Tekstualitas Al-Qur’an Karangan Nasr Hamid Abu Zaid
oleh : Marzuki Abubakar
I. Pendahuluan
Buku Tekstualitas Al-Qur’an (Kritik Terhadap Ulumul Qur’an), merupakan terjemahan dari buku Mafhum an-Nash dirasah fi ‘Ulum al-Qur’an karangan Nash Hamid abu Zaid. Penerjemah buku ini adalah Khoirron Nahdhliyyin dan diterbitkan oleh oleh LKiS Yokyakarta. Dalam buku ini, Nasr Hamid abu Zaid melakukan satu pendekatan baru dalam kajian Ulumul Qur’an. Buku-buku tentang Ulumul Qur’an sudah banyak ditulis, baik oleh ulama-ulama dahulu maupun sekarang. Dalam kajiannya ini Nash Hamin Abu Zaid mencoba membuka wacana baru tentang Ulumul Qur’an, terutama dari segi pendekatannya. Dari segi materi Ulumul Qur’an yang dijadikan objek kajian, tidak ada yang baru, tetapi yang baru adalah cara pandang yang menurut Nasr Hamid Abu Zaid Perlu direkonstruksi kembali. Menurut beliau, para ulama ulumul Qur’an terdahulu, dalam kajiannya dipengaruhi oleh pemahaman secara Teologi-Mistik yang cendrung tidak dapat dipahami, hanya diterima apa adanya. Dalam kajian ini beliau membuang jauh-jauh pemahaman semacam itu, dan memasuki pembahasan ilmu-ilmu Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan Ilmiah-Rasional. Pemikiran ilmiah-rasional ini pernah dikembangkan oleh muktazilah pada abad kebangkitan Islam.
Nasr Hamid Abu Zaid memandang Al-Qur’an sebagai objek kajian, layaknya kajian terhadap teks-teks umum lainnya. Dalam buku ini beliau menggunakan istilah teks yang dalam bahasa Arabnya Nash, tetapi tidak dalam pengertian nash sebagaimana yang terdapat dalam kajian Ulumul Qur’an ulama-ulama dahulu. Kata Nash disini diartikan sebagai ungkapan yang hanya memiliki satu kemungkinan makna. Penggunaan kata teks tersebut dimaksudkan untuk memberi kesan bahwa kajian ini adalah kajian ilmiah. Pengertian Al-Qur’an dalam buku ini berbeda dengan pengertian Al-Qur’an dalam pengertian ideologi. Al-Qur’an disini diperlakukan sebagai teks tanpa atribut apapun sebagaimana teks-teks yang lain.
Dalam pembahasannnya, Nasr Hamid Abu Zaid banyak mengkritik para ulama Uumul Qur’an terdahulu, Fokus kritikan beliau adalah terhadap pendapat-pendapat As-Sayuti dalam kitab Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, dan Az-Zarkasyi dalam kitab Al-Burhan fi Ulum Al-Qur’an, keduanya merupakan referensi utama dalam bidang ulumul Qur’an. Nasr Hamid Abu Zaid, membagi pembahasan ilmu-ilmu Al-Qur’an kedalam tiga bagian, yaitu format dan formatisasi teks, mekanisme teks, dan pergeseran konsep dan fungsi teks. Fokus pembahasan beliau pada 2 (dua) masalah penting, yaitu hubungan teks dengan realitas dan budaya, dan mekanisme teks. Beliau memandang bahwa agama tidak selalu didekati dengan cara Teologi-Mistik, tetapi juga perlu diperhatikan realitas yang menuntut agama juga harus didekati secara Rasional-Ilmiah.
Nasr hamid Abu Zaid bukan saja melakukan penekanan pada tekstualitas, tetapi juga menyajikan suatu ide metodelogis baru terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an. Hal ini tentunya akan terjadi perlawanan terhadap metodelogi-metodelogi yang pernah diterapkan oleh ulama-ulama sebelumnya yang didukung oleh kelompok konservatif. Nasr Hamid Abu Zaid, disini menempatkan diri sebagai seorang sekuler, karena persoalan yang dikaji adalah persoalan yang justru dianggap permanen dan tidak dapat diotak-atik.
Dengan demikian, kajian yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zaid merupakan terobosan baru dalam usaha mengembangkan sikap berfikir kritis, sekalipun dalam wilayah-wilayah yang telah dianggap permanen. Pemikiran beliau dapat dijadikan cermin bagi umat Islam, khususnya para sarjana muslim dalam aktivitas ijtihad.
II. Metodelogi
Dalam kajian ini Nasr Hamid Abu Zaid mencoba memasuki pengkajian ilmu-ilmu Al-Qur’an dengan suatu pendekatan baru. Sebelum melakukan pengkajian tersebut, beliau terlebih dahulu mencari dan mempelajari konsep yang terdapat dalam teks. Dengan asumsi bahwa, teks pada dasarnya adalah produk budaya, maksudnya teks terbentuk dalam realitas dan budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun.
Dalam kajian ini Nasr Hamid Abu Zaid menggunakan pendekatan ilmiah dengan metode analisis teks (bahasa), menurut beliau, bahasa adalah perangkat sosial yang terpenting, maka tidak mungkin berbicara tentang teks terpisah dari budaya dan relitas selama teks berada di dalam kerangka budaya sistem bahasa. Sebenarnya, sifat keilahian sumber teks tidak menafikan realitas kandungannya, dan karena itu pula, tidak menafikan keterkaitannya dengan budaya. Yang menjadi objek formal kajian ini adalah ”Islam”. Meski metode dan aliran mereka berbeda, para ulama sepakat bahwa dasar sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an dan Hadits nabi yang shahih.
Kebenaran teks menurut metode analisis teks tidak berasal dari bukti eksternal, tetapi dari diterimanya teks oleh budaya. Menurut metode analisis teks, kebenaran teks bersumber dari peran yang dimainkannya dalam budaya. Sesungguhnya kebenaran teks dalam kebudayaan lebih penting daripada kebenarannya didalam emosi orang-orang yang meyakini dan mempercayainya.
Ide pokok yang ingin dikembangkan dalam kajian ini adalah teks dikaitkan dengan realitas budaya. Maka tidak heran ketika kita menemukan bahwa realitas budaya merupakan isu pokok dalam buku ini, disamping penggunaan pendekatan rasional-ilmiah dan metode analisis teks dalam kajiannya.
III. Ringkasan Buku
Berbeda dengan kebanyakan buku-buku ulumul Qur’an, Nasr Hamid Abu zaid memulai pembahasan pada pendahuluan dengan wacana dan metode ilmiah. Beliau menganggap bahwa sangat penting bagi yang mempelajari ilmu-ilmu A-Qur’an, terlebih dahulu mengetahui wacana sekitar Al-Qur’an, realitas yang mempengaruhinya dan metodelogi yang mungkin digunakan dalam mendekatinya. Seperti yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, bahwa buku ini dibagi dalam 3 (tiga) bagian penting, yaitu format dan formatisasi teks, mekanisme teks, dan pergeseran konsep dan fungsi teks. Bagian pertama pembahasan tentang konsep wahyu dan wahyu Al-Qur’an, penerima pertama, makki dan madani, asbab an-nuzul,dan nashk dan mansukh. Bagian kedua tentang ijaz, munasabah antar ayat dan surat, ambiguitas dan distingsi, ‘amm dan khash, dan tafsir dan takwil. Bagian ketiga tentang pembagian ilmu dari al-Qur’an berdasarkan konsep pemikiran al-Ghazali.
Konsep Wahyu dan Penerima Pertama
Terdapat beberapa nama yang diberikan kepada teks (wahyu), seperti al-Qur’an, Adz-Dzikri dan al-Kitab, tetapi nama “wahyu” dapat mencakup semua nama tersebut, dan terdapat banyak lagi nama-nama yang diberikan oleh as-Sayuti dan Az-Zarkasyi. Dikutib dari kamus Lisan Al-Arab, bahwa asal makna wahyu menurut bahasa adalah pemberian informasi secara rahasia. Pemberian informasi ini melibatkan dua pihak dan menggunakan suatu kode, kode tersebut hanya diketahui oleh kedua pihak tersebut dan pihak ketiga tidak dapat mengetahuinya, kecuali setelah diterima oleh pihak penerima pertama (Muhammad SAW). Cara turunnya wahyu secara umum adalah:
1. Dinamakan ilham, seperti yang diterima oleh ibu nabi musa, lebah, dan malaikat.
2. kalam Allah dibalik tabir, seperti yang diterima oleh nabi Musa.
3. Tidak langsung, melalui utusan, yaitu malaikat, yang terjadi dalam penurunan al-Qur’an.
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, manusia merupakan sasaran wahyu, sepatutnya apabila teks memberi indikasi terhadap semua pihak yang terlibat dalam proses komunikasi. Keterkaitan teks dengan wilayah peradaban ini menjadikannya sebagai teks yang mengarah pada sasaran pembicara. Ini terbukti dari adanya seruan Allah dalam Al-Qur’an dengan “manusia”, ‘bani adam”, “orang-orang beriman”, “orang-orang kafir”, atau ahli kitab, selain seruan pertama, nabi atau rasul. Menurut beliau, teks dan realitas mempunyai hubungan yang sangat erat, dengan mengatakan teks dari Allah semata dan mengabaikan fungsi teks dalam realita, berarti kita mengabaikan watak teks itu sendiri. Nabi muhammmad SAW adalah manusia biasa yang hidup diantara kebudayaan arab yang diberikan Allah kelebihan untuk menyampaikan risalah dari Allah. Adanya intervensi kebudayaan dan realitas bangsa arab dalam teks tidak dapat dipungkiri. Dan dengan mekanismenya yang unik, teks merekontruksi realitas baru melalui kosakata-kosakata yang terdapat didalam realitas tersebut.
Makki dan Madani
Teks merupakan hasil dari interaksi dengan realitas dinamis–historis, kesemuaannya itu akan terungkap dengan diketahuinya dua fase penting yang turut andil memberikan kontribusi yang cukup besar dalam membentuk teks, yaitu makki dan madani. Tentang makki dan madani, para ulama ulumul Qur’an masih berselisih, sehingga terdapat berbagai pendapat mengenai definisi makki dan madani. Dalam hal ini Nasr Hamid Abu Zaid memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang dikatakan dengan makki adalah (ayat/surat) yabg diturunkan sebelum hijrah, dan madani adalah yang diturunkan setelahnya, baik turun di Mekkah ataupun di Madinah, pada tahun penaklukan Mekkah atau haji wada’, atau dalam satu perjalanan. Dalam membedakan antara makki dan madani beliau tidak hanya berpegang pada defenisi tersebut saja, karena data-data yang ada tidak cukup dan juga belum final. Untuk rnentukan bahwa ini ayat/surat makki dan itu madani, selain berdasar pada riwayat-riwayat, para ulama juga membuat beberapa kriteria yang berkaitan dengan kandungan teks itu sendiri yang dihasilkan secara ijtihadiyyah.
Nasr Hamid Abu Zaid membantah adanya ayat yang turun (diturunkan) berulang-ulang. Hal ini biasanya muncul ketika terdapat dua riwayat mengenai temapat turunnya sebuah ayat/surat. Seperti surat Al-fatihah, dan Al-Ikhlas terdapat dua riwayat tentang tempat turunnya kedua ayat tersebut. Sehingga para ulama berasumsi bahwa surat tersebut turun dua kali. Kebanyakan para ulama ulumul Qur’an menafsirkan makki dan Madani melalui ta’zim dan tadzkir, bias dari pendekatan secara teologi-mistik.
Kebanyakan para ulama dahulu menggunakan metode sinkretisme dalam penentuan baik antara makki dan madani, maupun mengenai asbabun nuzul, yaitu dengan cara mengkompromikan diantara pendapat-pendapat, kemudian mengambil yang shahih diantara beberapa riwayat atau pendapat tersebut. Padahal tidak selamanya riwayat-riwayat tersebut digunakan untuk penentuaan tempat dan sebab turunnya teks, dalam sirah An-Nabawiyah kita bisa mendapatkan dalil-dalil yang dapat dijadikan sebagai tambahan pertimbangan dalam penentuan tempat dan turunnya ayat/surat. Sirah An-Nabawiyah telah dipercaya dan dapat mengaitkan peristiwa-peristiwa rill dengan teks.
Asbab An-Nuzul
Adanya Asbab An-Nuzul bertujuan untuk menunjukkan dan menyingkapkan hubunagan dan dialektika antara teks dan realitas. Asbab An-Nuzul merupakan renspon terhadap realitas, seorang mufassir harus memahami tentang Asbab An-nuzul. Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, hal ini seperti yagn dijelaskan oleh Al-Qur’an sendiri dalam surat Al-Furqan ayat 32. faedah diturunkannya Al-Qur’an secara bertahap adalah untuk pemantapan hati. Disampaing itu masyarat arab adalah mayarakat yang begitu terbiasa dengan tulisan, sehingga Nasr Hamid Abu Zaid menyebutnya “masyarakat lisan”. Hal tersebut sesuai sengan kondisi penerima pertama yang merupakan bagian dari masyarakat umum(masyarakat Arab).
Tentang diturunkannnya A-Qur’an secara bertahap-tahap terdapat beberapa hadits, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitab Al-Musytark dari ibnu abbas berkata: “ Al-Qur’an diturunkan sekaligus kelangit dunia dimalam qadar, kemudian diturunkan diturunkan dalam kurun 20 tahun”. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih berdasarkan persyaratan Bukhari dan Muslim. Dan berdasarkan hadits inilah para ulama berpendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan sekaligus kelangit dunia pada malam qadar, kemudian diturunkan secara bertahap dalam waktu 20, atu 23, atau 25 tahun.
Pengetahuan Asbab An-Nuzul bertujuan untuk memahami teks dan menghasilkan maknanya, karena pengetahun mengenai sebab menghasilkan pengetahuan mengenai akibat (musabab). Sehingga dari relitas-realitas partikular atau kondisi-kondisi yang menyerupainya dapat ditrasformasikan melalui qiyas (analogi). Akan tetapi trasformasi sebab ke musabab dari realitas khusus ke realiatas yang menyerupainya, harus didarsarkan pada”tanda-tanda” yang terdapat dalam sruktur teks tersebut. Hal tersebut akan membantu dalam proses transformasi makna dari khusus ke yang umum.
Menurut Nars Hamid Abu Zaid, asumsi adanya ayat yang diturunkan berulang-ulang tidak dapat diterima, karena dapat diasumsikan bahwa penerima pertama ayat tersebut (Nabi) lupa terhadap teks. Selain itu juga dapat menyebebkan ada pemisahan antara teks dan maknanya, dan karena itu menyebabkan konsep teks itu sendiri berantakan.
Nasikh dan Mansukh
Adanya naskh dan mansukh sebagia bukti bahwa sangat erat kaitannya antara realitas dan teks, antara realitas dan wahyu. Naskh adalah pembatalan hukum, menghapuskan dan melepaskan teks yang menunjuk hukum bacaan, atau membiarkan tetap sebagai petunjuk adanya hukum yang dimansukh. Dalam Al-Qur’an terdapat dua tempat yang menunjukkan adanya naskh dan manskh, yaitu surat Al-Baqarah ayat 105-108, dan surat An-Nahl ayat 98-103.
Memahami pengertian nakh sebagai penghapusan teks secara total adalah bertentangan dengan semangat mempermudah dan memberikan tahapan dalam tasyri’ (penagguhan). Contohnya ayat tentang ‘iddah, seorang wanita yang ditinggal mati suaminya dari menunggu ber’iddah setahun menjadi empat bulan sepuluh hari. Untuk menentukan naskh dan mansukh tidak hanya berdasarkan riwayat-riwayat (sinkretisme) seperti yang telah dijelaskan, tetapi juga membutuhkan ijtihad.
I’jaz
Turunnya Al-Qur’an dengan mukjizat yang sesuai dengna realitas masyarakat arab, terkait dengan fenomena puisi dan praktek-praktek perdukunan dalam masyarakat Arab ketika itu. Al-Qur’an adalah teks yang bersifat Vertikal, berbeda denga puisi yang bersifat horizontal. Al-Qur’an bukanlah puisi atau pun prosa, hubungan antara Al-Qur’an dengan puisi tidak boleh dilihat dari satu sisi saja, tetapi harus dilihat dari sisi hubungan antara teks yang ada dalam kebudayaan.
Al-Qur’an memiliki kemiripan dengan teks-teks lain dalam beberapa aspek lain, ia memuat berbagai macam tema, seperti nasehat, cerita, peringatan, dan ancaman. Dalam hal ini Al-Qur’an mirip dengan Qasida yang diawali dengan tema nasib (cinta) atau ilustrasi (wasf) dan memuat tema apologia, ejekan, pujian, atau membanggakan. Karakteristik lain yang membedakan Al-Qur’an dari teks-teks yang lain adalah susunannya yang menakjubakan atau penataannya yang indah dan harmonis.
I’jaz dalam Al-Qur’an terletak pada, pertama, perbedaannya dengan teks-teks lain dalam tipenya sebab ia tidak termasuk dalam katagori puisi, prosa,sajak,khotbah, surat-menyurat, atau saj’. Kedua,terletak pada pola susunan dan penyusunannya, di mana kita tidak menemukan perbedaan taraf susunan dan penyusunannya meskipun panjang dan bervariasi temanya.
Munasabah antara Ayat dan Surat
Dalam asbab an-nuzul perhatiannya berkaitan hubungan antara ayat dengan realitas konteks sejarah. Maka ilu munasabah fokus perhatiannya pada hububgan antara ayat dengan dengan ayat ataupun surat yang berbentuk urutan teks, atau urutan bacaan. Para ulama berusaha memisahkan antara munasabah dan Asbab an-nuzul, sebab masing-masing dari kedua ilmu tersebut memandang teks dari sudut pandang yang tertentu. Ilmu asbaban-nuzul memandang teks dari segi acuannya dan keterkaitannya dengan peristiwa-peristiwa, sementara ilmu munasabah dari segi keterkaitan kebahasaan, stilistika, rasionalitas, dan konsep. Ilmu ini mengkaji hubungan teks dengan intern teks, sedangkan asbab an-nuzul mengkaji hubungan teks dengan realitas, di luar teks.
Ambiguitas dan Distingsi
Ambigitas (mutasyabih) dan Distngsi (muhkam) merupakan kajian terpenting dalam kajian teks, karena digunakan untuk mengetahui teks-teks yang informatif murni dengan teks sastra. Terdapat empat pola struktur bahasa: pertama, Nash, yaitu penanda yang menunjuk pada makna tanpa mengandung makna yang lain. Kedua, Zhahir, yaitu penanda yang menunjukkan dua makna. Ketiga, Ta’wil, yaitu penanda yang menunjukkan dua makna, makna yang diunggulkan adalah makna tidak zhahir. Keempat, Ghumudh ”ambiguitas” (mujmal), yaitu mengandung dua makna hakiki ataupun metaforis, makna yang dimaksudkan sulit dipastikan.
Berikut empat klasifikasi empat poros tersebut:
Distingsi Ambigu
Zhahir lebih dekat dengan nash karena makna yang diunggulkan adalah makna yang dekat, sementara muawwal lebih dekat dengan mujmal karena makna yang dipilih adalah makna yang jauh. Dibawah dua kutub “distingsi” dan “ambigu” masing-masing diisi oleh nash dan mujmal. Diantara keduanya terdapat wilayah bagi zhahir dan muawwal. Di dalam klasifikasi empat poros ini, muhkam terletak di wilayah tengah-tengah antara nash dan zhahir, sementara mutasyabih terdapat diantara muawwal dan mujmal.
‘Amm dan Khashsh
Yang menjadi perbincangan dikalangan para ulama adalah seputar makna teks, apakah yang dijadikan sebagai pertimbangan, ke-‘umuman ataukah ke-khusushan sebab. Masalah ini menyangkut ayat-ayat hukum dan bersifat fiqhiyyah.
Menarik makna teks dari “sebab khusus” ke taraf keumuman lafaz harus didasarkan pada tanda-tanda dalam teks itu sendiri yang membolehkan penarikan dan peralihan tersebut.
Mekanisme keumuman:
- Kata kullu, apakah menjad permulaan kalimat ataupun muncul sebagai keterangan.
- semua kata penghubung, asma’ mausul
- Kata ayy, ma, dan man (mana/apa/siapa), baik sebagai kata syara,kata tanya, maupun sebagai kata penghubung.
- kata jama’ yang di-ma’rifah-kan, baik dengan memakai partikel alief-lam (al...) ataupun dengan khusus idhafah.
- Kata benda katagorian (isem jins) yang dimakrifatkan baik dengan kasus idhafah maupun dengan partikel alif –lam.
- kata benda tak tentu, dalam konteks larangan, negasi, dan syarat dan dalam konteks pemberian anugrah.
Mekanisme Kekhususan:
- Kata dengan format umum, namun maknanya tidak mencakupsemua bagian yang ditunjukkan kata tesebut, tetapi maknanya khusus. Makna khusus seperti ini dapat dipahami dari konteks struktur teks (‘amm, namun maksudnya khusus).
- Kata yang menurut bentuk dan maknanya ‘amm, tetapi hukum (pesan) yang ada dalam teks tidak dapat diterapkan pada acuannya (kata tersebut), para ulama menyebutnya dengan ‘amm yang di-takhsish.
Disamping itu terdapat juga mekanisme-mekanisme kekushusan yang terpisah, membicarakan hubungan antar bagian teks satu sama lain dari sudut pandang keumuman dan kekukshusan, yaitu hubungan yang disebut oleh ulama fiqh dengan mutlaq dan muqaiyyad. Jika ada teks yang mutlak , ada teks lain yang membatasi kemutlakan teks tersebut.
Tafsir dan Takwil
Istilah tafsir pada dasarnya adalah sama dengan takwil, tetapi sebelumnya kata-kata takwil lebih bersifat negatif bagi kelompok tertentu. Dalam istilah resmi takwil adalah tafsir. Kelompok-kelompok tertentu yang merasa takwilnyalah yang benar, dan mencela takwil semacam tafsir bira’yi.
Tafsir adalah ilmu yang terkait khusus dengan aspek-aspek umum eksternal dari teks, seperti pengetahuan tentang asbab an-nuzul, cerita, makki dan madani, nasikh dan mansukh. Sedangkan takwil adalah mengalihkan ayat ke makna yang dimungkinkannya.
Perubahan Konsep dan Fungsi Teks
Wahyu diturunkan kepada manusia untuk menjadi pedoman hidup, merekontruksi realitas demi mewujudkan kemaslahatan manusia dan memenuhi kebutuhan materi dan rohaninya. Namun yang terjadi adlah adanya usaha dari perspektif sufi untuk merangkul yang mutlak dan melebur dengan-Nya. Teks hanya menjadi alat untuk merealisai tujuan tersebut.
Akibatnya muncul berbagai aliran tasauf, terutama dari kelompok teologi Asyi’ari yang berbaur penuh dengan orientasi sufisme Al-Ghazali. Titik tolak sufisme adalah eksistensi manusia dimuka bumihanya dalam rangka mewujudkan keuntungan dan keselamatan di akhirat.untuk mencapai tujuan tersebut Al-Ghazali memandang bahwa realisasi tujuan tersebut hanya dimungkinkan melalui sikap asketisme, menyerahkan diri kepada Allah semata dan tidak menerima selainnya.
Dibagian ketiga buku ini Nasr Hamid Abu Zaid selain membeberkan penyelewengan-penyelewengan konsep dan fungsi teks, beliau lebih banyak membahas sekitar konsep Al-Ghazali tentang pembagian dan letak ilmu dibawah ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Referensi
Manna’ Al-Qatthan, Mabahis fi Ulumil Qur’an; Terjemahan, Jakarta: Litera Antar Nusa, 2000.
Machasin, Al-Qadi Abd Al-Jabar:Mutsyabih Al-Qur’an, Rasionalitas Al-Qur’an, Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar