Rabu, 29 September 2010

ORGANISASI ISLAM DAN PERANANYA DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN ISLAN

Sejarah jami,at khair
Politik hindia belanda pada awal abad ke-20 sangat diskrimantif terhadap kaum muslim. Sejak tahun 1901 M belanda menerapkan politik etis di Indonesia. Kesempatan belajar di sekolah-sekolah belanda saat itu hanya diberikan kepada putra golongan ningrat yang tipis keyakinan islamnya. Kegiatan pendidikan islam di Indonesia yang lahir dan tumbuh serta berkembang bersamaan dengan masuk dan berkembangnya islam di Indonesia.


Pemerintah hindia belanda mengangap bahwa islam yang diidentifikasikan dengan arab merupakan ancaman bagi kolonialisme di Indonesia di Indonesia. Sehingga orang keturunan arab di Indonesia mendapat perlakuan yang sangat diskriminatif dari pemerintah hindia belanda,termasuk dalam bidang pendidikan. Sebagai respon dari keadaan tersebut masyarakat keturunan arab sadar bahwa pembaharuan pendidikan diperlukan untuk memperbaiki keadaan. Maka dengan situasi dan kondisi seperti itu lahirlah beberapa organisasi pergerakan di Indonesia,yang bergerak dalam bidang social,politik,pendidikan serta keagamaan.

Salah satu organisasi yang telah berdiri pada waktu itu adalah al-jam’iyah al-khairiyah yang didirikan oleh Al-Aydrus bin Ahmad bin Shihab yang para pemimpinya berasal dari keturunan arab kaya dan termasuk golongan sayyid. Mayoritas anggota Jam’iat Khair adalah keturunan arab. Dalam upaya memperoleh pendidik yang mumpuni Jam’iat Khair mendatangkan syaikh Ahmad Surkati dari Sudan.

Karena mempunyai perbedaan prinsip dengan Jam’iat Khair, Syaikh Ahmad Surkati bersama Syeikh Umar Mangqush(pemimpin masyarakat arab di Jakarta), Sa’id bin Salim Mas’habi dan Saleh Ubayd Andat (tokoh terkemuka non sayyid dan seorang pedagang kaya) dan juga Syaikh Salim bin Awad Balwa’i mendirikan organisasi baru yang bernama Jam’iyah Al-Islah wa Al-Irsyad Al-Arobiyah (Asosiasi arab untuk perbaikan dan pembimbingan) dan lebih dikenal dengan Al-Irsyad saja. Organisasi ini cepat berkembang dan mendapat pengakuan dari pemerintah belanda pada 6 september 1914.

Al-Irsyad adalah suatu perhimpunan yang mempunyai sifat khusus, yakni perhimpunan yang beraqidah islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat di bidang pendidikan, pengajaran serta social dan dakwah yang bertingkat nasional. Disebutkan pula dalam buku pedoman al irsyad bahwa:

“Al-Irsyad adalah perhimpunan islam yang bertujuan memurnikan tauhid, ibadah dan amaliyah islam, yang bergerak dalam bidang pendidikan, pengajaran, kebudayaan dan dakwah islammiyah serta kemasyarakatan yang berdasarkan al-qur’an dan ass-sunnah, guna mewujudkan pribadi muslim dan masyarakat islam menuju keridhaan allah swt”

Pada awalnya organisasi Al-Irsyad hanya memusatkan perhatian pada bidang pendidikan terutama pada masyarakat arab. Disamping itu juga memberikan perhatian pada permasalahan yang timbul di kalangan masyarakat keturunan arab. Lambat laun al-irsyad mulai bekerjasama dengan organisasi islam lainya seperti Muhammadiyah, dan persatuan islam lainya yang bertujuan untuk meluaskan pusat perhatianya kepada persoalan-persoalan yang lebih luas yang mencakup persoalan islam umumnya di Indonesia.

Pada umumnya, masyarakt Indonesia mengangap bahwa Al-Irsyad identik dengan orang-orang keturunan arab. Hal ini disebabkan karena pendirinya berasal dari keturunan arab. Sementara perkembanganya semakin banyak pula masyarakat islam Indonesia non arab yang ikut aktif dalam berbagai bidang kegiatan yang dimiliki oleh Al-Irsyad. Hal ini disebabkan karena a-irsyad bukanlah organisasi social keaagamaan ekslusif yang membatasi keaangotaannya hanya dari keturunan arab saja, tetapi juga terbuka untuk masyarakat islam secara umum dari segala latar belakang dan komunitas.

Peristiwa yang menjadi latar belakang lahirnya Al-Irsyad antara lain adalah perbedaan pandangan antara Ahmad Surkati, dengan golongan orang-orang Arab yang bergelar ‘Sayydi’ dilingkungan Jami’at khair. Ahmad Surkati adalah seorang pengajar yang didatangkan dari mekkah atas rekomendasi dari sekolah Jami’at Khair pada bulan Rabiul Awwal 1329 atau bulan maret 1911. beliau ditempatkan di sekolah jami’at khair dan sekaligus sebagai penilik untuk sekolah-sekolah jami’at khair lainya.

Jami’at khair berdiri pada tanggal 17 juni 1905 dengan para pemrakasanya adalah golongan terpelajar dari masyarakat Indonesia-Arab keluarga Shihab bin Yahya. Tujuan yang hendak dicapai adalah memberi perlindungan dan kerjasama ekonomi di bidang perusahaan dan organisasi di Indonesia yang taat kepada islam dan menyelengarakan pendidikan sekolah-sekolah Arab dan mengajarkan pengetahuan umun dan agama islam. Jami’at khair kemudian mendirikan sekolah pertama di pekojan, Jakarta. Setelah itu di buka pula sekolah-sekolah di krukut, Jakarta barat dan tanah abang,Jakarta pusat dan juga bogor. Organisasi jamiat khair terbuka untuk setiap muslim tanpa perbedaan asal-usul, tetapi mayoritasnya adalah orang-orang Arab. Organisasi ini bergerak dalam bidang keagamaan, social dan pendidikan.

Menurut statistic tahun 1858 tercatat jumlah penduduk keturunan arab yang menetap di Indonesia sebanyak 1.662 atau sekitar 30% dari jumlah masyarakat Arab yang merantau pada massa itu. Para perantau arab sudah bermukim di kota-kota besar Indonesia sejak tahun-tahun permulaan abad 19. pada umumnya mereka adalah pedagang yang sebagaian besar berasal dari Hadramaut.

Hadramaut sendiri kondisi alamnya ganas,rawan pertikaian antar dinasti,qabilah dan suku. Masyarakat hadramaut stratifiksi sosialnya sangat rumit dan timpang karena bersumber dari tatanan masyarakat yang heterogen dan fanatisme golongan. Mereka merantau ke Indonesia di dorong oleh keinginan mereka memperbaiki taraf kehidupan mereka. Di jawa, pada awalnya mereka menempati pemukiman yang ditentukan oleh Wijken stelsel (“kebijaksanaan pemukiman”) pemerintah Kolonial Belanda.

Mengenai organisasi jami’at khair, dalam buku yang berjudul Al-Irsyad mengisi sejarah dan bangsa tercatat bahwa pengurus pertama dari jami’at khair ini terdiri dari said bin ahmad basandid sebagai ketua; Muhammad bin Abdullah bin shihab sebagai wakil ketua; Muhammad Al-Fakhir bin Abdurrahman al-mansyur sebagai sekretaris; dan Idrus bin ahmad bin shihab sebagai bendahara. Setahun kemudian penggurus jami’at khair dirubah susunanya menjadi: Idrus bin Abdullah al-mansyur sebagai ketua, salim bin awad Balweel sebagai wakil ketua, Muhammad alfakhir bin abdurahman al-mansyur sebagai sekretaris, dan Idrus bin Ahmad bin shihab sebagai Bendahara.

Syaikh Ahmad assorkaty al-Anshory yang bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad assorkaty Al-Khazrajiy Al-Anshary atau yang lebih dikenal dengan nama Ahmad Surkati lahir di pulau Arqu daerah Dunggula,Sudan. Pada tahun 1292 H/1874 M. ayahnya Muhammad adalah seorang Ulama besar yang amat terkenal,keturunan khazraj dari kabilah al-jawaabirah, yang berasal dari Jabir bin Abdullah al-ansary, salah satu dari sahabat nabi Muhammad SAW di madinah dari golongan anshar.surkaty pernah menjadi guru di Al-Haram Asy Syarif dan diangkat menjadi Mufti mekkah. Syaikh Ahmad Surkati Al-ansary wafat dan dikediamanya di jalan KH>Hasyim Asy’ari No.25 Jakarta sekarang ini, yang pernah dipergunakan sebagai Kantor Al-Irsyad Tingkat Nasional, pada hari kamis tanggal 16 september 1942 pukul 09.00 WIB.

Jami’at khair memang tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas modern pada waktu itu (karena memiliki anggaran dasar, anggaran rumah tangga, buku anggota, Notulen Rapat, Iuran Anggota dan lembaga Kontrol anggota seperti Rapat Tahunan dan sebagainya), namun pandangan keagamaan khususnya yang menyangkut persamaan derajat yang merupakan bagian penting ajaran islam belum terserap dan terlaksanakan dengan baik, apalagi bagi kelompok-kelompok lainya yang konservatif. Ini terbukti dengan kerasnya pemuka-pemuka jami’at khair dalam menentang surkaty yang memfatwakan persamaan derajat, yang kemudian terkenal dengan “masalah Kafa’ah”.

Masalamasalah ini timbul ketika di solo terjadi permasalahan tentang bolehnya tidaknya seorang “syarifah” (sebutan bagi habaib laki-laki adalah sayyid dan bagi wanita adalah syarifah) menikah dengan seorang “non sayyid”,karena ada hokum islam yang mengatakan haram karena tidak memenuhi syarat kafa’ah(kesepadanan). Maka surkati lalu mengeluarkan fatwa tentang jaiz atau sahnya pernikahan yang demikian itu. Karena menurut islam mengangap bahwa sesame muslim bersaudara, tidak mengenal adanya kedudukan mulia pada kelompok tertentu karena kelahiran, kekayaan atau pangkat kecuali atas dasar taqwa.

Kriterian kaffah menurut orang-orang baalwi/habaib(sayyid) yang mengharamkan pernikahan yang tidak kufu atau tidak sederajat adalah:

1. perempuan Arab tidak sederajat dengan pria non-Arab.
2. perempuan Quraisy tidak sederajat dengan pria non-arab.
3. perempuan bani hasyim tidak sederajat dengan pria non-bani Hasyim
4. Syarifah tidak sederajat dengan pria non-sayyid.

Mengenai golongan sayyid dan non-sayyid, bahwa golongan sayyid mengklaim dirinya adalah keturunan nabi Muhammad SAW dari fatimah lewat husein bin abithalib, sedangkan dari garis Hasan bin Ali bin Abi Thalib di beri pangkat secara turun temurun yaitu “syarif”. Sedangkan golongan non-sayyid bukan dari keduanya. Silsislah itu sendiri sebenarnya masih ditentang beberapa ulama, sehingga klaim mereka itu tertolak.

Perbedaan status hokum keturunan arab di Indonesia dengan status mereka di Negara muslim lainya adalah akibat dari kebijakan politik hindia belanda untuk menentang islam yang oleh hindia belanda menempatkan keturunan arab sebagai salah satu eksponen yang diangap penting oleh mereka.

Sebenarnya, pendapat ahmad surkati tentang musawa tersebut bukan disebabkan oleh kebencian atau ketidaksenangan terhadap golongan sayyid. Perbedaan pendapat antara Ahmad surkati dengan orang-orang yang menentang pendapatnya, sesungguhnya disebabkan oleh adanya perbedaan faham keagamaan. Menurutnya, apabila ada pertentangan pendapat perihal ajaran agama, hal itu harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan sunnah rasu. Dalam menyampaikan pandangan-pandaganya selain mengunakan bukti sumber agama yang utama, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, juga dikuatkan dengan alasan-alasan yang rasional.

Perbedaan pandangan yang terjadi antara dirinya dengan Jami’at khair tidak menemui titik temu malah akhirnya kehadiran Ahmad Surkati di Jami’at khair tidak disukai oleh kalangan oleh kalangan sayyid. Akhirnya Ahmad Surkati di Jami’at disukai oleh sayyid. Akhirnya Ahmad Surkati menyatakan keluar (mengeluarkan Diri) dari jami’at khair yaitu pada awal tahun 1914.

Setelah keluar dari jami’at khair, ahmad surkati berencana untuk meninggalkan Indonesia, akan tetapi orang-orang arab yang bersimpati kepadanya membuat pertemuan dan bermusyawarah mengenai ahmad surkati yang dipelopori Umar Manqus, seorang pemuka Arab, serta hadir pula Saleh bin Ubaid Abdatu dan said Masy’abi.

Ijin untuk membuka dan mengelola madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah itu berada di tangan dan atas nama Surkati, berdasarkan Ordonansi Guru 1905 (Staadsbland 550/1905) yang mengatur kegiatan pendidikan islam. Madrasah Al-Irsyad didirikan pada tanggal 15 syawal 1332/6 september 1914 di jati petamburan Jakarta. Tanggal itulah sekarang dikukuhkan dalam AD/ART sebagai tanggal resmi berdirinya perhimpunan Al-Irsyad meskipun pengakuan hukumnya diterbitkan bebrapa tahun kemudian. Untuk menaungi madrasah tersebut didirikanlah organisasi yang mempunyai badan hokum dengan nama jam’iyyah Al-Islah wal Irsyad Al-Arabiyyah yang memperoleh pengakuan hokum dari Gubernur jendral pada tanggal 11 Agustus 1915, keputusan Nomor 47 yang disiarkan dalam Javasche Courant, Nomor 67 tahun 1915.

Jam’iyyah Al-Islah wal Irsyad Al-Arabiyyah yang lebih dikenal dengan Al-Irsyad Al-Islamiyyah adalah organisasi Islam yang ingin hadir dan berperan dalam upaya memurnikan tauhid dan bergerak dalam berbagai bidang kehidupan guna mewujudkan pribadi muslim dan masyarakat Islam yang diridhai oleh Allah SWT.

Perhimpunan Al-Irsyad sebagai suatu organisasi pada saat mulai berdirinya dipimpin oleh: Salim bin Awad Balweel,sebagai ketuanya, Muhammad Ubaid Abud sebagai Sekretaris, Said bin Salim Masy’abi sebagai bendahara, dan Saleh bin Obeid bin abdat sebagai penasehat. Setelah keluarnya beslit dari gubernur jendral, maka pada hari selasa, 19 syawal 1222/31 Agustus 1915 diadakan rapat umum Anggota. Dalam rapat itu telah diputuskan susunan pengurus untuk kepentingan intern. Adapun susunan pengurunya adalah : Salim bin Awad Balweell sebagai ketua, Saleh bin Obeid bin abdat sebagai wakilnya, Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris, dan saleh bin Obeid sebagai bendahra.

Dalam rapat umum (RUA) dipustuskan bahwa para donator sekolah Al-Irsyad secara langsung dicatat sebagai anggota perhimpunan.Sementara itu diputuskan pula tentang status Haiah Madaaris Jum’iyyah Al-Irsyad, yaitu sebagai Majelis berada di bawah perhimpunan selaku penilik sekolah, yang mengurusi segala hal yang menyangkut pendidikan.

Al-Irsyad sebagaimana halnya semua perhimpunan yang lahir dan hidup pada masa itu, tentunya amat terikat oleh berbagai ordonansi pemerintah colonial Belanda. Karena itu Al-Irsyad dan semua perhimpunan pada massa itu seperti Jami’at Khair, Budi Utomo. Sebenarnya memiliki wawasan yang lebih luas ketimbang apa yang tertulis dalam kontitusi masing-masing perhimpunan. Disampingh itu organisasi-organisasi ini juga berusaha membendung westernisasi yang pada saar itu sedang gencar-gencarnya dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda.

Program Al-Irsyad secara keseluruhan baik ditingkat pusat, wilayah maupun cabang , mengarah kepada dua hal yang penting yaitu mendirikan cabang-cabang sekolah Al-Irsyad serta menyebarkan ide pembaharuan kepada kaum muslimin Indonesia. Pembaharuan islam disajikan melalui dakwah islamiyyah oleh Al-Irsyad dapat menyentuh semua lapisan masyarakat, bukan hanya pada masyarakat komunitas arab saja, tetapi pada lapisan masyarakat pribumi. Dakwah yang dilancarkan oleh Al-Irsyad adalah sebagai bentuk respons atas persoalan-persoalan yang sedang berkembang pada saat itu, misalkanpersoalan keagamaan yang orientasinya adalah perilaku orang-orang yang menyimpang dari ajaran syaria’at islam seperti unsure khurafat, syirik dan taqlid. Dalam hal ini surkati memberikan penjelasan tentang ijtihad dari taqlid (Al-Ijtihad wa Al-Taqlid), sunnah dan Bid’ah (AL-Sunnah wa Al-Bid’ah) , dan ziarah kubur serta tasawuf (Ziarah Al_Qubur wa Al-Tawassul).

Surkati merinci pentingnya berijtihad dengan menyatakan: pertama, orang mempelajari dan merujuk kepada al-qur’an dan hadist sebenarnya jangan puas dengan acuan kyai dan ulama saja. Jika ada perbedaan pendapat maka orang-orang tersebut harusnya mengikuti shalaf (sesepuh/pendahulu/thabiin). Nilai-nilai islam yang murni dari sesepuh inilah yang harus dicontoh selain nabi Muhammad S.A.W .

Mengenai sunnah dan Bid’ah , ahmad surkaty menegaskan kembali bahwa islam diajarkan nabi Muhammad dalam bentuk sempurna, tidak perlu ditambahkan dan karenanya bid’ah adalah penyimpangan yang menyesatkan. Islam adalah segala sesuatu yang datangnya dari allah dan dibawa oleh rasulallah. Jadi bukan yang diada-adakan oleh sesesorang dari beraneka ragam peribadatan “pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah kucukupkan kepadamuni’matku dan telah kuridhai islam itu menjadi agama bagimu. Jika seseorang melakukan peribadatan tetapi ibadah tersebut tidak ada perintah dan aturan yang mengaturnya maka orang tersebut dapat dikatakan melakukan bid’ah. Imam Syafi’I berkata : “barangsiapa mengangap sesuatu hal itu baik dan menjadikanya sebagai agama kepercayaan nya , ia berarti telah membuat syari’at dan barangsiapa yang telah membuat syari’at berarti ia telah kafir”. Surkati mengatakan bahwa tidak ada bid’ah hasanah( yang baik) atau mahmudah dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama, namun dalam hal duniawi pembaharuan sangat dianjurkan.

Adapun mengenai ziarah kubur dan tawassul, ahmad surkati menyimpulkan bahwa pemujaan makam, tawasul dan pemujaan wali yang dilakukan kaum muslimin yang sulit membedakan syirik akan ditolak oleh allah dan akan memusnahkan semua perbuatan amal baik mereka. Ia juga mengangap bahwa istishfa ( berhubungan dengan orang-orang yang meninggal) atau tawassul (perantara adalah perbuatan mukarat karena tidak terjadi pada zaman nabi Muhammad saw.

Sejak tahun berdirinya sampai tahun 10 juni 1941, perhimpunan Al-Irsyad telah meluas menjadi 31 cabang dengan 37 madrasah di jawa, madura, Sumatra dan sumbawa. Selama masa pendudukan jepang Al-Irsyad praktis menghentikan seluruh kegiatanya. Meskipun pada tahun 1943 pernah diupayakan pembukaan kembali sebagian madrasahnya. Kecamuk politik sepeninggalan surkati lebih mengekspresikan kegelisahan bangsa yang ingin kemerdekaan daripada ketenangan beraktivitas dalam bidang pendidikan dan dakwah. Akibatnya madrasah-madrasah Al-Irsyad yang belum pulih karena pendudukan jepang, kembali porak-poranda akibat perang kemerdekaan.

Pada tanggal 10 oktober 1948, Al-Irsyad melakukan ‘rehabilitasi’ organisasi dengan mengangkat sayyid Ali Hubeis sebagai ketua umum. Pada tanggal 29 juli 1949 telah diresmikan dibuka balai pertemuan Al-Irsyad bertempat di kalan kemakmuran 27,Jakarta dan sejak itu pula perhhimpunan Al-Irsyad mengintenfiskan upaya-upaya pengembangan keorganisasiannya. Sampai sekarang organisasi ormas islam ini telah melakukan 38 kali muktamar, yaitu sejak rapat yang pertama setelah keluarnya beslit dari Gubenur Jendral, tepatnya pada hari selasa 31 Agustus 1915. Al-Irsyad memiliki 49 cabang di 20 provinsi,yaitu sejak dibukanya cabang yang pertama di Tegal sekitar tahun 1917. pendidikan merupakan amal usaha organisasi di hamper seluruh cabang.

Cabang-cabang Al-Irsyad yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia antara lain: pada tanggal 29 agustus 1917 Al-Irsyad membuka cabangnya yang pertama di tegal,cabang ini untuk pertama kalinyadi ketuai oleh Ahmad Ali Baisa. Tanggal 20 November di sahkan keputusan pembukaan cabang Al-Irsyad yang kedua di pekalongan, yang secara yuridis-administratifnya di atur lewat Notaris Hendrik Carpontier alting di Batavia, dengan nama ketua pertamanya Sa’ad bin Salmin sahaq. Tanggal 14 Oktober 1918 di buka pula cabang Al-Irsyad yang ketiga yaitu di Bumiayu. Ketua pertamanya yaitu Husein bin Muhammad Alyazidi. Tanggal 31 Oktober 1918 Al-Irsyad membuka cabang yang keempat di Cirebon yang di ketuai Ali Awad Baharmuz. Tanggal 21 januari 1919 di buka secara resmi Al-Irsyad cabang Surabaya sebagai Cabang kelima dan diketuai oleh Muhammad Rayis bin Thalib. Pada tahun 1926 didirikan cabang Al-Irsyad Banyuwangi, Cabang ini pertama kali diketuai oelh sayyid Awad bin Sholah Lahmadi. Pada awal Juli 1927 sebuah cabang Al-Irsyad dibuka di Ranau,Muara Dua,Palembang. Pada tahun 1928 di buka cabang Al-Irsyad di bogor, di ketuai oleh sayyid Amir Muhammad Tebe. Masih dalam tahun 1928 dibuka cabang di Bondowoso dengan pengurus pertamanya.terdiri dari sayyid Ahmad bin Abdurrahman maziun,sayyid Muhammad Obeid Thalib dan Sayyid Hasan Maziun. Di antara tahun 1927 sampai tahun 1931 sudah tercatat berdirinya cabang-cabang Al-Irsyad di Lhoksumawe (Aceh), Manggala (Lampung), sungeiliet (Bangka), labun haji dan Telewang (Nusa Tenggara Barat), tepatnya pada tanggal 29 maret 1939 di sumbawa, di ketuai oleh Ahmad salim Bawazier kemudian cabang Al-Irsyad di panekasan , probolinggo, krian, Jombang, semarang, comal, pemalang, purwokerto, Indramayu, tepatnya pada tanggal 12 mei 1938 yang pertama kali di ketuai oleh Hasan bin Salim Badjerei. Selanjutnya kembali di buka cabang Al-Irsyad di cibadak, jawa Barat dan Solo,Jawa Tenggah. Tahun1940-1941 terbentuk pula cabang balapulang di Tegal,Jawa tengah pada tanggal 26 April 1941 dan cilacap, jawa tengah pada tanggal 10 juni 1941. kemudian ada madrasah Al-Irsyad yang didirikan di Hadramaut atas biaya Shaikh Abdullah bin Husein Al-Amudi. Madrasah Al-Irsyad di Hadramaut dipimpin oleh Muhammad Obeid Abud.
PERHIMPUNAN AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH
Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Jam'iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah) berdiri pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Tanggal itu mengacu pada pendirian Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang pertama, di Jakarta. Pengakuan hukumnya sendiri baru dikeluarkan pemerintah Kolonial Belanda pada 11 Agustus 1915.

Tokoh sentral pendirian Al-Irsyad adalah Al-'Alamah Syeikh Ahmad Surkati Al-Anshori, seorang ulama besar Mekkah yang berasal dari Sudan. Pada mulanya Syekh Surkati datang ke Indonesia atas permintaan perkumpulan Jami'at Khair -yang mayoritas anggota pengurusnya terdiri dari orang-orang Indonesia keturunan Arab golongan sayyid, dan berdiri pada 1905. Nama lengkapnya adalah SYEIKH AHMAD BIN MUHAMMAD ASSOORKATY AL-ANSHARY.

Al-Irsyad adalah organisasi Islam nasional. Syarat keanggotaannya, seperti tercantum dalam Anggaran Dasar Al-Irsyad adalah: "Warga negara Republik Indonesia yang beragama Islam yang sudah dewasa." Jadi tidak benar anggapan bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi warga keturunan Arab.

Perhimpunan Al-Irsyad mempunyai sifat khusus, yaitu Perhimpunan yang berakidah Islamiyyah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, di bidang pendidikan, pengajaran, serta social dan dakwah bertingkat nasional. (AD, ps. 1 ayat 2).

Perhimpunan ini adalah perhimpunan mandiri yang sama sekali tidak mempunyai kaitan dengan organisasi politik apapun juga, serta tidak mengurusi masalah-masalah politik praktis (AD, ps. 1 ayat 3).

Syekh Ahmad Surkati tiba di Indonesia bersama dua kawannya: Syeikh Muhammad Tayyib al-Maghribi dan Syeikh Muhammad bin Abdulhamid al-Sudani. Di negeri barunya ini, Syeikh Ahmad menyebarkan ide-ide baru dalam lingkungan masyarakat Islam Indonesia. Syeikh Ahmad Surkati diangkat sebagai Penilik sekolah-sekolah yang dibuka Jami'at Khair di Jakarta dan Bogor.


Berkat kepemimpinan dan bimbingan Syekh Ahmad Surkati, dalam waktu satu tahun, sekolah-sekolah itu maju pesat. Namun Syekh Ahmad Surkati hanya bertahan tiga tahun di Jami'at Khair karena perbedaan paham yang cukup prinsipil dengan para penguasa Jami'at Khair, yang umumnya keturunan Arab sayyid (alawiyin).

Sekalipun Jami'at Khair tergolong organisasi yang memiliki cara dan fasilitas moderen, namun pandangan keagamaannya, khususnya yang menyangkut persamaan derajat, belum terserap baik. Ini nampak setelah para pemuka Jami'at Khair dengan kerasnya menentang fatwa Syekh Ahmad tentang kafaah (persamaan derajat).

Karena tak disukai lagi, Syekh Ahmad memutuskan mundur dari Jami'at Khair, pada 6 September 1914 (15 Syawwal 1332 H). Dan di hari itu juga Syekh Ahmad bersama beberapa sahabatnya mendirikan Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, serta organisasi untuk menaunginya: Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berganti nama menjadi Jam'iyat al-Islah wal-Irsyad al-Islamiyyah).

Setelah tiga tahun berdiri, Perhimpunan Al-Irsyad mulai membuka sekolah dan cabang-cabang organisasi di banyak kota di Pulau Jawa. Setiap cabang ditandai dengan berdirinya sekolah (madrasah). Cabang pertama di Tegal (Jawa Tengah) pada 1917, dimana madrasahnya dipimpin oleh murid Syekh Ahmad Surkati angkatan pertama, yaitu Abdullah bin Salim al-Attas. Kemudian diikuti dengan cabang-cabang Pekalongan, Cirebon, Bumiayu, Surabaya, dan kota-kota lainnya.

Al-Irsyad di masa-masa awal kelahirannya dikenal sebagai kelompok pembaharu Islam di Nusantara, bersama Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis). Tiga tokoh utama organisasi ini: Ahmad Surkati, Ahmad Dahlan, dan Ahmad Hassan (A. Hassan), sering disebut sebagai "Trio Pembaharu Islam Indonesia." Mereka bertiga juga berkawan akrab. Malah menurut A. Hassan, sebetulnya dirinya dan Ahmad Dahlan adalah murid Syekh Ahmad Surkati, meski tak terikat jadwal pelajaran resmi.

Namun demikian, menurut sejarawan Belanda G.F. Pijper, yang benar-benar merupakan gerakan pembaharuan dalam pemikiran dan ada persamaannya dengan gerakan reformisme di Mesir adalah Gerakan Pembaharuan Al-Irsyad. Sedang Muhammadiyah, kata Pijper, sebetulnya timbul sebagai reaksi terhadap politik pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu yang berusaha untuk menasranikan orang Indonesia.

Muhammadiyah lebih banyak peranannya pada pembangunan lembaga-lembaga pendidikan. Sedang Al-Irsyad, begitu lahir seketika terlibat dengan berbagai masalah diniyah. Ofensif Al-Irsyad kemudian telah menempatkannya sebagai pendobrak, hingga pembinaan organisasi agak tersendat. Al-Irsyad juga terlibat dalam permasalahan di kalangan keturunan Arab, hingga sampai dewasa ini ada salah paham bahwa Al-Irsyad merupakan organisasi para keturunan Arab.


Al-Irsyad juga berperan penting sebagai pemrakarsa Muktamar Islam I di Cirebon pada 1922, bersama Syarekat Islam dan Muhammadiyah. Sejak itu pula, Syekh Ahmad Surkati bersahabat dekat dengan H. Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto. Al-Irsyad juga aktif dalam pembentuan MIAI (Majlis Islam 'A'laa Indonesia) di zaman pendudukan Jepang, Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dan lain-lain, sampai juga pada Masyumi, Badan Kontak Organisasi Islam (BKOI) dan Amal Muslimin.

Di tengah-tengah suasana Muktamar Islam di Cirebon, diadakan perdebatan antara Al-Irsyad dan Syarekat Islam Merah, dengan tema: "Dengan apa Indonesia ini bisa merdeka. Dengan Islamisme kah atau Komunisme?" Al-Irsyad diwakili oleh Syekh Ahmad Surkati, Umar Sulaiman Naji dan Abdullah Badjerei, sedang SI Merah diwakili Semaun, Hasan, dan Sanusi.

Selaku penganut paham Pan Islam, tentu Syekh Ahmad Surkati bertahan dengan Islamisme. Semaun berpendirian, hanya dengan komunisme lah Indonesia bisa merdeka. Dua jam perdebatan berlangsung, tidak ditemukan titik temu. Namun Syekh Ahmad Surkati ternyata menghargai positif pendirian Semaun. "Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa hanya dengan komunisme lah tanah airnya dapat dimerdekakan!"

Peristiwa ini sekaligus membuktikan bahwa para pemimpin Al-Irsyad pada tahun 1922 sudah berbicara masalah kemerdekaan Indonesia!


Seperti yang diajarkan Muhammad Abduh di Mesir, Al-Irsyad mementingkan pelajaran Bahasa Arab sebagai alat utama untuk memahami Islam dri sumber-sumber pokoknya. Dalam sekolah-sekolah Al-Irsyad dikembangkan jalan pikiran anak-anak didik dengan menekankan pengertian dan daya kritik. Tekanan pendidikan diletakkan pada tauhid, fikih, dan sejarah.

Sejak didirikannya, Al-Irsyad Al-Islamiyyah bertujuan memurnikan tauhid, ibadah dan amaliyah Islam. Bergerak di bidang pendidikan dan dakwah. Untuk merealisir tujuan ini, Al-Irsyad sudah mendirikan ratusan sekolah formal dan lembaga pendidikan non-formal di seluruh Indonesia. Dan dalam perkembangannya kemudian, kegiatan Al-Irsyad juga merambah bidang kesehatan, dengan mendirikan beberapa rumah sakit. Yang terbesar saat ini adalah RSU Al-Irsyad di Surabaya dan RS Siti Khadijah di Pekalongan.

Tercatat banyak lulusan Al-Irsyad, baik dari kalangan keturunan Arab maupun non-Arab yang telah memainkan peran penting di berbagai bidang. Lulusan pribumi yang turut berperan penting dalam modernisme Islam di Indonesia antara lain:

Yunus Anis: Alumnus Al-Irsyad yang dikenal sebagai seorang pemimpin yang menonjol dari Gerakan Muhammadiyah. Ia mendapat kehormatan dijuluki "tulang punggung Muhammadiyah" karena pengabdiannya sebagai sekretaris jenderal di organisasi tersebut selama 25 tahun.

Prof. Dr. T.M. Hasby As-Shiddique: Putera asli Aceh, penulis terkenal dalam masalah hadist, tafsir, dan fikih Islam moderen. Guru besar di IAIN Yogyakarta ini bahkan pernah menjabat Rektor Universitas Al-Irsyad di Solo (sekarang sudah tutup)

Prof. Kahar Muzakkir: Berasal dari Yogyakarta. Lulus dari Madrasah Al-Irsyad, Kahar Muzakkir melanjutkan studinya di Dar al-Ulum di Kairo. Ia sangat aktif berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dan termasuk penandatangan Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Kemudian ia menjadi Rektor Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta.

Muhammad Rasjidi: Menteri Agama Republik Indonesia yang pertama, berasal dari Yogyakarta. Ia pernah menjadi professor di McGill University di Montreal, Kanada, dan juga mengajar di Universitas Indonesia, Jakarta. Semasa hidupnya menulis banyak buku.

Prof. Farid Ma'ruf: Asli Yogyakarta, profesor di IAIN, yang juga salah satu tokoh besar Muhammadiyah di awal-awal berdirinya. Lulusan Madrasah Al-Irsyad ini sempat menjabat Direktur Jenderal Urusan Haji di Departemen Agama.

Al-Ustadz Umar Hubeis: Jabatan pertamanya adalah sebagai Direktur Madrasah Al-Irsyad Surabaya. Di waktu yang bersamaan ia aktif di Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia). Umar Hubeis bahkan pernah menjadi anggota DPR mewakili Masyumi. Ia juga menjadi professor di Universitas Airlangga, Surabaya. Semasa ia hidupnya beliau juga menulis beberapa buku, terutama fikih. Yang terkenal adalah Kitab FATAWA.

Said bin Abdullah bin Thalib al-Hamdani: Lulusan Al-Irsyad Pekalongan ini sangat menguasai fikih dan menjadi professor di Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta. Ia juga menulis buku-buku fikih. Di kalangan cendekiawan dan intelektual Islam Indonesia, ia dijuluki Faqih Al-Irsyadiyin (cendekiawan terkemuka di bidang hokum Islam dari Al-Irsyad). Sayang kebanyakan bukunya yang umumnya ditulis dalam bahasa Arab, belum diterjemahkan.

Abdurrahman Baswedan: Pendiri Partai Arab Indonesia (PAI) dan aktifis Masyumi ini pernah menjadi Wakil Menteri Penerangan RI.


Namun perkembangan Al-Irsyad yang awalnya naik pesat, kemudian menurun drastic bersamaan dengan masuknya pasukan pendudukan Jepang ke Indonesia. Apalagi setelah Syekh Ahmad Surkati wafat pada 1943, dan revolusi fisik sejak 1945. Banyak sekolah Al-Irsyad hancur, diporak-porandakan Belanda karena menjadi markas laskar pejuang kemerdekaan. Sementara beberapa gedung milik Al-Irsyad yang dirampas Belanda, sekarang berpindah tangan, tanpa bisa diambil lagi oleh Al-Irsyad.

Sampai 1985, Al-Irsyad tinggal memiliki 14 cabang, yang seluruhnya berada di Jawa. Namun berkat kegigihan para aktifisnya yang sudah menyebar ke seluruh pelosok Nusantara, Al-Irsyad berkembang kembali, sejak 1986. Puluhan cabang baru berdiri. Dan kini tercatat sekitar 130 cabang, dari Sumatera ke Papua.

Di awal berdirinya di tahun 1914, Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah dipimpin oleh ketua umum Salim Awad Balweel.

Dalam Muktamar terakhir di Bandung (2000), yang dibuka Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara pada 3 Juli 2000, terpilih Ir. H. Hisyam Thalib sebagai ketua umum baru, menggantikan H. Geys Amar SH yang telah menjabat posisi itu selama empat periode (1982-2000).


Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki empat organ aktif yang menggarap segmen anggota masing-masing. Yaitu Wanita Al-Irsyad, Pemuda Al-Irsyad, Puteri Al-Irsyad, dan Pelajar Al-Irsyad. Peran masing-masing organisasi yang tengah menuju otonomisasi ini (sesuai amanat Muktamar 2000), cukup besar bagi bangsa. Pemuda Al-Irsyad misalnya, ikut aktif menumpas pemberontakan G-30-S PKI bersama komponen bangsa lainnya. Sedang Pelajar Al-Irsyad termasuk salah satu eksponen 1966 yang ikut aktif melahirkan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).

Di luar empat badan otonom tersebut, Al-Irsyad Al-Islamiyyah memiliki majelis-majelis, yaitu Majelis Pendidikan & Pengajaran, Majelis Dakwah, Majelis Sosial dan Ekonomi, Majelis Awqaf dan Yayasan, dan Majelis Hubungan Luar Negeri. Di luar itu ada pula Lembaga Istisyariyah, yang beranggotakan tokoh-tokoh senior Al-Irsyad dan kalangan ahli).


Sejarah Singkat Pendirian Persyarikatan Muhammadiyah

Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan .

Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
Disamping memberikan kegiatan kepada laki-laki, pengajian kepada ibu-ibu dan anak-anak, beliau juga mendirikan sekolah-sekolah. Tahun 1913 sampai tahun 1918 beliau telah mendirikan sekolah dasar sejumlah 5 buah, tahun 1919 mendirikan Hooge School Muhammadiyah ialah sekolah lanjutan. Tahun 1921 diganti namnaya menjadi Kweek School Muhammadiyah, tahun 1923, dipecah menjadi dua, laki-laki sendiri perempuan sendiri, dan akhirnya pada tahun 1930 namnaya dirubah menjadi Mu`allimin dan Mu`allimat.
Muhammadiyah mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
WHANDI.NET) Siapakah yang tidak tahu Muhammadiyah, organisasi modernis Islam tertua di Indonesia. Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini lahir sebagai perwujudan keprihatinan karena melihat kenyataan umat Islam di Indonesia dalam cara menjalankan perintah-perintah agama Islam banyak yang tidak bersumber dari ajaran Al Quran dan tuntunan Rasulullah SAW. Dalam pada itu KH Ahmad Dahlan menghendaki agar dengan Muhammadiyah, orang-orang Islam mengamalkan dan menggerakkan Islam dengan berorganisasi.
Muhammadiyah mencita-citakan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam arsip Anggaran Dasar dapat dibaca, “Menggembirakan dan memajukan pelajaran dan pengajaran Islam serta memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam”.
Prof. Dr. Hamka mencatat tiga faktor yang mendorong lahirnya Muhammadiyah. Pertama, keterbelakangan dan kebodohan umat Islam Indonesia dalam hampir semua bidang kehidupan. Kedua, kemiskinan yang parah yang diderita umat Islam dalam suatu negeri kaya seperti Indonesia. Ketiga, kondisi pendidikan Islam yang sudah sangat kuno seperti yang terlihat pada pesantren masa itu. Ucapan KH Ahmad Dahlan yang amat berkesan, “Tidak mungkin Islam lenyap dari seluruh dunia, tapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggung jawab?”

Muhammadiyah mencita-citakan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Dalam arsip Anggaran Dasar dapat dibaca, “Menggembirakan dan memajukan pelajaran dan pengajaran Islam serta memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam”. Hal itu ingin dicapai dengan kembali pada Al Quran dan Sunnah serta membersihkan Islam dari bid’ah, khurafat dan tahayul yang terdapat di kalangan umatnya.

Pada awal perkembangannya Muhammadiyah mendapat tantangan yang hebat sekali karena umat telah dibelenggu oleh taklid dan kesalah-pahaman terhadap tajdid (pembaharuan) yang merupakan soko-guru gerakan Muhammadiyah. Tajdid dalam perspektif Muhammadiyah mempunyai makna kembali pada ajaran pokok yang asli dan esensialitas Islam. Muhammadiyah tidak bersikap anti secara mutlak terhadap budaya dan tradisi, tetapi tidak dapat menerima budaya dan tradisi yang merusak kejernihan agama terutama menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan.

Perkembangan dan gerak Muhammadiyah bermula dari Kauman, dekat Kraton Yogyakarta, tempat tinggal KH Ahmad Dahlan.yang terkenal sebagai pemikiman santri. Perjuangan dan jihad KH Ahmad Dahlan membangun Muhammadiyah ditopang sepenuhnya oleh Nyai Ahmad Dahlan yang turut memberikan andil dengan terbentuknya sayap organisasi Muhammadiyah untuk kaum perempuan yaitu Aisyiyah.

Perkembangan Muhammadiyah paling pesat di luar Yogyakarta yang pertama ialah di Minangkabau (Sumatera Barat) sehingga di kota Padang Panjang juga ada kampung Kauman, tempat berdirinya sekolah Muhammadiyah yang pertama di Sumatera. Buya A.R. Sutan Mansur yang pernah menjabat Ketua Umum Muhammadiyah (1953-1959) adalah ideolog Muhammadiyah yang memiliki peranan dan jasa yang besar dalam membesarkan dan menyebarkan Muhammadiyah di luar Jawa. Pada 1930 kota Bukittinggi menjadi tempat berlangsungnya Kongres Muhammadiyah ke-19 atau kongres pertama yang dilaksanakan di luar Jawa.

Metode Dakwah KH Ahmad Dahlan
James L Peacock, antropolog Amerika dari Harvard University yang menulis mengenai pembaharu dan pembaharuan agama, mencatat peran Muhammadiyah sebagai organisasi kesejahteraan dan pendidikan swasta dan non-Kristen yang paling menonjol di Indonesia.
Metode dakwah KH Ahmad Dahlan sangat sederhana, tetapi mengena. Ia memberi pengajian Subuh di masjid berulang-ulang mengupas surat Al Ma’un saja. Dimintanya perhatian hadirin bagaimana melaksanakan ayat-ayat itu. Meski semua telah hafal, namun belum tentu mengamalkannya. Lalu ia menjelaskan maksud mendirikan Muhammadiyah yaitu hendak menyusun tenaga kaum muslimin untuk melaksanakan perintah agama.

Dalam rangka mengamalkan surat Al-Ma’un, KH Ahmad Dahlan mengajak untuk mencari orang miskin di sekitar tempat tinggal masing-masing. Jika menemukan orang miskin dan anak yatim agar dibawa pulang ke rumah masing-masing, dimandikan dengan sabun dan diberi sikat gigi yang baik, diberi pakaian seperti yang biasa mereka pakai, diberi makan dan minum serta tempat tidur yang layak. Dari situlah embrio pengelolaan zakat mal dan zakat fitrah untuk dibagikan kepada fakir miskin. Lalu atas prakarsa KH Ahmad Dahlan didirikan penampungan fakir miskin, panti asuhan yatim piatu, dan Rumah Sakit PKU Muhammadiyah di Yogyakarta. Langkah Muhammadiyah mendirikan Rumah Sakit Islam dan membangun panti asuhan anak yatim piatu merupakan terobosan luar biasa dan yang pertama dilakukan oleh pergerakan Islam di Indonesia.

KH Ahmad Dahlan wafat tahun 1923 dan dianugerahi penghargaan Pahlawan Nasional. Ia tidak segan-segan mengeluarkan sebagian besar hartanya untuk mencukupi keperluan dana bagi gerakan Muhammadiyah. Ia berpesan kepada warga Muhammadiyah, “Janganlah mencari penghidupan dalam persyarikatan Muhammadiyah, tetapi hidup-hidupkanlah Muhammadiyah.”

Tidak Bermazhab

Menurut Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, aktivitas Muhammadiyah meliputi empat hal. Pertama,Kedua, reformulasi doktrin-doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern. Ketiga, reformasi ajaran dan pendidikan Islam. Keempat, mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan dari luar. membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan bukan Islam.

Watak puritan Muhammadiyah, menurut Prof. Dr. Faisal Ismail tercermin dalam sikap Muhammadiyah yang tidak mengapresiasi praktik-praktik semacam tarekat, tahlil, danMuhammadiyah tidak terikat dengan satu mazhab tertentu dalam pengambilan hukum agama, makanya sering disebut Muhammadiyah tidak bermazhab. Muhammadiyah tidak mentolerir taklid yang menjadi pangkal kebekuan umat dalam menjalankan agama, tapi justru menganjurkan ittiba’ dan ijtihad sebagai tulang punggung gerakan dakwahnya. tawasul.

Dalam kaitan ini menarik disimak penuturan Dr. H. Anwar Harjono yang pernah menanya pandangan pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) KHA Wahid Hasjim mengenai perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah? Menurut Wahid Hasjim, “Tidak ada. Kalau pun ada perbedaan, itu hanya terbatas pada soal metode pengambilan kesimpulan hukum. Kalau Muhammadiyah melihat masalah dari atas ke bawah; Quran, Sunnah, baru pendapat ulama. NU melihat masalah dari bawah ke atas; pendapat ulama, Sunnah, baru Quran.”

Sedikit Bicara, Banyak Bekerja

James L Peacock, antropolog Amerika dari Harvard University yang menulis mengenai pembaharu dan pembaharuan agama, mencatat peran Muhammadiyah sebagai organisasi kesejahteraan dan pendidikan swasta dan non-Kristen yang paling menonjol di Indonesia.

Penilaian tersebut didukung oleh fakta bahwa selama ini Muhammadiyah bukan saja gerakan dakwah dan tajdid (pembaharuan), tetapi juga sebagai gerakan sosial, pendidikan, ekonomi, serta juga gerakan kebangsaan. Para pemimpin Muhammadiyah dari dulu memiliki motto “sedikit bicara banyak bekerja”. Tapi andaikata ketika berdirinya menyatakan diri sebagai gerakan politik atau partai politik, mungkin Muhammadiyah tidak akan berusia panjang.

Dalam setting sejarah Indonesia modern, Muhammadiyah adalah pelopor penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sebelum Sumpah Pemuda (1928), Muhammadiyah telah lebih dahulu menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi dalam organisasi. Muhammadiyah merupakan organisasi pertama di tanah air yang menggunakan bahasa Indonesia dalam kongresnya tahun 1923.

Sejak bangsa Indonesia dalam belenggu penjajahan, Muhammadiyah telah menanamkan rasa kebangsaan dan rasa bertanah air, di samping mempertebal rasa keislaman. Pada 1918 Muhammadiyah mendirikan gerakan kepanduan Hizbul Wathan yang artinya Pembela Tanah Air. Salah satu alumni Hizbul Wathan yaitu Bapak TNI, Panglima Besar Sudirman. Dalam milstone sejarah NKRI, pemimpin Muhammadiyah yaitu Abdul Kahar Muzakkir dan Ki Bagus Hadikusumo mempunyai peranan yang besar pada waktu merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 dan menerima dasar negara Pancasila.

Sebagaimana diketahui amal usaha Muhammadiyah mencakup bidang agama dalam arti yang luas. Karena itu pengembangan ekonomi, kewanitaan dan kepemudaan juga mendapat tempat yang penting dalam lingkungan Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah sekarang ini memiliki ribuan sekolah dan ratusan Perguruan Tinggi, seperti Akademi dan Universitas, di seluruh Indonesia, dan beberapa di antaranya masuk dalam peringkat perguruan tinggi swasta terkemuka di Indonesia. Sekolah-sekolah Muhammadiyah pertama kali didirikan oleh KH Ahmad Dahlan. Di samping itu ia juga berupaya memasukkan pelajaran agama di sekolah umum yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Muhammadiyah dewasa ini diakui sebagai gerakan Islam yang kokoh, dengan cabang dan ranting organisasi yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, bahkan di luar negari.

Menjelang satu abad Muhammadiyah, dirasakan berkurangnya ulama di kalangan organisasi besar ini. Untuk itu kaderisasi ulama perlu digarap secara serius oleh Muhammadiyah, di samping upaya lain seperti memperbanyak dan mempertinggi mutu amal, mempertinggi mutu anggota, membentuk kader serta mempererat ukhuwah antara sesama organisasi Islam. Tantangan dakwah saat ini menunjukkan masih banyak orang Islam yang belum paham Islam secara baik sehingga mudah terperosok ke dalam sikap beragama yang salah. Liberalisme pemikiran Islam dan gerakan feminisne sekuler adalah juga tantangan aktual yang perlu disikapi serius oleh organisasi-organisasi Islam termasuk Muhammadiyah.

Untuk itu diperlukan ulama-ulama yang tangguh serta pejuang-pejuang dakwah dan sosial yang istiqamah, yang sanggup mewujudkan masyarakat yang diinginkan yaitu masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Itulah cita-cita Muhammadiyah dari awal
a. Sejarah NU
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bidah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik
b.Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab:Syafi'i Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usaha Organisasi
1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
3. Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu masyarakat.
5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyrakat.

Tidak ada komentar: