Taqlid dan Itba’ terhadap Madhab Fiqh
Sebagian pemuka dakwah melarang umat bertaqlid pada empat madzhab fiqih dengan alasan bahwa wajib pengambilan hukumnya hanya berdasarkan pada al-quran dan hadits saja, di sisi lain, imam-imam madzhab sebenarnya tidak mau dijadikan sandaran taqlid. Lalu, apakah esensi taqlid ? apakah boleh mencela taqlid ? dan secara peraktek apakah pendapat mereka berbeda dengan Al qur’an dan Sunnah?.
Taqlid secara etimologi diambil dari kata “ al-qiladah” yang mempunyai arti sesuatu yang ditaruh atau dikalungkan di leher, baik untuk manusia, keledai, atau unta yang dijadikan korban pada saat pelaksanaan haji. Mengalungkan qiladah pada leher hewan qurban di tanah haram bertujuan untuk memberi tanda bahwa hewan itu adalah hewan qurban. Oleh sebab itu manusia tidak boleh mengenakannya untuk menghormati baitullah dan hewan qurban itu.
Secara terminology, taqlid mengandung dua makana :
1. Mengerjakan sesuatu berdasarkan pendapat orang lain tanpa dikuatkan dengan hujjah syar’iyyah, atau tanpa dalil yang menguatkan hokum dan ke-hujjahannya.
2. Mengerjakan sesuatu berdasarkan pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui dalilnya secara proporsional .
Taqlid yang pertama menurut kesepakatan para ulama tidak diperbolehkan, dan yang kedua diperbolehkan bahkan dawajibkan bagi orang yang berilmu.
Yang dimaksud “ tanpa mengetahui dalilnya “ adalah mengetahui dalil secara sempurna, yaitu mengetahui cara penggalian hokum dan pengoperasiannya dengan memenuhi sayarat ijtihad. Seperti diterangkan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Maka, yang yang termasuk dalam kategori taqlid adalah adalah mengikuti pendapat mujtahid tanpa mengetahui dalilnya sama sekali atau mengetahuidalilnya tetapi tidak proporsional. Misalnya , dia mengetahui bentuk dilalahnya tetapi tidak mengetahui hokum apa yang ditimbulkan dilalah tersebut. Baik sang mujtahid menyebutkan sanad hokum dalam pendapaynya atau tidak menyebutkan, baik mengambil pendapat itu secara langsung atau tidakyaitu dengan bantuan seorang alim yangmeriwayatkan pendapat dari mujtahid atau merujukpada kitab-kitabnya.
Mukallaf dipandang dari sisi kemampuannya memahami hokum syari’at terbagi 2 :
1. Mujtahid. Yaitu orang yang mampu menggali hokum dari dalil dengan berijtihad.
2. Muqallid. Yaitu orang yang mengikuti pendapat mujtahiad karena tidak mampu atau tidak memenuhi persyaratan ijtihad.
Mujtahid maupun muqallid wajib mengetahui hokum syara’ agar diamalkan sesuai kemampuannya. Secara umum, tuntutan bagi mujthaid ialah berijtihad untuk mengikuti dan mengamalkan hokum syariat. Sedangkan bagi muqallid di tuntut mengikuti terhadap mujtahid.
Para ulama ahli ushul membagi taqlid menjadi dua :
1. Orang awam. Dia wajib bertaqlid karena tidak mampu berijtihad.
2. Orang alim yang mengetahui sebagian ilmu ijtihad tetapi dia belum mencapai taraf mujtahid.
Keduanya wajib taqlid terhadap mujtahid. Ketika seseorang tidak memenuhi syarat mujtahid, menurut jumhurul ulama dia wajib taqlid.
Al-‘alamah syaikh Muhammad Husnain makhluf dalam bukunya Bulugh ar-Rasul dalam judul Menyandarkan Pendapat mujtahid pada sumber hokum syariat, beliau mengatakan, para ulama ushul dan ulama lainnya mengnggap pendapat para mujtahid bagai para muqallid sejajar dengan dalil-dalil bagi para mujtahid. Hal ini sama sekali bukan karena pendapat mereka menjadi hujjah yang menjadidasar hokum syariat seperti halnyaperkataan para nabi. Tidak ada seorang pun yang mengatakan alas an ini akan tetapi, hal itu disebabkan karena pendapat mereka di sandarkan pada sumber hokum syara’ dimana mereka telah mencurahkan kemampuan untuk meneliti dan menguji dalil-dalilnya. Mereka juga berbekal integritas, pengetahuan luas, pemahaman yang luas serta memperhatikan dan menganalisa nash-nash hokum dengan teliti. Oleh sebab itu, wajar jika para ulama menyaratkan pada orang yang mencurahkan pikirannya pada penggalian dalil-dalil syariat - karena sifatnya dzonny pula – agar mempunyai ekspert, power, talenta khusus yang memungkinkannya menganalisa dalil dan mampu memproteksi hokum-hukum syar’I dari kekeliruan semaksimal mungkin.
Kemudian beliau merumuskan: “ seperti halnya Allah SWT dan Nabi SAW memerintahkan kepada orang yang kompeten dalam bidang ijtihad untuk mengerahkan kemampuannya meneliti sumber-sumber hokum agar nantinya mampu memproduk hokum. Allah dan nabi juga memerintahkan itba’ terhadap mujtahid bagi orang yang belum mencapai taraf mujtahid dan mendoromng mereka untuk terus berusaha menggapai taraf itusedang orang awap Allah memerintahkan untuk mengikuti dan memetuhi pendapat para ulama. Allah berfirman
فاسألوا أهل الذكر إنكمتم لا تعلمون. (النحل, 34)
“ Bertanyalah kalian semua pada ahli dzikir jika kamu tidak tahu “
Maksudnya tidak mengetahui hokum kejadian, peristiwa, agar para ahli dzikir memberi tahu apa yang mereka gali dari dalil-dalil syar’I. dengan berdasar pada alasan baik didukung hadits nabimaupun tidak. Pada prinsipnya, tidak ada keharusan bagi mujtahi untuk menyebutkan dalil kepada orang awam apalagi orang tersebut sama sekali tidak mengetehui cara berijtihad, atau dalil itu mempunyai latar belakang dan pendekatan yang tidak dipahami oleh mereka.
Imam Syatibi berpendapat, fatwa seorang mujtahid terhadap orang awam sejajar dengan dalil syara’ bagi para mujtahid, buktinya, ada dan tiadadalil bagi mereka sama saja karena tidak mampu mengoperasikannya. Karena itu mereka tidak diperkenankan melakukan istinbatul hukmi sama sekali. Muqollid adalah orang yang tidak mengetahui maka dia wajib bertanya pada ahli dzikir dan menjadikan mereka sebagai rujukan hokum agama. Oleh sebab itu ahli dzikir menempati posisi syari’.
Pada zaman shahabat dan tabi-ien ketika terjadi kasusorang-orang awam langsung bertanya kepada para shahabat dan tabiien mengenai hokum kasus itu. Mereka menjawab pertanyaan itu tanpa sangkalan dari penanya. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka (shahabat dan tabi-ien) memerintahkan kepada orang yang bertanya untuk berijtihad sendiri, hal itu menjadi ijma sukuti. Para sahbat dan tabi-ien bagi orang yang tidak mampu berijtihad dianjurkan bertanya kepada orang yang mampu. Oleh karena itu tuntutan berijtihad bagi orang awam berseberangan dengan ijma’ sukuti itu.
Disisi lain pendapat yang melarang taqlid tidak mengandung tuntutan untuk berijtihad bagi orang yang tidak mampu melakukannya. Karena tidak mampu makadilarang berijtihad.Allah berfirman. “ Allah tidak menuntut seseorang diluar kemampuannya “ disamping hal tersebut akan menyebabkan manusia tidak bias memenuhi kebutuhan pokoknya, dan meninggalkan mata pencaharian untuk keberlangsungan hidup di dunia. Yaitu manusia akan meninggalkan pekerjaan demi mengetahui hokum. Ini akan mengganggu stabilitas dalam berbagai aspek.
Setelah ulama menetapkan disyaratkannya taqliddalam furu’. Maka mereka berbeda pendapat dalam keharusan muqollid untuk bertaqlid pada madzhab tertentu untuk masalah-masalah furu’. Disana terdapat dua pendapat :
1. al-Jalal Al-Mahally dalam syarah jam’ul jawami’ menyatakan bahwa mengikuti madzhab tertentu hukumnya wajib. Beliau melanjutkan bahwa mengikuti madzhab tertentu wajib bagi orang awam yang belum mencapai taraf mujtahid, baik yang diyakini lebih unggul atau setara dibandingkan dengan madzhab yang lain.
2. Tidak ada kewajiban mengikuti satu madzhab tertentu dalam semua kasus, tapi boleh mengambil pendapat mujtahid yang dikehendaki. Inilah pendapat yang benar. Karena itu masyhurlahpendapat ulama yang mengatakan : ‘orang awam tidak ber-madzhab tapi madzhabnya adalah madzhab muftinya yang berilmu dan beribtegritas.
Pemahami makna dalil secara dhahir yaitu berasal dari Al – qur`an dan hadits ,karna maknanya dalil lebih umum ketika berada di dalam al quran dan hadits.oleh karna itu al quran dan hadist adalah ketentuan dan hukum yang di ambil ulama`untuk mengeluarkan hukum. Demikian juga dalil – dalil selain keduanya.
pendapat imam mujtahid bukan bagian hukum dari al qur`an dan hadist, akan tetapi pendapat mereka, adalah kesimpulan pemahaman mereka terhadap qur`an dan hadist. oleh karna itu fatwa mereka cuma menafsirkan dan menjelaskan quran dan hadist.
Mengambil pendapat mereka bukan berarti meninggalkan al qur`an dan hadist ,akan tetapi sebagai pedoman.namun kita sendiri tidak bisa untuk memahaminya kecuali dengan pendapat mereka,karna mereka lebih tahu dari pada generasi setelahnya tentang keshohean hadist,cacat,hasan, marfu`, mursal, mutawatir, dan mashurnya .dan sejarah yang terdahulu dan yang akan terjadi juga tentang nash manshuh,asbabun nuzulnya al – qur`an - hadist dan bahasanya.dmikian juga tentang ilmu – ilmu al qur`an dan hadist yang berdasarkan kecerdasa dan keistikomahan mereka.
Hal ini berkat kepadain dan kekuatan agama mereka,juga ketawadduan,kewara`an dan ketajaman pemikirannya.jadi bisa mengambil dalil - dalil fiqh dalam al qur`an dan hadist terhadap qaidah - qaidah yang harus diambil darinya .dan menjelaskan kesamaran hukum – hukum di dalamnya.
dan mengambil faedah faedah dan hukum hukum dan menjelaskan pada kita semua tentang sesuatu yang samar dari.maksud dalil makkul mankul,dan menafsirkan urusan agama mereka, menyelesaikan masalah atau kasus – kasus dengan mengeluarkan furu` - furu` dari dasarnya yang mana furu`itu sendiri muncul darinya, dengan demikian mereka menetapkan dengan sesuatu yang di anggap baik.
PERSELISIHAN KEDUA:kita tahu seorang muqollid tidak akan pernah meninggalkan salah satu madhabnya ketika berlawanan dengan hadist, maka hal ini di antara mendahulukan qur`an dan hadist.
perselisihan semacam ini telah di jawab oleh syeikh, kabir an - anawi dalam kitabnya ” fawaedah fi ilmil fiqh “beliau berkata hal itu hanya firasat buruk mereka saja,.dan keyakinan yang batil : seperti ucapan: (kami mengunggulkan pendapat imam dari pada al qur`an dan hadist hal yang sebenarnya bukan seperti itu)akan tetapi hal yang sebenarnya adalah kejelasan al qur`an dan hadist tentang perselisihan pendapat ulama` yang membutuhkan dua hal : yaitu
1.harus mengetahui hal itu adalah firman Allah dan Nabi.
2.harus mengetahui hal itu berbeda dengan pendapat ulama`
seoarang muqollid tidak bisa menjawab dua hal di atas. karna harus mengetahui pengambilan dalilnaya.dan kadang - kadang seorang muqollid tidak bisa sama sekali,atau pengambilan dalilnya ditolak oleh syara`seperti pengambilan dalil wajibnya mandi bagi orang yang luka kepalanya dengan berdasarkan ayat tayamum.
jadi apabila begitu, bagaimana mungkin bagi seoarang tahu bahwa mujtahid berbeda dengan qur`an dan hadist. untuk mujtahid memutuskan bahwa pendapatnya yang berbeda dengan hukum al qur`an dan hadist dengan cara berijtihad seoarng diri ?
jika bukan seperti itu lalu bagaimana caranya untuk meninggal pendapatnya yang berselisih.
Kesimpulannya adalah meniggalkannya muqollid pada pendapat imamnya karna hadist dan lain nya ,bukan pendapat imam itu lebih unggul dari pada al qur`an dan hadist dan lain - lain.akan tetapi karna muqollid tersebut tidak bisa mengetahui perbedaan pendapat imamnya dengan qur`an dan hadist.
Jika anda berkata:apabila mereka sendiri tidak tahu perbedaan nya, maka kami dan ulama` aharun akan bersama kita kami yakan mengajari bahwa imamnya berbeda dengan hadist.
kami menjawab : kebenaran anda dalam pendapat ini dengan mengambil dalil bukanlah termasuk orang yang ahli dalam mengambil hadist. dan tidak bisa untuk menguatkan keshohean dalinya.bagaimana mau benar? dan kebenaran anda tanpa menggunakan dalil maka anda menjadi muqollid.dan tidak ada seorangpun muqollid yang lebih utama dari lainnya, jadi bagaimana caranya untuk meninggalkan taklidnya terdahulu dan kembali pada taklid yang sekarang,maka hal inj akan menimbulkan fitnah dan kekerasan dimana mana.
Pertentangan ketiga: talid pada imam yang berbeda dengan apa yang telah disampaikan yang mana mereka sendiri melarang untuk di ikuti, khususnya ketika pendapat itu berbeda dengan hadist shaheh.dan masing - masing imam 4 berfatwa bahwa kalau ada hadist shaheh maka itulah mazhab ku).
Jawab:pengakuan bahwa imam mujtahid melarang untuk tidak di ikuti secara mudlak itu adalah pengakuan yang batil.karna salah satu di antara mereka tidak memberitahun satu sama lain tentang hal tersebut,jika mereka masih beranggapan begitu maka tidak taklid pada Imam,adalah hakekat taklid.dan hal itu dilarang bagi mereka( kamu).terus bagaimana tidak taklid pada mereka hukumnya wajib.?parkara taklid didalam parkara imam itu adalah jawaban bagi kelompok yang bertentangan.dan itu hal batil
Jika ketetapan naqal dilarang untuk taqlid pada imam,maka yang dimaksud adalah haramnya taqlid pada orang yang ahli ijtihad.
Imam nawawi telah menjawabnya di mukotdimah kitab (majmu`) dari anjuran imam yang berbeda dalam mazhabnya atas sudut pandang ketika berbeda dengan hadist. Imam Nawawi berkata:ada sekelompok ulama` sebelum ku yang sama – sama sepakat ketika terdapat masalah dalam hadist.sedangkan mazhab imam syafi`I berbeda dalam pemakian hadist.dengan berfatwa:mazhab syafi`I adalah mazhab yang sepakat dengan hadist.,sekalipun ada sebagian kecil ada yang berbeda.dan ini sebagian dari fatwa yang dinukil dari imam syafi`I atas kesepatannya pada hadist.
Dan fatwa imam syafi`I ini bukan berarti setiap orang yang menemukan hadist shaheh,lalu mengatakan ini adalah mazhb syafi`I dan memakai zhahirnya hadist tersebut.akan tetapi ini berlaku bagi orang yang mempunyai tingkatan ijtihad dalam mazhab yang sudah ada baik dari sifatnya juga kedekatannya.sedangkan syaratnya,yaitu harus yakin bahwa imam syfi`I tidak berhenti pada hadist atau tidak tahu keshaheannya,hal hendaknya dilakukan setelah mempelajari seluruh kitab imam syfi`I dan kitab para As Habus Syafi`I yang dikutib dari kitabnya.namun ini adalah syarat yang rumit sedikit orang yang menyutujuinya.ketika mereka menyaratkan pada apa ynag kami paparkan, karma imam syafi`I tidak memakai hadist secara zhahirnya yang beliau lihat dan yang diketahui,tentang cacatnya hadist,nash,takhsis, takwildan lain sebagainya.
Syaeih abu umar berkata: imam ibnu menjelaskan: tidak boleh memakai secara zhahir dengan mudah apa yang telah di fatwakan imam syfi`I,tapibukan berarti setiap imam fiqh memperbolehkan sedikit memakai dalil yang dia ketahui dari hadist, dan bagi orang yang memilih jalan ini dari Syafi`I yaitu memakai hadist yang mana imam syafi`I sendiri itu tidak memakainya karna pengetahuan pada orang yang mencegah untuk mengeluarkannya,dan tahu apa yang orang lain tidak mengetahuinya.seperti abi walid musa ibnu abi jarudi juga seperti As Habus Syafi`I yang lain,yang mengatakan hadist.( )adalah hadist shaheh.
Maka saya jawab: Imam berkata ( hadist )maka pendapat abi walid di atas di tolak oleh Imam,karna Imam sendiri tidak menggunakan hadist itu dengan alasan pengetahuan beliau dan hadist tersebut di nasakh menurut beliau.dan Imam telah menjelaskan kenasakhan serta dalilnya,yang akan kita lihat dalam bab ( siyam ),dan ibnu huzaimah berkata:saya tidak tahu sunnah Nabi tentang halal – haram yang Imam sendiri tidak menulis dalam kiatbnya.juga jalalah ibnu huzaimah serta imamnya dalam ilmu hadist dan fiqh.sedangkan pengetahuannya tentang nash – nash Imam berdasarkan apa yang telah diketahuinya.
Syaeih abu umar berkata: barang siapa yang menemukan pendapat imam syafi`I yang berbeda dengan hadist,maka ditinjau.
1.apabila alat – alat ijtihad sudah sempurna secara mutlak atau dalam bab itu dan atau masalah sedikit pemakaian hadist.
2.jika tidak sempurna dan perbedaan hadist itu menyulidkan setelah dicari kemudian tidak menemukan perbedaan yang bisa menjadi jawaban.maka boleh memakai zhahir apabila ada sebagian imam yang memakainya selain imam syafi` I,dan ini termasuk udzur padanya untuk tidak mengikuiti pendapat imamnya, dan ini adalah perkataan imam hasan muttain.
Oleh:Muhammad Yazid.
Sebagian pemuka dakwah melarang umat bertaqlid pada empat madzhab fiqih dengan alasan bahwa wajib pengambilan hukumnya hanya berdasarkan pada al-quran dan hadits saja, di sisi lain, imam-imam madzhab sebenarnya tidak mau dijadikan sandaran taqlid. Lalu, apakah esensi taqlid ? apakah boleh mencela taqlid ? dan secara peraktek apakah pendapat mereka berbeda dengan Al qur’an dan Sunnah?.
Taqlid secara etimologi diambil dari kata “ al-qiladah” yang mempunyai arti sesuatu yang ditaruh atau dikalungkan di leher, baik untuk manusia, keledai, atau unta yang dijadikan korban pada saat pelaksanaan haji. Mengalungkan qiladah pada leher hewan qurban di tanah haram bertujuan untuk memberi tanda bahwa hewan itu adalah hewan qurban. Oleh sebab itu manusia tidak boleh mengenakannya untuk menghormati baitullah dan hewan qurban itu.
Secara terminology, taqlid mengandung dua makana :
1. Mengerjakan sesuatu berdasarkan pendapat orang lain tanpa dikuatkan dengan hujjah syar’iyyah, atau tanpa dalil yang menguatkan hokum dan ke-hujjahannya.
2. Mengerjakan sesuatu berdasarkan pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui dalilnya secara proporsional .
Taqlid yang pertama menurut kesepakatan para ulama tidak diperbolehkan, dan yang kedua diperbolehkan bahkan dawajibkan bagi orang yang berilmu.
Yang dimaksud “ tanpa mengetahui dalilnya “ adalah mengetahui dalil secara sempurna, yaitu mengetahui cara penggalian hokum dan pengoperasiannya dengan memenuhi sayarat ijtihad. Seperti diterangkan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Maka, yang yang termasuk dalam kategori taqlid adalah adalah mengikuti pendapat mujtahid tanpa mengetahui dalilnya sama sekali atau mengetahuidalilnya tetapi tidak proporsional. Misalnya , dia mengetahui bentuk dilalahnya tetapi tidak mengetahui hokum apa yang ditimbulkan dilalah tersebut. Baik sang mujtahid menyebutkan sanad hokum dalam pendapaynya atau tidak menyebutkan, baik mengambil pendapat itu secara langsung atau tidakyaitu dengan bantuan seorang alim yangmeriwayatkan pendapat dari mujtahid atau merujukpada kitab-kitabnya.
Mukallaf dipandang dari sisi kemampuannya memahami hokum syari’at terbagi 2 :
1. Mujtahid. Yaitu orang yang mampu menggali hokum dari dalil dengan berijtihad.
2. Muqallid. Yaitu orang yang mengikuti pendapat mujtahiad karena tidak mampu atau tidak memenuhi persyaratan ijtihad.
Mujtahid maupun muqallid wajib mengetahui hokum syara’ agar diamalkan sesuai kemampuannya. Secara umum, tuntutan bagi mujthaid ialah berijtihad untuk mengikuti dan mengamalkan hokum syariat. Sedangkan bagi muqallid di tuntut mengikuti terhadap mujtahid.
Para ulama ahli ushul membagi taqlid menjadi dua :
1. Orang awam. Dia wajib bertaqlid karena tidak mampu berijtihad.
2. Orang alim yang mengetahui sebagian ilmu ijtihad tetapi dia belum mencapai taraf mujtahid.
Keduanya wajib taqlid terhadap mujtahid. Ketika seseorang tidak memenuhi syarat mujtahid, menurut jumhurul ulama dia wajib taqlid.
Al-‘alamah syaikh Muhammad Husnain makhluf dalam bukunya Bulugh ar-Rasul dalam judul Menyandarkan Pendapat mujtahid pada sumber hokum syariat, beliau mengatakan, para ulama ushul dan ulama lainnya mengnggap pendapat para mujtahid bagai para muqallid sejajar dengan dalil-dalil bagi para mujtahid. Hal ini sama sekali bukan karena pendapat mereka menjadi hujjah yang menjadidasar hokum syariat seperti halnyaperkataan para nabi. Tidak ada seorang pun yang mengatakan alas an ini akan tetapi, hal itu disebabkan karena pendapat mereka di sandarkan pada sumber hokum syara’ dimana mereka telah mencurahkan kemampuan untuk meneliti dan menguji dalil-dalilnya. Mereka juga berbekal integritas, pengetahuan luas, pemahaman yang luas serta memperhatikan dan menganalisa nash-nash hokum dengan teliti. Oleh sebab itu, wajar jika para ulama menyaratkan pada orang yang mencurahkan pikirannya pada penggalian dalil-dalil syariat - karena sifatnya dzonny pula – agar mempunyai ekspert, power, talenta khusus yang memungkinkannya menganalisa dalil dan mampu memproteksi hokum-hukum syar’I dari kekeliruan semaksimal mungkin.
Kemudian beliau merumuskan: “ seperti halnya Allah SWT dan Nabi SAW memerintahkan kepada orang yang kompeten dalam bidang ijtihad untuk mengerahkan kemampuannya meneliti sumber-sumber hokum agar nantinya mampu memproduk hokum. Allah dan nabi juga memerintahkan itba’ terhadap mujtahid bagi orang yang belum mencapai taraf mujtahid dan mendoromng mereka untuk terus berusaha menggapai taraf itusedang orang awap Allah memerintahkan untuk mengikuti dan memetuhi pendapat para ulama. Allah berfirman
فاسألوا أهل الذكر إنكمتم لا تعلمون. (النحل, 34)
“ Bertanyalah kalian semua pada ahli dzikir jika kamu tidak tahu “
Maksudnya tidak mengetahui hokum kejadian, peristiwa, agar para ahli dzikir memberi tahu apa yang mereka gali dari dalil-dalil syar’I. dengan berdasar pada alasan baik didukung hadits nabimaupun tidak. Pada prinsipnya, tidak ada keharusan bagi mujtahi untuk menyebutkan dalil kepada orang awam apalagi orang tersebut sama sekali tidak mengetehui cara berijtihad, atau dalil itu mempunyai latar belakang dan pendekatan yang tidak dipahami oleh mereka.
Imam Syatibi berpendapat, fatwa seorang mujtahid terhadap orang awam sejajar dengan dalil syara’ bagi para mujtahid, buktinya, ada dan tiadadalil bagi mereka sama saja karena tidak mampu mengoperasikannya. Karena itu mereka tidak diperkenankan melakukan istinbatul hukmi sama sekali. Muqollid adalah orang yang tidak mengetahui maka dia wajib bertanya pada ahli dzikir dan menjadikan mereka sebagai rujukan hokum agama. Oleh sebab itu ahli dzikir menempati posisi syari’.
Pada zaman shahabat dan tabi-ien ketika terjadi kasusorang-orang awam langsung bertanya kepada para shahabat dan tabiien mengenai hokum kasus itu. Mereka menjawab pertanyaan itu tanpa sangkalan dari penanya. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa mereka (shahabat dan tabi-ien) memerintahkan kepada orang yang bertanya untuk berijtihad sendiri, hal itu menjadi ijma sukuti. Para sahbat dan tabi-ien bagi orang yang tidak mampu berijtihad dianjurkan bertanya kepada orang yang mampu. Oleh karena itu tuntutan berijtihad bagi orang awam berseberangan dengan ijma’ sukuti itu.
Disisi lain pendapat yang melarang taqlid tidak mengandung tuntutan untuk berijtihad bagi orang yang tidak mampu melakukannya. Karena tidak mampu makadilarang berijtihad.Allah berfirman. “ Allah tidak menuntut seseorang diluar kemampuannya “ disamping hal tersebut akan menyebabkan manusia tidak bias memenuhi kebutuhan pokoknya, dan meninggalkan mata pencaharian untuk keberlangsungan hidup di dunia. Yaitu manusia akan meninggalkan pekerjaan demi mengetahui hokum. Ini akan mengganggu stabilitas dalam berbagai aspek.
Setelah ulama menetapkan disyaratkannya taqliddalam furu’. Maka mereka berbeda pendapat dalam keharusan muqollid untuk bertaqlid pada madzhab tertentu untuk masalah-masalah furu’. Disana terdapat dua pendapat :
1. al-Jalal Al-Mahally dalam syarah jam’ul jawami’ menyatakan bahwa mengikuti madzhab tertentu hukumnya wajib. Beliau melanjutkan bahwa mengikuti madzhab tertentu wajib bagi orang awam yang belum mencapai taraf mujtahid, baik yang diyakini lebih unggul atau setara dibandingkan dengan madzhab yang lain.
2. Tidak ada kewajiban mengikuti satu madzhab tertentu dalam semua kasus, tapi boleh mengambil pendapat mujtahid yang dikehendaki. Inilah pendapat yang benar. Karena itu masyhurlahpendapat ulama yang mengatakan : ‘orang awam tidak ber-madzhab tapi madzhabnya adalah madzhab muftinya yang berilmu dan beribtegritas.
Pemahami makna dalil secara dhahir yaitu berasal dari Al – qur`an dan hadits ,karna maknanya dalil lebih umum ketika berada di dalam al quran dan hadits.oleh karna itu al quran dan hadist adalah ketentuan dan hukum yang di ambil ulama`untuk mengeluarkan hukum. Demikian juga dalil – dalil selain keduanya.
pendapat imam mujtahid bukan bagian hukum dari al qur`an dan hadist, akan tetapi pendapat mereka, adalah kesimpulan pemahaman mereka terhadap qur`an dan hadist. oleh karna itu fatwa mereka cuma menafsirkan dan menjelaskan quran dan hadist.
Mengambil pendapat mereka bukan berarti meninggalkan al qur`an dan hadist ,akan tetapi sebagai pedoman.namun kita sendiri tidak bisa untuk memahaminya kecuali dengan pendapat mereka,karna mereka lebih tahu dari pada generasi setelahnya tentang keshohean hadist,cacat,hasan, marfu`, mursal, mutawatir, dan mashurnya .dan sejarah yang terdahulu dan yang akan terjadi juga tentang nash manshuh,asbabun nuzulnya al – qur`an - hadist dan bahasanya.dmikian juga tentang ilmu – ilmu al qur`an dan hadist yang berdasarkan kecerdasa dan keistikomahan mereka.
Hal ini berkat kepadain dan kekuatan agama mereka,juga ketawadduan,kewara`an dan ketajaman pemikirannya.jadi bisa mengambil dalil - dalil fiqh dalam al qur`an dan hadist terhadap qaidah - qaidah yang harus diambil darinya .dan menjelaskan kesamaran hukum – hukum di dalamnya.
dan mengambil faedah faedah dan hukum hukum dan menjelaskan pada kita semua tentang sesuatu yang samar dari.maksud dalil makkul mankul,dan menafsirkan urusan agama mereka, menyelesaikan masalah atau kasus – kasus dengan mengeluarkan furu` - furu` dari dasarnya yang mana furu`itu sendiri muncul darinya, dengan demikian mereka menetapkan dengan sesuatu yang di anggap baik.
PERSELISIHAN KEDUA:kita tahu seorang muqollid tidak akan pernah meninggalkan salah satu madhabnya ketika berlawanan dengan hadist, maka hal ini di antara mendahulukan qur`an dan hadist.
perselisihan semacam ini telah di jawab oleh syeikh, kabir an - anawi dalam kitabnya ” fawaedah fi ilmil fiqh “beliau berkata hal itu hanya firasat buruk mereka saja,.dan keyakinan yang batil : seperti ucapan: (kami mengunggulkan pendapat imam dari pada al qur`an dan hadist hal yang sebenarnya bukan seperti itu)akan tetapi hal yang sebenarnya adalah kejelasan al qur`an dan hadist tentang perselisihan pendapat ulama` yang membutuhkan dua hal : yaitu
1.harus mengetahui hal itu adalah firman Allah dan Nabi.
2.harus mengetahui hal itu berbeda dengan pendapat ulama`
seoarang muqollid tidak bisa menjawab dua hal di atas. karna harus mengetahui pengambilan dalilnaya.dan kadang - kadang seorang muqollid tidak bisa sama sekali,atau pengambilan dalilnya ditolak oleh syara`seperti pengambilan dalil wajibnya mandi bagi orang yang luka kepalanya dengan berdasarkan ayat tayamum.
jadi apabila begitu, bagaimana mungkin bagi seoarang tahu bahwa mujtahid berbeda dengan qur`an dan hadist. untuk mujtahid memutuskan bahwa pendapatnya yang berbeda dengan hukum al qur`an dan hadist dengan cara berijtihad seoarng diri ?
jika bukan seperti itu lalu bagaimana caranya untuk meninggal pendapatnya yang berselisih.
Kesimpulannya adalah meniggalkannya muqollid pada pendapat imamnya karna hadist dan lain nya ,bukan pendapat imam itu lebih unggul dari pada al qur`an dan hadist dan lain - lain.akan tetapi karna muqollid tersebut tidak bisa mengetahui perbedaan pendapat imamnya dengan qur`an dan hadist.
Jika anda berkata:apabila mereka sendiri tidak tahu perbedaan nya, maka kami dan ulama` aharun akan bersama kita kami yakan mengajari bahwa imamnya berbeda dengan hadist.
kami menjawab : kebenaran anda dalam pendapat ini dengan mengambil dalil bukanlah termasuk orang yang ahli dalam mengambil hadist. dan tidak bisa untuk menguatkan keshohean dalinya.bagaimana mau benar? dan kebenaran anda tanpa menggunakan dalil maka anda menjadi muqollid.dan tidak ada seorangpun muqollid yang lebih utama dari lainnya, jadi bagaimana caranya untuk meninggalkan taklidnya terdahulu dan kembali pada taklid yang sekarang,maka hal inj akan menimbulkan fitnah dan kekerasan dimana mana.
Pertentangan ketiga: talid pada imam yang berbeda dengan apa yang telah disampaikan yang mana mereka sendiri melarang untuk di ikuti, khususnya ketika pendapat itu berbeda dengan hadist shaheh.dan masing - masing imam 4 berfatwa bahwa kalau ada hadist shaheh maka itulah mazhab ku).
Jawab:pengakuan bahwa imam mujtahid melarang untuk tidak di ikuti secara mudlak itu adalah pengakuan yang batil.karna salah satu di antara mereka tidak memberitahun satu sama lain tentang hal tersebut,jika mereka masih beranggapan begitu maka tidak taklid pada Imam,adalah hakekat taklid.dan hal itu dilarang bagi mereka( kamu).terus bagaimana tidak taklid pada mereka hukumnya wajib.?parkara taklid didalam parkara imam itu adalah jawaban bagi kelompok yang bertentangan.dan itu hal batil
Jika ketetapan naqal dilarang untuk taqlid pada imam,maka yang dimaksud adalah haramnya taqlid pada orang yang ahli ijtihad.
Imam nawawi telah menjawabnya di mukotdimah kitab (majmu`) dari anjuran imam yang berbeda dalam mazhabnya atas sudut pandang ketika berbeda dengan hadist. Imam Nawawi berkata:ada sekelompok ulama` sebelum ku yang sama – sama sepakat ketika terdapat masalah dalam hadist.sedangkan mazhab imam syafi`I berbeda dalam pemakian hadist.dengan berfatwa:mazhab syafi`I adalah mazhab yang sepakat dengan hadist.,sekalipun ada sebagian kecil ada yang berbeda.dan ini sebagian dari fatwa yang dinukil dari imam syafi`I atas kesepatannya pada hadist.
Dan fatwa imam syafi`I ini bukan berarti setiap orang yang menemukan hadist shaheh,lalu mengatakan ini adalah mazhb syafi`I dan memakai zhahirnya hadist tersebut.akan tetapi ini berlaku bagi orang yang mempunyai tingkatan ijtihad dalam mazhab yang sudah ada baik dari sifatnya juga kedekatannya.sedangkan syaratnya,yaitu harus yakin bahwa imam syfi`I tidak berhenti pada hadist atau tidak tahu keshaheannya,hal hendaknya dilakukan setelah mempelajari seluruh kitab imam syfi`I dan kitab para As Habus Syafi`I yang dikutib dari kitabnya.namun ini adalah syarat yang rumit sedikit orang yang menyutujuinya.ketika mereka menyaratkan pada apa ynag kami paparkan, karma imam syafi`I tidak memakai hadist secara zhahirnya yang beliau lihat dan yang diketahui,tentang cacatnya hadist,nash,takhsis, takwildan lain sebagainya.
Syaeih abu umar berkata: imam ibnu menjelaskan: tidak boleh memakai secara zhahir dengan mudah apa yang telah di fatwakan imam syfi`I,tapibukan berarti setiap imam fiqh memperbolehkan sedikit memakai dalil yang dia ketahui dari hadist, dan bagi orang yang memilih jalan ini dari Syafi`I yaitu memakai hadist yang mana imam syafi`I sendiri itu tidak memakainya karna pengetahuan pada orang yang mencegah untuk mengeluarkannya,dan tahu apa yang orang lain tidak mengetahuinya.seperti abi walid musa ibnu abi jarudi juga seperti As Habus Syafi`I yang lain,yang mengatakan hadist.( )adalah hadist shaheh.
Maka saya jawab: Imam berkata ( hadist )maka pendapat abi walid di atas di tolak oleh Imam,karna Imam sendiri tidak menggunakan hadist itu dengan alasan pengetahuan beliau dan hadist tersebut di nasakh menurut beliau.dan Imam telah menjelaskan kenasakhan serta dalilnya,yang akan kita lihat dalam bab ( siyam ),dan ibnu huzaimah berkata:saya tidak tahu sunnah Nabi tentang halal – haram yang Imam sendiri tidak menulis dalam kiatbnya.juga jalalah ibnu huzaimah serta imamnya dalam ilmu hadist dan fiqh.sedangkan pengetahuannya tentang nash – nash Imam berdasarkan apa yang telah diketahuinya.
Syaeih abu umar berkata: barang siapa yang menemukan pendapat imam syafi`I yang berbeda dengan hadist,maka ditinjau.
1.apabila alat – alat ijtihad sudah sempurna secara mutlak atau dalam bab itu dan atau masalah sedikit pemakaian hadist.
2.jika tidak sempurna dan perbedaan hadist itu menyulidkan setelah dicari kemudian tidak menemukan perbedaan yang bisa menjadi jawaban.maka boleh memakai zhahir apabila ada sebagian imam yang memakainya selain imam syafi` I,dan ini termasuk udzur padanya untuk tidak mengikuiti pendapat imamnya, dan ini adalah perkataan imam hasan muttain.
Oleh:Muhammad Yazid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar