orang tua yang tidak memahami dan tidak memenuhi kebutuhan anak. Sementara di hilirnya menimbulkan permasalahan sosial lain serta gangguan terhadap keamanan dan ketertiban di jalanan pada khususnya dan fasilitas umum di perkotaan pada umumnya, oleh karena itu memerlukan penanganan yang serius dan peran serta masyarakat, organisasi sosial, lembaga keagamaan dan pemerintah.

Jika organisasi Islam merasa tertarik untuk menangani dan membina anak-anak jalanan, maka ada beberapa model penanganan yang ditawarkan dalam konteks pendidikan Islam:

Pertama, organisasi Islam mendorong kepada jamaahnya yang mampu untuk berani mengadopsi anak jalanan (khususnya anak jalanan yang sudah terputus dengan keluarganya) dan bersedia memberikan hak-hak dasar anak untuk tumbuh dan berkembang, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan Islam. Cara ini beresiko karena karakteristik liar yang terdapat pada sosok anak jalanan belum tentu bisa diterima oleh keluarga jamaah, tapi jika ada jamaah yang berani mengambil resiko tersebut, maka ini adalah amal shaleh yang luar biasa.

Kedua, organisasi Islam membentuk tim khusus yang mampu menjalankan fungsi-fungsi pendampingan bagi anak jalanan. Tim ini secara rutin melakukan kegiatan pembinaan dan pendidikan anak jalanan yang dipusatkan di jalanan, wilayah di mana mereka biasa beroperasi, model ini biasa disebut dengan street based. Walaupun bersifat insedental dan temporer, paradigma street based setidaknya dapat memberikan perlindungan dan kebutuhan sementara anak jalanan.

Ketiga, organisasi Islam mengorganisir seluruh potensinya untuk bersama-sama membangun rumah atau panti (centre based) yang dikhususkan bagi pembinaan anak jalanan. Melalui panti inilah, lembaga dakwah dapat melakukan peranannya secara utuh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak jalanan, khususnya pendidikan Islam. Model ini jelas memerlukan biaya yang mahal, tapi pendekatan centre based diyakini mampu memberikan perhatian secara optimal kepada anak jalanan dan mampu memutus pengaruh negatif dari kehidupan jalanan. Dalam operasionalnya, panti pada tahap awalnya berfungsi sebagai rumah singgah bagi anak jalanan, dan melalui mekanisme alami fungsi rumah singgah dapat berubah menjadi fungsi rumah yang sesungguhnya bagi komunitas anak jalanan. Lewat manajemen panti inilah, lembaga dakwah dapat mengemas konsep pendidikan Islam yang tepat dan sesuai dengan perkembangan individu anak jalanan.

Penutup

Penulis teringat kisah klasik yang diperankan oleh Kyai Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) yang beberapa kali harus mengulang kajian tentang pembahasan surat Al-Ma'un hanya karena beliau ingin para santrinya mampu menangkap realitas kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat yang terjadi di sekitar mereka yaitu Yogyakarta, dan berharap mampu berbuat untuk mengatasi realitas tersebut. Saya kira jika organisasi Islam, khususnya lembaga-lembaga dakwah hanya sibuk dengan rutinitas keorganisasiannya, merasa puas dengan kegiatan pembinaan masyarakat yang sudah terbina, dan melupakan perhatiannya terhadap fenomena masyarakat marginal seperti anak jalanan, maka bisa jadi kita semua harus kembali belajar untuk menangkap makna sesungguhnya dari surat Al-Ma'un, sehingga kita terhindar dari golongan yang mendustakan agama. (ziasel)

Tidak ada komentar: