BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Data memperlihatkan bahwa layanan pendidikan Peserta didik di Indonesia masih termasuk sangat memprihatinkan. Sampai dengan tahun 2001 (Jalal, 2003: 20) jumlah Buta Huruf 14 - 46 tahun di Indonesia yang telah mendapatkan layanan pendidikan baru sekitar 28% (7.347.240 orang). Khusus Peserta didik usia 14 - 46 tahun, masih terdapat sekitar 10,2 juta (83,8%) yang belum mendapatkan layanan pendidikan. Masih banyaknya jumlah Peserta didik yang belum mendapatkan layanan pendidikan tersebut disebabkan terbatasnya jumlah lembaga yang memberikan layanan pendidikan bagi Peserta didik KF.
Layanan pendidikan kepada Peserta didik KF merupakan dasar yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan Peserta didik selanjutnya hingga tuntas. Hal ini diperkuat oleh Hurlock (1991: 27) bahwa tahun-tahun awal kehidupan Peserta didik merupakan dasar yang cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap dan perilaku Peserta didik sepanjang hidupnya.
Kreativitas merupakan salah satu potensi yang dimiliki anak yang perlu dikembangkan sejak usia dini. Setiap Peserta didik memiliki bakat kreatif dan ditinjau dari segi pendidikan, bakat kreatif dapat dikembangkan dan karena itu perlu dipupuk sejak dini. Bila bakat kreatif anak tidak dipupuk maka bakat tersebut tidak akan berkembang, bahkan menjadi bakat yang terpendam yang tidak dapat diwujudkan.
Melalui proses pembelajaran dengan kegiatan yang menyenangkan bagi Peserta didik yaitu melalui bermain, diharapkan dapat merangsang dan memupuk kreativitas peserta didik sesuai dengan potensi yang dimilikinya untuk pengembangan diri sejak usia dini. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Mulyasa (2005: 164) bahwa: “Proses pembelajaran pada hakekatnya untuk mengembangkan aktivitas dan kreativitas peserta didik, melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar”.
Dalam proses pembelajaran di kelompok bermain, sampai degan pemberantasan Buta Huruf melalu Keaksaraan Fungsional adalah proses pembelajaran bermain merupakan mengajar buta Huruf dan Buta Aksara. Diungkapkan oleh Munandar (2004: 94) bahwa penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara sikap bermain dan kreativitas. Namun, jelas Froebel (Patmonodewo, 2003: 7), bermain tanpa bimbingan dan arahan serta perencanaan lingkungan di mana anak belajar akan membawa Peserta didik pada cara belajar yang salah atau proses belajar tidak akan terjadi. Ia mengisyaratkan bahwa dalam proses pembelajaran, pendidik bertanggung jawab dalam membimbing dan mengarahkan anak agar menjadi kreatif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses pembelajaran untuk mengembangkan kreativitas Peserta didik KF pada Kelompok dan Program yang sudah ada ?
2. Bagaimana bentuk kreativitas Peserta didik KF yang dikembangkan dalam Kelompok nya masing-masing?
3. Apakah faktor pendukung dan penghambat kreativitas Peserta didik KF pada Kelompok dan Progaran yang sudah terbentuk?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian
Buta huruf secara sederhana biasa diartikan sebagai ketidak mampuan seseorang untuk mengenal huruf latin (membaca) dan angka (menghitung). Buta huruf selalu diasosiasikan dengan keterbelakangan, kebodohan, kemiskinan, dan simbol-simbol ketakberdayaan lainnya, bahkan angka buta huruf menjadi salah satu indikator dalam mengukur Human Development Index (HDI) suatu negara. Oleh karena itu, fenomena buta huruf ini menjadi salah satu isu utama dalam hal peningkatan kualitas sumber daya manusia. Bahkan salah satu butir pokok Kesepakatatan Dakar (The Dakar Framework for Action) yang sudah menjadi kesepakatan dunia dalam hal pengembangan sumber daya masnusi adalah “Mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan berkelanjutan bagi semua orang dewasa”
Data Biro Asia Pasifik Selatan untuk Pendidikan Orang Dewasa (South Pacific Bureau for Adult Education/ASPBAE), di seluruh dunia, penyandang buta huruf masih pada kisaran angka 1 milyar lebih, yang tersebar di berbagai negara berkembang terutama di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan. Di Indonesia sendiri, sampai tahun 2004 data BPS menunjukan bahwa jumlah masyarakat yang masuk kategori buta huruf usia 15 tahun ke atas masih sekitar 15,4 juta orang lebih, dimana 81,26% tersebar di 9 provinsi yaitu : Jatim (29,32%), Jateng (21,39%), Jabar (10,66%), Sulsel (6,07%), NTB (4,29%), NTT (2,51%), Papua (2,49%), Banten (2,41%), dan Kalbar (2,13%).
Masih tingginya angka buta huruf ini tentunya merupakan sesuatu yang memiriskan, padahal kegiatan ini sudah dimulai sejak awal kemerdekaan dengan berbagai model pendekatan, tahun 1995 diuji cobakan model Keaksaraan Funsional yang digunakan sampai saat ini. Pemberantasan buta huruf ini didukung oleh ketersediaan ketenagaan pendidikan non formal yang bisa sebagai agen percepatan penuntasan pemberantasan buta huruf meliputi : Pamong belajar (3.432), Penilik (6.651), Tutor KF (14.256), FDI (5.412), dan TLD (5.048) yang tersebar di seluruh Indonesia (data Dittentis, 2004).
Sebagai bentuk keprihatinan akan masih tingginya angka buta huruf, pada tahun 2008 pemerintah mencanangkan program Pemberantasan Buta Aksara Intensif dengan berusaha melibatkan sebanyak mungkin komponen bangsa. Targetnya adalah sebagaimana yang tercantum dalam rencana strategis Depdiknas yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yaitu menurunkan angka buta huruf usia 15 tahun ke atas hingga 5% pada tahun 2009. Untuk menunjang pencapaian tersebut, tahun 2008 pemerintah menyiapkan dana Samapai tak terhitung lagi dalam triliun rupiah.
B.Buta Huruf, Kemiskinan, dan Isu Keadilan
Dengan dukungan dana yang relatif besar, pertanyaannya kemudian adalah “Apakah kegiatan pemberantasan buta huruf itu akan berdampak secara signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat?” Hal ini patut menjadi renungan, karena secara anatomi penyandang buta huruf kurang lebih sama dan sebangun dengan masyarakat miskin itu sendiri. “Apakah ia merupakan akar persoalan atau hanya dampak dari sebuah kebijakan?”
Pertanyaan ini penting diajukan agar kita tidak terjebak pada pendekatan yang bersifat parsial dan memakai indikator kuantitatif dalam menilai keberhasilan program pemberantasan buta huruf, seolah-olah persoalan buta huruf adalah persoalan yang berdiri sendiri, terpisah dari persoalan-persoalan lainnya yang dihadapi oleh masyarakat, sehingga pendekatan yang dilakukan sangat teknis (memberi kemampuan calistungdasi) dan sektoral (hanya melibatkan instansi teknis Departemen Pendidikan Nasional). Dengan model ini, tidak mampu secara tuntas menyelesaikan persoalan yang ada, karena yang ditangani hanyalah dampak, bukan akar persoalan.
“Lalu apa sebenarnya yang menjadi akar persoalan masih tingginya angka buta huruf? Pertanyaan ini harus dikemukakan dan dikaji sebagai entry point penuntasan permasalahan yang ada. Secara tipologi, masyarakat buta huruf adalah masyarakat yang memiliki keterbatasan. Keterbatasan yang dimaksud sangat jelas pada aspek ekonomi, sosial, asset, akses, politik, budaya, dll, tetapi bukan berarti mereka adalah kumpulan masyarakat yang tak memiliki potensi sama sekali. Kalau kita mau menganalis secara jernih, akar persoalan sebenarnya adalah masih terpeliharanya prilaku ketidak adilan, baik itu ketidak adilan yang diperlihatkan oleh negara (pemerintah), maupun secara horisontal yang diperankan oleh masyarkat itu sendiri.
Ketidak adilan yang secara nyata diperlihatkan oleh negara sebagai salah satu bentuk represifitas adalah lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak memberikan ruang gerak terhadap masyarakat miskin untuk menyelenggarakan hidupnya secara layak dan manusiawi yang dijamin oleh UU. Beberapa contoh nyata adalah : Kebijakan kenaikan BBM, kebijakan penggusuran pedagang kaki lima dan pemukiman, kapitalisasi pendidikan, yang kesemuanya itu sangat berpotensi untuk memiskinkan masyarakat yang akan berdampak pada tingginya angka anak tak bersekolah dan anak putus sekolah.
Data susenas tahun 2007 menunjukan bahwa faktor ekonomi (tidak ada biaya atau bekerja mencari nafkah) menjadi alasan paling utama seseorang tidak bersekolah, putus sekolah, dan atau tidak melanjutkan sekolah. Hal ini sangat terkait dengan tidak terbukanya akses secara merata dan berkeadilan bagi masyarakat untuk memperoleh penghidupan yang layak yang nota bene dijamin oleh undang-undang, yang kemudian juga diikuti oleh tidak memadainya perlindungan/jaminan negara terhadap masyarakat miskin untuk menyelenggarakan hidupnya secara layak, termasuk memperoleh pendidikan yang layak. Oleh karena itu perlu sebuah komitmen kuat dalam bentuk kebijakan radikal dan berkeadilan yang memihak, yang tidak hanya menempatkan kemiskinan dan buta huruf menjadi isu untuk menaikan mata anggaran, tetapi menjadikan gerakan memberantasan buta huruf intensif sebagai sebuah gerakan yang bermakna pembebasan, penumbuhan kapital sosial, dan penghargaan terhadap kemanusiaan.
Berapapun besarnya dana yang dikucurkan, gerakan pemberantasan buta huruf ini tidak akan berhasil memutus mata rantai permasalahan buta huruf kalau isu ketidakadilan ini tidak diselesaikan terlebih dahulu. Menurunnya angka buta huruf adalah merupakan kebutuhan negara, tetapi persoalan keadilan yang mewujud pada aspek ketersediaan lapangan pekerjaan, terjaminnya rasa aman masyarakat untuk bekerja pada sektor-sektor informal, tersedianya sarana-sarana publik seperti kesehatan dan pendidikan yang murah dan mudah diakses, perumahan yang layak, serta ketersediaan kebutuhan pokok adalah kebutuhan paling vital masyarakat. Sebagai illustrasi, seseorang akan lebih memilih untuk mencari nafkah daripada sekedar berkumpul untuk belajar mengenal huruf latin maupun angka, atau orang tua akan lebih memilih membeli beras, ikan, garam, gula, dan minyak tanah ketimbang membeli kebutuhan sekolah untuk anak-anaknya. Artinya prioritas penuntasan buta huruf tidak boleh terpisah dan menjadi sub ordinat dari persoalan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat miskin atau penanggulangan kemiskinan.
Mengintegrasikan kegiatan pemberantasan buta huruf dengan kegiatan penumbuhan produktifitas ekonomi masyarakat sebenarnya sudah dilakukan, tapi kelemahannya adalah : Masih sangat tidak proporsional, artinya bahwa kemampuan calistungdasi (membaca, menulis, berhitung, dan berdiskusi) masih sangat dominan daripada porsi penumbuhan kecakapan personal, kecakapan sosial, maupun kecakapan vokasional; dan sifatnya pun masih sangat sektoral, seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab Dinas Pendidikan Nasional.
C.Paradigma Pendidikan Kritis
Gerakan Pemberantasan Buta Huruf harus dilihat sebagai sebuah upaya transpormasi sosial secara kolektif (tidak hanya terfokus pada penyandang buta huruf, tapi masyarakat secara keseluruhan), jadi harus dipandang sebagai sebuah proses belajar atau pendidikan untuk membangun kesadaran masyarakat. Untuk sampai ke hal tersebut, akan sangat tergantung pada paradigma apa yang dijadikan sebagai titik tolak. Giroug and Aronowitz membagi paradigma pendidikan ke dalam tiga kelompok yaitu : Paradigma konservatif yang melihat bahwa struktur sosial yang ada merupakan takdir Tuhan, manusia tidak bisa mempengaruhi dan memperjuangkan perobahan sosial; Paradigma liberal, yang memberikan pengakuan terhadap adanya masalah dalam masyarakat, tapi pendidikan tidak ada hubungannya dengan persoalan ekonomi, politik, dan sosial. Paradigma kritis, yang lebih mengedepankan pada refleksi kritis terhadap ideologi dominan kearah transpormasi sosial, membangun kesadaran kritis terhadap struktur sosial, yang pada intinya adalah untuk memanusiakan manusia yang telah mengalami dehumanisasi sebagai akibat dari sistem dan struktur yang tidak adil.
“Pendidikan termasuk kegiatan pemberantasan buta huruf haruslah menjadikan Pembebasan manusia sebagai tujuan dan Penyadaran sebagai inti proses, tidak untuk menciptakan dominasi dan ketergantung” Ungkapan Paulo Freire ini patut menjadi renungan, karena tanpa kemerdekaan dan kesadaran kritis, kita tidak akan pernah sampai pada sebuah realitas diri manusia yang mampu merubah secara sadar kondisi hidup dan lingkungannya. Ini merupakan jawaban “mengapa kegiatan pemberantasan buta huruf hanya melestarikan sebuah lingkaran, tidak memutus lingkaran buta huruf dan kemiskinan itu sendiri” Jadi melek aksara, literasi (kemampuan membaca), berhitung, dan mengemukakan pendapat hanyalah sebuah entry point yang harus benar-benar fungsional, yang menjadi pondasi awal untuk mengajak masyarakat menganalisa secara sadar kondisi sosial yang berlangsung dilingkungannya, serta membicarakan persoalan-persoalan tematik dan mencarikan solusianya, seperti : Mengapa mereka miskin, Mengapa pemukiman mereka kumuh, Apa itu keadilan, politik, dan lain-lain sebagainya
Menjadikan gerakan pemberantasan buta huruf sebagai sebuah gerakan pembebasan akan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satu diantaranya adalah “peran tutor”. Di lapangan, justru ini juga menjadi salah satu titik lemah, dimana sebahagian besar tutor tidak memiliki kemampuan yang memadai dalam memahami paradigma pendidikan dan analisa sosial sehingga hanya dapat berperan meningkatkan kemampuan calistungdasi warga belajar. Padahal tutor juga harus bisa memerankan dirinya sebagai fasilitator dan agen perubahan dimasyarakat. Ini berdampak pada kurangnya kreatifitas dan inofasi tutor KF dalam mengembangkan pendidikan orang dewasa sebagai pendekatan proses yang digunakan. Hal ini sangat mungkin disebabkan oleh lemahnya desain pelatihan yang dikembangkan untuk meningktakan kompetensi tutor KF. Institusi seperti BPPLSP, BPKP, dan SKB sebagai stakeholder dalam bidang pendidikan non formal, sudah seharusnya melakukan kajian dan pengembangan kurikulum yang berbasis kebutuhan masyarakat, sebagai jawaban atas masih rendahnya kualitas SDM Tutor KF, sekaligus sebagai upaya untuk membentuk Tutor KF yang militan yang bisa menjadi mitra belajar masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
1. Pengembangan kreativitas Peserta didik berlangsung dalam suasana bermain sambil belajar dan tidak dilihat secara terpisah dari mata pelajaran lainnya akan tetapi meresap ke dalam sendi-sendi kegiatan di dalam kelas dan setiap saat. Tutor menggunakan metode pemberian tugas, demonstrasi, bercerita, karya wisata, pembiasaan, bernyanyi, latihan, dan bercakap-cakap dgn kegiatan seperti menjahit, menggambar, dan lain-lainnya menunjang pengembangan kreativitas Peserta didik. Tutor melakukan evaluasi selama proses pembelajaran berlangsung secara berkesinambungan dan menyeluruh dengan menggunakan teknik pengamatan dan portofolio sehingga Peserta didik bebas dari tekanan bahwa ia sedang diawasi, hal mana akan berdampak pada kreativitas Peserta didik.
2. Kreativitas Peserta didik yang dikembangkan mencakup aspek kognitif atau kemampuan berpikir kreatif/divergen maupun aspek afektif atau sikap kreatif. Pada dasarnya Peserta didik memperlihatkan ciri kreativitas tertentu meskipun ciri yang diperlihatkan tidak selalu sama dan berada pada tingkat yang berbeda pula.
3. Faktor pendukung dan penghambat kreativitas Peserta didik dapat bersumber dari sikap dan strategi mengajar tutor, sarana pembelajaran, pengaturan ruang/fisik, teman, maupun Lembaga.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulhak, I. (2000). Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa. Bandung: Andira.
Adhipura, A. A. N. (2001). Pengembangan Model Layanan Bimbingan Berbasis Nilai Budaya Lokal untuk Meningkatkan Kreativitas Anak. Tesis Magister pada PPS UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Direktorat Tenaga Teknis. (2003). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia 0 – 6 Tahun. Jakarta: Ditjen PLSP – Depdiknas.
Hawadi, R. A. (2001). Psikologi Perkembangan Anak. Mengenal Sifat, Bakat, dan Kemampuan Anak. Jakarta: PT Grasindo.
Hurlock, E.B. (1991). Perkembangan Peseta didik Keaksaran Fungsional. Jakarta: Erlangga.
Jalal, F. (2002). “Meningkatkan Kesadaran Masyarakat Akan Pentingnya Keaksaraan Fngsional”.
Kata Pengantar
Assalamualaikum Waromatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah, segala Puji bagi Allah dan yang Maha segala-galanya.
Artinya : “Dan di antara mereka ada orang yang berdo'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" .( Al-Baqarah – 201 )
Demikian Ayat Allah dalam Al Qur,an dan semoga kita dijadikan orang yang senantiasa berdoa kepada Allah, Amin.
Penulis merasa bersyukur dapat menyelesaikan tugas Karya Tulis dengan judul “TELAAH KRITIS GERAKAN PEMBERANTASAN BUTA HURUF “
tepat pada waktunya , mudah-mudahan penyusunan Karya tulis ini akan bermamfaat terhadap Penulis dan semua yang Membacanya. Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kepala BP-PLS Muara Bulian yang telah meberikan motivasi dan dorongan hingga terselesaikanya Karya Tulisi ini.
2. Semua pihak-pihak yang berkaitan dengan penulisan Karya Tulis ini
Mudaha-mudahan Allah SWT dapat memberikan balasan Pahala yang setimpal pada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan Karya Tulis ini,demikianlah yang dapat penulis sampaikan mudah-midahan kita semua memjadi Ahli Surga dan bukan menjadi Penghuni Neraka . Amin.
Jambi 10 Juli 2008
Hajjah Endriani S.Pd
Daftar isi
Halaman
Kata Pengantar……………………………………………..
i
Bab I PENDAHULUAN…………………………………..
1
a.Latar Belakang……………………………………………
1
b.Rumusan Masalah……………………………………….
3
Bab II PEMBAHASAN ……,……………………………..
4
a.Pengertian…………………….………………………….
4
b.Buta Huruf,Kemiskinan dan Isu Keadilan…….…..…….
6
c.Pradigma Pendidikan Kritis..……………………………
9
Bab III PENUTUP…………………………………………
12
a. Kesimpulan………………………………………………
12
Daftar Pustaka………………………..…………………….
13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar