Senin, 20 April 2009

Belajar dalam Paradigma Kritis

Oleh: Safaat Setiawan, S.Ag
Setiap praktek pendidikan dimanapun adanya, tentu tidak akan terlepas dari paradigma yang dipakai dalam sistem pembelajarannya. Kaum penjajah misalnya tentu mempunyai paradigma pendidikan yang disesuaikan dengan cita-cita dan tujuan mereka.
Sehingga dalam praksis pendidikan mereka sangat tidak diinginkan lahirnya pemahaman kritis, sebab hal itu akan sangat berbahaya bagi eksistensi mereka.Di negara kita pun dapat kita jumpai berbagai macam cara pandang (paradigma) yang dipakai oleh berbagai macam lembaga pendidikan yang sangat berbeda-beda.

Beberapa Paradigma Dalam Pendidikan
Sebuah penggolongan paradigma secara sederhana oleh Henry Giroux dan Aronowitz yang membaginya pada tiga kelompok yaitu konservatif, liberal & kritis. Bagi paradigma konservatif ketidak sederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami yang mustahil bisa dihindari. Pendidikan tidak perlu bersusah payah untuk memperjuangkan perubahan social karena mereka yang bodoh, menderita, miskin, dsb adalah akibat dari kesalahan mereka sendiri, atau mungkin juga sudah takdir Tuhan. Institusi pendidikan adalah sebuah alat untuk melanggengkan hubungan yang tidak sederajat ini. Paradigma ini biasa dipakai kaum penjajah atau kaum feodal yang "kolot".

Paradigma liberal lebih moderat, menurut mereka memang ada masalah di masyarakat tetapi pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tradisi individualisme dan pengutamaan terhadap prestasi, keunggulan, kemampuan akademik adalah crri-ciri mereka, dengan penekanan pada aspek kompetitifnya. Mungkin kategori inilah yang saat ini dipraktekan oleh pendidikan nasional kita, dengan fenomena banyaknya sekolah-sekolah unggulan, iming-iming beasiswa, hingga sistem belajar CBSA dll. Berbeda dengan paradigma diatas adalah paradigma kritis yang baginya pendidikan harus menciptakan sikap kritis terhadap sistem dan dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan tertindas untuk menciptakan sebuah sistem social baru yang lebih adil. Termasuk dalam kategori paradigma ketiga inilah konsep-konsep yang diajukan oleh Paulo Freire sebagai bentuk advokasi nyata pada rakyat tertindas dan terdzalimi.

Tinjauan Filosofis Eksistensi Manusia
Manusia hanya akan mengada didalam dunia apabila ia menjadi subyek. Manusia dilahirkan tidak seperti hewan yang hanya ada "di dalam dunia" tenggelam bersama dunia, beradaptasi dan tergantung pada lingkungannya. Manusia ada "bersama dunia", ia mengada secara aktif dan mampu mengatur dunia, selalu berhubungan dengan dunia secara kritis. Dan hanya dengan demikianlah ia disebut sebagai manusia sebenarnya. Walaupun pemikiran semacam ini juga membawa dampak fatal seperti yang dialami Nietsche yang akhirnya berkesimpulan "God is Dead", maka kita harus kesampingkan akibat negatif yang terlalu berlebihan ini.
Posisi manusia sedemikian adalah sebagai Das Sollen yang seharusnya dimiliki manusia. Ternyata realitas berbicara lain. Murid sebagai manusia seharusnya diposisikan sebagai subyek dalam proses pendidikan dan bukan obyek. Dalam artian murid tidak harus menerima begitu saja kebenaran dari guru yang dipaksakan, dan murid tidak boleh dianggap bodoh secara mutlak.

Sistem Pendidikan Kita
Dunia kampus merupakan harapan besar kita agar tercipta sebuah proses pendidikan kritis yang mampu menciptakan suasana dialogis dalam arti yang sebenarnya tidak dalam situasi hegemonis dan dominatif seperti yang banyak terjadi dalam praktek pendidikan pada umumnya. Sangat menarik dalam hal ini bila kita mengutip pendapat Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa hingga saat ini sistem dan metode yang banyak dipakai di IAIN adalah lebih banyak mengikuti pada pendidikan gaya bank (The Banking Concept of Education) yang kurang memberi kesempatan pada pengembangan kualitas mahasiswa secara maksimal. Pola komunikasinya lebih bersifat satu arah dengan guru sebagai figure sentral.

Ciri-ciri konkret pendidikan gaya bank adalah : 1. Guru mengajar, murid diajar, 2. Guru mengetahui sesuatu dan murid tidak mengetahui apa-apa, 3. Guru berpikir dan murid dipikirkan, 4. Guru bercerita dan murid patuh mendengarkan, 5. Guru menentukan peraturan dan murid diatur, 6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui, 7. Guru berbuat,murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya, 8. Guru memilih bahan pelajaran, murid tanpa diminta pendapatnya menyesuaikan diri dengan pelajaran itu, 9.guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan jabatannya yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan murid, 10. Guru adalah subyek dalam proses belajar dan mengajar, murid hanya obyek belaka. Penempatan murid seperti ini jelas tidak sesuai dengan kodrat manusia yang terlahir sebagai subyek yang harus mengada ke dunia secara bebas.

Sebagai solusi dalam mengatasi penindasan yang telah masuk dalam lapangan pendidikan ini Freire menawarkan konsep pendidikan hadap masalah (Problem Possing) sebagai jalan keluar. Konsep ini menempatkan guru dan murid sebagai subyek dalam sebuah proses pendidikan. Dan realitas dunialah yang dijadikan obyek. Tujuan pendidikan sebagai tabungan harus diganti dengan penghadapan pada masalah-masalah manusia dalam hubungannya dengan dunia. Kini pendidikan bukanlah lagi sebuah proses transfer ilmu dari guru dan murid, sebab keduanya kini bersama-sama dalam suasana dialogis membuka cakrawala realita dunia.
Dialog merupakan sarana yang harus ada dalam proses ini. Sehingga pendidikan menjadi tanggung jawab bersama guru dan murid. Proses dialog inipun tidak boleh menjadi proses yang hegemonis dan dominatif yang berpihak pada guru, namun haruslah menjadi sebuah motivasi munculnya kesadaran-kesadaran kritis baik dari guru ataupun murid khususnya. Sehingga proses ini akan senantiasa merefleksikan antara pengalaman murid dan guru. Di sini guru menyajikan pelajarannya kepada murid sebagai bahan pemikiran mereka dan menguji kembali pemikirannya terdahulu ketika murid mengemukakan hasil pemikirannya sendiri. Peran pendidik disini adalah bersama-sama dengan murid menciptakan pengetahuan sejati yang tidak bersifat dogmatis. Murid disini diusahakan dapat mengungkapkan segala sesuatu dengan bahasa mereka, pendapat mereka, sebagai sebuah proses yang selalu menjadi dan belum selesai. Karena manusia adalah makhluk yang terus manjawab tantangan realitas dunia agar ia dapat mengada dengan sejati, dan bukan diatur, ditentukan atau didikte orang lain.

Konsep yang kedua ini tentu akan menghasilkan murid yang mampu memandang dengan kritis terhadap dunia, mampu berpikir bebas yang dengan demikian akan berpandangan optimis terhadap dunianya. Sebaliknya pendidikan gaya bank akan menghasilkan murid-murid yang berpandangan fatalis terhadap dunianya. Ia akan menjadi orang bentukan yang harus tunduk pada aturan-aturan yang sesungguhnya bisa jadi diciptakan segelintir manusia demi kepentingan mereka.

Belajar efektif
Idealnya para mahasiswa (murid) harus dilibatkan secara aktif dalam proses pendidikan dalam arti yang komprehensif. Sejak penyusunan kurikulum, penentuan proses pengajaran, bahkan guru yang yang tidak disenangi seharusnya tidak bisa dipaksakan untuk mengajar. Dengan demikian proses pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan bukan monopoli para "penguasa" pendidikan. Karena boleh jadi apa yang disampaikan kepada murid tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Para siswa di kampung nelayan misalnya mereka tidak lagi perlu belajar cara penanaman padi yang baik, sistem irigasi dsb. Mereka lebih butuh pada bagaimana cara menangkap ikan yang efektif.

Kalaulah demikian paradigma yang kita pakai maka murid juga harus secara aktif mengada dalam kapasitasnya sebagai subyek dalam pendidikan. Maka diperlukan cara belajar yang tidak lagi menghafal, mengulang apa saja yang dikatakan dosen, seperti robot yang diisi informasi. Sebaliknya mahasiswa harus secara aktif mencari apa yang akan dijadikan kajian, bagaimana pendapat saya, dan saya tidak harus mengekor pendapat orang, termasuk guru.Walaupun tidak berarti kita menolak kebenaran.

Diakui atau tidak, bentuk pendidikan kritis cenderung untuk disalah artikan pada tataran negatif. Demi alasan demokratis, kebebasan intelektual dan seribu alasan lain, ada yang lalu seolah menghalalkan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan norma yang masuk dalam lingkungan akademis kita. Sungguh amat disayangkan jika dengan alasan yang suci mereka melakukan hal-hal yang tidak pantas. Pola berpikir kritis tidak harus meninggalkan kehormatan kita pada kaum intelektual (guru), almamater, atau siapa saja yang seharusnya pantas untuk dihormati.
Sumber:sekolahindonesia.com


Menerapkan Aturan Kelas
Ada kalanya seorang guru perlu membuat aturan-aturan yang intinya mengajari siswa supaya dapat belajar disiplin. Masalah kadang kerap timbul apabila batasan-batasan tersebut diterapkan kepada siswa yang memiliki kepribadian berbeda dengan teman sebayanya.
Berbeda disini maksudnya memiliki perilaku yang lebih sulit dibina dibanding anak-anak lainnya.
Berikut beberapa saran bagi para guru supaya aturan-aturan yang dibuat dapat diterapkan pada siswa dengan mengurangi timbulnya masalah.

1. Buatlah aturan seminim mungkin
Aturan yang hendak dibuat hendaknya jelas dan langsung. Sehingga siswa langsung mengetahui mana batasan mereka. Jelaskan kepada mereka konsekuensi dari aturan tersebut, baik positif maupun negatif. Berikan hadiah, pujian atau simpati kepada mereka yang mematuhinya. Sedang bagi yang tidak, berikan hukuman yang yang dapat memotivasi kedisiplinan mereka.

2. Beri hadiah atau hukuman yang masuk akal.
Terangkan dengan sejelas-jelasnya kewajiban apa yang harus siswa kerjakan. Berikan pengertian kepada siswa yang bermasalah secara efektif. Jelaskan bahwa mereka adalah pemegang kendali atas kemampuan dan prilakunya masing-masing. Di akhir tugas, jelaskan bahwa dengan mengerjakan tugas tepat pada waktunya, biarpun terpaksa, toh akhirnya mereka juga dapat melakukan aktifitas lainnya yang disukai. Jadi mengerjakan tugas bukan penghalang untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan lainnya.

3. Banyaklah berkomunikasi dengan siswa
Selalu komunikasikan dengan siswa secara baik-baik segala hal yang ingin diterapkan kepada mereka. Berikan penjelasan dari sudut pandang sebagai seorang guru dan terangkan perkembangan apa saja yang telah diraih oleh setiap siswa. Walaupun efeknya tidak langsung terlihat, namun apabila dibiasakan siswa akan merasa tergerak untuk melakukan kewajiban mereka.

4. Bekerja sama dengan para siswa.
Walaupun aturan sudah dibuat dan siswa harus melaksanakannya, bukan berarti mereka tidak dapat diajak kerja sama. Berikan kepada mereka secara rutin : jadwal pembelajaran, lembaran tugas harian, dan daftar aturan serta konsekuensinya. Bantuan ini dapat dijadikan referensi bagi siswa untuk melakukan kewajiban dengan baik.

5. Bersikap dan berpikir positif.
Sekeras apapun disiplin yang dibuat, tidak berarti berupa pemaksaan atau kekerasan kepada murid. Berikan kepada siswa pilihan. Jadikan hal tersebut topik dari segala komunikasi dengan siswa. Pada siswa yang selalu terlambat mengerjakan tugas, misalnya, beri pilihan untuk berusaha lebih keras lagi atau akan kehilangan jatah waktu istirahatnya. Biasanya pendekatan ini akan membuat siswa menjadi termotivasi sendiri.

6. Pendekatan kepada siswa yang bermasalah.
Apabila ingin memberikan pengertian kepada siswa yang sering lalai atau bermasalah, gunakan pendekatan yang tidak mencolok perhatian siswa lainnya. Apabila tidak dapat berbicara langsung pada ruangan tersendiri, alihkan perhatian siswa lainnya dengan memberikan pekerjaan ringan. Ajaklah berdiskusi, karena mungkin faktor kelalaian mereka bisa berupa stress atau tekanan akademis yang terlalu berat. Bisa juga karena mereka memiliki energi yang berlebih sehingga susah untuk berkonsentrasi cukup lama pada satu mata pelajaran. Bantulah mereka untuk mengatasi masalah tersebut.

Sumber: www.sekolahindonesia.com








Mencairkan Kebekuan di Kelas
Ada beberapa tips menarik untuk mencairkan kebekuan yang kadang terjadi di dalam kelas. Tips-tips ini sudah pernah dilakukan oleh beberapa pengajar dari luar negeri dan terbukti manjur. Selain suasana kelas jadi hangat juga dapat membuat para murid lebih mengenali teman sekelasnya lebih jauh. Selamat mencoba !
Permainan 1
Siapkan terlebih dahulu kartu 4 warna sejumlah banyaknya murid di kelas, kemudian tumpukan menjadi satu dan kocok beberapa kali. Bagikan kepada tiap murid untuk mengambil salah satu kartu secara acak. Setelah semua murid mendapat kartu pilihannya, beritahukan arti dari masing-masing warna tersebut. Misalnya, warna merah mengharuskan murid untuk bercerita mengenai hobi mereka, warna biru untuk bercerita tentang buku atau lagu favorit mereka, warna hijau untuk tempat atau kegiatan liburan favorit dan kuning untuk makanan yang paling disuka. Supaya menarik minat para murid ada baiknya permainan dimulai dari Anda terlebih dahulu, dengan bercerita mengenai keempat hal yang disukai oleh Anda sendiri. Kemudian mintalah para murid untuk menuliskan cerita mengenai mereka berdasar pada warna kartu yang mereka dapat di selembar kertas. Setelah semua selesai ajaklah para murid untuk membacakan apa yang mereka tulis , bisa dimulai dari bangku terdepan atau berdasar pada urutan absen.
Kartu warna-warni dapat Anda ganti dengan benda lain yang lebih menarik, misalnya permen atau bola.

Permainan 2
Kali ini Anda dapat mencoba bola tenis. Mulailah dengan menceritakan tentang kesukaan Anda terlebih dahulu, misalnya liburan, musik, film atau buku favorit. Setelah Anda selesai bercerita lemparkan bola kepada salah seorang murid secara acak. Murid yang memegang bola diminta untuk melakukan hal yang sama, menceritakan kesukaannya dan kemudian melemparkan bola lagi ke temannya. Pastikan semua murid mendapat giliran bola untuk bercerita. Alternatif lainnya adalah melemparkan bola ke murid sesuai urutan abjadnya, dimulai dari murid yang namanya berawalan huruf A dan seterusnya. Tujuan dari permainan ini adalah membuat para murid menjadi lebih aktif dan kenal lebih dekat dengan teman-teman kelasnya, selain tentu saja dengan Anda juga.


Memotivasi Anak Didik: 8 Langkah Sederhana Bagi Guru

Oleh: Lana Becker and Kent N. Schneider
Dasar-dasar dalam Matematika dan Akuntansi cenderung memiliki reputasi sebagai suatu pelajaran yang “sulit dan membosankan”. Susah untuk memotivasi murid untuk menyempatkan diri dan melakukan apa pun yang dirasa perlu untuk berhasil memperoleh nilai yang baik dalam pelajaran tersebut.
Demi menjawab tantangan ini, kami telah menyusun sebuah daftar yang berisi delapan langkah sederhana untuk membantu siswa tetap fokus dan termotivasi. Langkah-langkah ini bukanlah yang pertama dan mereka tidak hanya ditujukan bagi kita yang mengajar pelajaran akuntansi saja. Tentunya, saran-saran yang dikemukakan disini dapat pula diterapkan kepada siswa dalam yang menemukan kesulitan dan merasa bosan dalam mata pelajaran lainnya, sehingga bagi kami hal ini dapat diterapkan secara luas.

Langkah 1: Tekankan tentang konsep-konsep yang bersifat sangat penting secara berkala. Tanyakan konsep-konsep ini dalam kelas dan tugas selama pelajaran itu berlangsung. Masukkan pertanyaan yang berhubungan dengan konsep penting tersebut dalam setiap ujian, yang berarti memberikan siswa kesempatan untuk belajar, mengingat/menghafal dan semoga dapat menerapkan pengetahuan tersebut dalam beragam konteks.


Langkah 2: Sediakan bagi siswa “alat bantu visual”, bila mungkin, saat menerangkan suatu konsep yang abstrak, karena saat ini sebagian besar jumlah murid adalah bersifat pelajar visual. Bagi mereka, suatu diagram atau bagan sederhana secara nyata dapat lebih bernilai dibandingkan dengan seribu kata dalam sebuah bacaan atau buku pelajaran.

Langkah 3: Andalkan penggunaan logika anda saat memungkinkan. Tekankan pada siswa informasi mana yang adalah “fakta” yang wajib dihafalkan dan isi mata pelajaran yangmana sajakah yang berdasarkan “logika”. Tunjukkan kepada mereka bagaimana menggunakan logika berpikir dalam belajar dan dalam memperoleh informasi baru. Contoh, didalam system pembukuan double-entry, “debit” sama dengan “kredit”, dan jumlah debit menyebabkan jumlah keuntungan meningkat. Hal ini adalah “fakta” atau bagian dari sistemnya; mereka bukanlah berdasarkan logika. Namun, ketika siswa dapat menerima sistem tersebut, maka logikanya dapat digunakan seiring dengan ia mengerjakan sistem itu. Melanjutkan contoh tadi, jika debit meningkatkan keuntungan, maka adalah logis bahwa kredit mengakibatkan kerugian.

Langkah 4: Lakukan kegiatan dalam kelas untuk mengajarkan materi pelajaran yang baru saja diajarkan. Setelah sebuah konsep baru atau subjek pelajaran diajarkan dengan menggunakan teks bacaan, pengajaran/perkuliahan, atau diskusi kelas, biarkan siswa menerapkan konsep tersebut dalam sebuah tugas yang dikerjakan di kelas. Tugas-tugas ini dapat berupa singkat saja, namun haruslah dikembangkan untuk memastikan bahwa para siswa memahami konsep terpenting dari materi baru tersebut. Use in-class activities to reinforce newly presented material. Seyogyanya, proses pembelajaran paling sukses adalah ketika para siswa diizinkan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil, menggunakan buku dan catatan mereka, dan bertanya pada guru sambil menyelesaikan tugas yang diberikan. Bila tugas sekolah ini adalah bagian dari skema komponen penilaian, maka kehadiran siswa di kelas pun dapat meningkat.
Langkah 5: Bantu siswa menciptakan sebuah “hubungan” ketika mengajarkan materi pelajaran baru. Bila siswa dapat “menghubungkan” materi baru tersebut kepada sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya, maka akan semakin besar kemungkinan mereka cepat mempelajarinya. Contoh “hubungan” yang mungkin diciptakan adalah: materi pelajaran yang telah dipelajari sebelumnya di pelajaran yang sama (mis., konsep penting yang dijelaskan dalam Langkah 1), materi-materi yang telah dipelajari di kelas-kelas sebelumnya dan pengalaman-pengalaman nyata yang dialami siswa di luar kelas.

Langkah 6: Kenali betapa pentingnya perbendaharaan kata dalam suatu mata pelajaran. Para siswa mungkin memiliki kesulitan mempelajari kata-kata baru dalam banyak pelajaran, terutama pelajaran yang bersifat pengenalan. Untuk dapat berhasil dalam pelajaran seperti ini, siswa harus merasa nyaman dengan terminologi baru. Selagi mengajarkan subjek yang baru, kata-kata baru dan/atau sulit sebaiknya diperkenalkan dan dibahas dengan para siswa. Sajikan dengan menggunakan pengertian yang nyata dan terminologi alternatifnya, selain daripada pengertian yang ada di buku pelajaran mereka. Salah satu cara membentu mereka adalah dengan memahami kata-kata dalam pelajaran adalah dengan menciptakan kamus “hidup” dalam situs guru dimana selama tahun pelajaran tersebut segala perbendaharaan kata ditambahkan, dijelaskan dan diberikan contoh-contohnya.

Langkah 7: Perlakukan siswa dengan hormat. Perilaku yang menggurui dapat ditemukan pada guru-guru sekolah dasar, dan strategi “laksanakan, sersan” bisa jadi efektif dilakukan terhadap siswa sekolah militer. Namun, kebanyakan murid sekolah/kuliah tidak akan merespon terhadap teknik-teknik pengajaran semacam ini. Berikan mereka harga diri dan mereka pun akan memberikan anda usaha terbaiknya.


Langkah 8: Hargai mereka dengan melihat bahwa mereka telah berada dalam standar yang tinggi. Bila para siswa tidak diharapkan untuk dapat mempertahankan tingkatan tertentu dalam hal nilai dan performa mereka, maka hanya siswa yang bermotivasi tinggilah yang akan memberikan waktu dan segala usahanya untuk belajar. Sebaliknya, membuat suatu standar tertentu yang cenderung tinggi tidak hanya dapat memotivasi siswa untuk belajar, namun dapat pula menjadi sumber timbulnya rasa pencapaian bagi mereka ketika mereka bisa melakukannya.

Setiap langkah diatas dapat memotivasi para siswa bahkan bagi mereka yang paling malas sekalipun, tetapi Langkah 7 dan 9 adalah yang terpenting disini. Bila siswa tidak diperlakukan dengan hormat dan dihargai dengan standar yang tinggi, bagaimanapun telatennya anda melakukan 6 langkah yang lainnya tidak akan membawa perubahan yang berarti dan bahkan mungkin usaha anda akan sia-sia.

Tidak ada komentar: