Selasa, 19 Mei 2009

Persatuan dan Solidaritas Islam dalam Nahjul Balaghah

Imam Ghozali
Prolog

Lembaran sejarah Islam menunjukkan bahwa tiada satu faktor pun melebihi persatuan dan solidaritas yang dapat memformat kekuatan dan kemajuan bangsa; dari sisi lain perselisihan dan perpecahan adalah faktor terbesar yang senantiasa mencegah turunnya kebaikan dan rahmat Ilahi; sebagaimana yang disabdakan oleh Imam Ali as: “Sesungguhnya Allah swt tidak pernah memberikan kebaikan kepada (sebuah bangsa) yang terdahulu dan akan datang dengan (adanya) perpecahan”. Dari sinilah artikel ini berusaha mengkaji tema persatuan Islam dari sisi teoritis dan praktis; yang mana pada permulaan membahas urgensitas solidaritas Islam menurut akal dan dengan menyebutkan sebuah contoh komprehensif menunjukkan bahwa persatuan, disamping sebuah kewajiban dan keharusan tekstual juga sebuah rinsip dan urgensitas rasional. Keuntungan-keuntungan persatuan adalah bagian penting lain yang dijelaskan oleh Imam Ali as melalui pendekatan akal, teks dan pengalaman. Selanjutnya, tulisan ini menyinggung tantangan dan halangan yang menghadang persatuan religius yang diringkas dalam dua bagian halangan-halangan eksternal dan internal dengan menjelaskan contoh satu persatu.
Persatuan dan solidaritas; urgensitas rasional
Melihat sekilas kepada persatuan dan solidaritas masyarakat dan sistem-sistem yang tidak meyakini kausa prima dan hari akhir dan membatasi seluruh eksistensi hanya terbatas pada alam materi, akan membawa kita kepada sebuah hakekat bahwa permasalahan solidaritas dan persatuan pada tingkat pertama adalah sebuah kebutuhan alamiah dan keharusan rasional yang akan menjamin kepentingan-kepentingan umum dan masyarakat; artinya permasalahan persatuan bukan hanya sebuah kewajiban tekstual dan syareat bagi pemeluk agama, akan tetapi juga sebuah urgensitas rasional bagi semua orang; dengan kata lain, kondisi-kondisi tertentu menuntut dua kaum yang bahkan saling bermusuhan untuk bersatu dalam menghadapi sebuah bahaya dan ancaman yang mengarah kepada mereka. Rasio menyebut aksi ini sebagai penjagaan eksistensi dalam berhadapan dengan sebuah ancaman yang satu.
Sebagai contoh kita lihat dua kaum yang sejak lama saling bermusuhan dan tidak memiliki titik temu dalam satu prinsip pun. Apabila sebuah banjir besar mengancam wilayah mereka dan memerlukan untuk membangun sebuah bendungan kokoh yang sebagian bahannya berada di tangan satu kaum dan bahan lain di tangan kaum lainnya dan membutuhkan tenaga insani dari kedua kaum tersebut, apakah urgensitas rasional tidak mengharuskan kedua kaum ini mengumpulkan bahan-bahan dan tenaga insani dan mulai membuat bendungan?!
Pada dasarnya menjaga eksistensi yang di dalam kehidupan manusia mengarah kepada format dan relasi kolektif, terkadang untuk mengusir ancaman dari kehidupan, mempersatukan dua atau beberapa orang yang adil dan memiliki keutamaan, dan juga orang-orang jahat yang apabila bahaya tidak mengancam maka mereka akan saling memangsa; seperti kerjasama singa dengan kijang dan kucing dengan tikus untuk mengusir musuh; sebagaimana juga untuk memperoleh keuntungan, bisa saja terjadi berjuta-juta orang dengan berbagai keinginan dan target yang berbeda bahkan bertentangan saling bekerjasama.[2]
Dalam sirah (sejarah kehidupan) Nabi Muhammad saw dapat disaksikan bahwa beliau saw mengadakan perjanjian difensif dan keamanan bersama dengan tujuan menjaga keuntungan-keuntungan dan norma-norma bersama dengan kaum Yahudi yang tinggal di Madinah (kabilah-kabilah Bani Nadhir, Bani Quraidhah, Bani Qainuqa’ dan kelompok-kelompok lain Yahudi) sehingga wilayah Islam lebih banyak terjaga dari ancaman-ancaman luar dan kemungkinan bahaya lain dari pada sebelumnya.
Dalam surat perjanjian ini –yang dapat dianggap sebagai sebuah langkah politik rasional untuk memformat umat yang satu dari para pemeluk agama-agama- terlihat beberapa butir yang menarik dan layak untuk diperhatikan. Di antara isinya dapat kita saksikan butir-butir sebagai berikut:
1- Mempertahankan Madinah bersama-sama oleh kaum Yahudi dan kaum Muslimin;
2- Partisipasi kedua belah pihak dalam biaya-biaya peperangan yang mungkin terjadi;
3- Kesatuan kaum Muslimin dan kaum Yahudi;
4- Dilarang menzalimi hak pihak yang menerima perjanjian dan keharusan membantu pihak yang teraniaya;
5- Berlaku baik kepada pihak-pihak yang bersangkutan;
6- Larangan kerjasama pihak Yahudi dengan musuh-musuh Nabi saw melalui penyerahan senjata dan kendaraan…[3]
Poin penting dan layak untuk diperhatikan dalam surat perjanjian ini adalah bahwa Nabi Muhammad saw membuat perjanjian persatuan dan persahabatan dengan kaum Yahudi yang tidak memiliki titik persamaan dari sisi kitab, nabi dan fikih dengan kita, bahkan titik perbedaan mereka dengan kaum Muslimin sangat banyak; akan tetapi dengan demikian perjanjian ini disepakati; dari sini tidak lagi ada keraguan bahwa tuntutan Nabi saw pertama kali dari dunia Islam sekarang adalah realisasi prisma persatuan Islami dan kerukunan di atas berbagai prinsip dan dasar yang dimiliki oleh aliran-aliran Islam sebagai nikmat; bahkan dapat dikatakan: Berdasarkan sirah Nabi saw kaum Muslimin, disamping persatuan di antara mereka sendiri juga harus menjalin kesepakatan persahabatan dan persatuan dengan agama-agama tauhidi lain sehingga dapat menjaga nilai-nilai kultural dan keuntungan-keuntungan ekonomi mereka di hadapan musuh-musuh agama dan keadilan; dengan kata lain, kita harus berusaha keras dalam dua medan persatuan: pertama di antara kaum Muslimin yang berjumlah lebih dari satu miliar jiwa sebagai umat Islam dalam satu barisan dan yang kedua setelah memperoleh persatuan Islami, kita harus melangkah lebih jauh, untuk menjamin persatuan kaum muwahhid dunia sehingga seluruh kaum Muslimin bersatu dengan seluruh orang yang memiliki kitab samawi agar dapat melawan kaum mulhid internasional; karena keyakinan ketiadaan Tuhan, pengingkaran alam supranatural, pembatasan keberadaan pada materi, pengingkaran wahyu, risalah, kiamat, hari kebangkitan, kenabian, mukjizat dan seluruh hal-hal ghaib membawa dampak pahit dan tragedi mengenaskan yang tidak dapat dihindari; oleh karena itu Allah swt disamping menyeru kaum Muslimin juga para muwahhid seluruh dunia untuk bersatu: “Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun…””[4] [5]
Keuntungan-keuntungan persatuan Islami
Di dalam khutbah Qashi’ah (khutbah 234 Nahjul Balaghah), Imam Ali as menjelaskan keuntungan-keuntungan persatuan Islam dan kerugian-kerugian perpecahan dan perselisihan secara komprehensif. Karena esensi dan susunan khutbah ini berdasarkan celaan terhadap kesombongan dan egois dan ajakan untuk bertawadlu’, maka kesombongan, fanatik dan egois dapat dianggap salah satu faktor urgen dalam perpecahan dan perselisihan.
Dengan mengajak orang lain untuk memikirkan dan merenungkan keadaan-keadaan dan kondisi-kondisi umat-umat terdahulu, Imam Ali as menginginkan dari mereka untuk memikirkan dengan baik faktor-faktor pencipta kebaikan dan keburukan orang-orang terdahulu. Dalam lanjutan khutbah, beliau as menyebutkan sebagian sebab dan akibat hal tersebut:
“Apabila kalian memikirkan kondisi-kondisi orang-orang terdahulu, maka berpegang teguhlah kalian kepada hal-hal yang menjadi sebab kemuliaan mereka, bagaimana mengalahkan musuh-musuh, menyambut afiat dan kenikmatan, menggandeng kemuliaan dan kehormatan; di antara sebab-sebab keberhasilan ini adalah menjauhi perpecahan dan perselisihan dan berpegang teguh kepada kasih sayang, persatuan, motifasi dan saling memesankan akan hal tersebut”.[6]
Dalam lanjutan khutbah, Imam Ali as memperingatkan bahaya perpecahan:
“Jauhilah segala hal yang dapat meretakkan tulang punggung masyarakat dan melemahkan potensi dan kekuatannya; di antaranya adalah dendam dan permusuhan hati serta ketiadaan saling mendukung dan menolong di antara sesama”.[7]
Dengan kata lain, Imam Ali as ingin menegaskan: Jauhilah perpecahan dan dendam yang dapat mengguncang landasan dan dasar setiap umat.
Selanjutnya Imam Ali as membahas perbandingan dua periode kehinaan dan kemuliaan kaum-kaum terdahulu, menggambarkan sebagian alamat-alamatnya dan mengingatkan kembali urgensitas dan kepentingan hal tersebut.
Sebagian dari pesan-pesan dan poin-poin penting khutbah di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1- Keistimewaan suatu umat yang ideal dan teladan adalah berkumpul dalam titik-titik temu atau persamaan, membentuk sebuah kerukunan dalam keputusan dan sehati atau sejalan dari segi intern.
2- Keistimewaan lain suatu umat yang berwibawa adalah kekuatan, kemampuan dan potensi defensif dan militer digunakan untuk saling membantu sesama, bukan untuk saling berhadapan; pada hakekatnya untuk menjaga eksistensi pemerintahan-pemerintahan Islami sangat membutuhkan untuk mengumpulkan kemampuan dan potensinya sehingga dapat membutakan mata tamak negara-negara penindas dan musuh-musuh Islam.
3- Berpandangan dalam dan perpikiran ke depan adalah salah satu faktor keberhasilan sebuah masyarakat insani yang satu. Fungsi urgen faktor dasar ini mencegah kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab Islam untuk tidak berpikiran polos, berpandangan dangkal, fanatik dan kaku.
4- Mungkin saja persatuan dan solidaritas tidak dapat terwujud dalam hal-hal parsial (sebagaimana dapat disaksikan dalam kelompok-kelompok intern Syi’ah dan Ahlu Sunnah), akan tetapi hal urgen ini harus dapat direalisasikan dalam hal-hal universal dan keputusan-keputusan umum yang diekspresikan oleh Imam Ali as dengan “al-‘azaaim waahidah” (tekad-tekad yang satu).
5- Apabila setiap umat dapat mewujudkan hal-hal di atas dengan menyingkirkan perbedaan-perbedaan dan berkumpul dalam titik temu (hal-hal yang sama), maka otomatis akan dapat menduniakan kultur dan powernya; dan apabila umat ini mengikuti kultur al-Qur’an, maka pada akhirnya hukum-hukum, akidah-akidah dan akhlak Qur’ani akan menguasai seluruh dunia; tidak seperti saat ini ketika mayoritas penduduk dunia berada dalam cengkeraman kesyirikan, kekafiran dan penyembahan berhala dan sebagian dunia Islam tertawan oleh kehinaan dan kerendahan.
6- Dari sisi lain, apabila suatu umat mengalami perpecahan, perselisihan dan pertikaian antar kelompok dan mazhab, maka Allah swt akan membuka pakaian kemuliaan dari mereka dan akan mengambil berbagai kenikmatan yang telah diberikan kepada mereka.
Ibnu Maitsam di akhir bagian khutbah Alawi ini menyatakan: “Mereka adalah orang-orang (umat-umat) yang Imam Ali perintahkan untuk mengambil pelajaran dari keadaan-keadaan mereka, bukan umat tertentu, bahkan mencakup setiap umat; karena apabila setiap umat bergandengan tangan dan saling membantu satu sama lain, maka hal ini akan menjadi sebab kemuliaan keadaan mereka dan dapat mengusir musuh-musuh dan setiap kaum yang mengalami perpecahan maka akan berakhir dengan kehinaan dan hegemoni musuh-musuh.”[8]
Ibnu Maitsam meyakini ucapan-ucapan Imam Ali as tersebut sebagai tidak terbatas kepada suatu kaum tertentu, akan tetapi mengatakan permasalahan ini dapat terjadi pada setiap waktu dalam sejarah untuk setiap umat.
Ketika Umar bin Khattab ingin bermusyawarah dan meminta petunjuk dari Imam Ali as mengenai permasalahan-permasalahan militer dan keamanan, Imam Ali as di tengah wasiat-wasiat beliau as kepada Umar mengingatkan bahwa kemuliaan dan jumlah besar kaum Muslimin berasal dari agama Islam, persatuan dan kebersamaan mereka;[9] artinya persatuan dan kebersamaan disebutkan sebagai salah satu dari dua faktor keberhasilan dan kemuliaan. Atau apa yang terdapat di dalam surat Imam Ali as kepada penduduk Mesir menyebutkan sebab-sebab partisipasi dan kerjasama Imam as dengan khulafa’ –yang menjadi penyebab persatuan dan kebersamaan umat Islam itu sendiri-, bahaya penyelewengan umat, huruhara kaum murtad dan pemberantasan agama Nabi Muhammad saw; dan dengan tegas Imam Ali as menyatakan: Apabila tidak mencegah kondisi perpecahan dan perselisihan, maka sebuah hantaman akan mengenai Islam yang tidak ada satu musibah pun lebih besar dari hal itu.[10]
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, secara global sebagian keuntungan persatuan Islami dapat disebutkan sebagai berikut:
1- Kemuliaan Islam dan negara;
2- Kewibawaan Islam dan negara dan selanjutnya kemakmuran dan power ekonomi;
3- Keamanan negara;
4- Perluasan dan penyebaran kultural di dunia;
5- Mencari keafiatan, rahmat dan nikmat Ilahi;
6- Menciptakan suasana kasih sayang, kebersamaan dan efektifitas;
7- Memperkokoh pondasi-pondasi agama;
8- Menjaga ancaman-ancaman internal dan eksternal.
Tantangan-tantangan yang menghadang
Sejak pertama kali muncul hingga sekarang dunia Islam senantiasa menghadapi tantangan-tantangan yang mencoreng persatuan dan kesatuannya. Secara global tantangan-tantangan tersebut dapat dikaji dari dua sisi: a) Tantangan-tantangan eksternal; b) Tantangan-tantangan internal:
a) Tantangan-tantangan eksternal
1- Kelompok-kelompok pengkafiran dan salafi:
Pengkafiran kaum Muslimin dan penumpahan darah mereka termasuk keistimewaan utama kelompok-kelompok ini yang muncul dari kekakuan berpikir dan fanatik jahiliah mereka; sebagai contoh Khawarij meyakini orang yang melakukan dosa besar sebagai keluar dari Islam dan boleh untuk dibunuh;[11] sehingga Imam Ali as berkata kepada mereka: “Apabila kalian berpikir bahwa aku telah berbuat salah dan sesat, maka melalui kesesatanku kenapa kalian menganggap umat Muhammad saw sesat dan berdosa dan dengan dosa-dosa mereka kalian mengkafirkan mereka?!”[12]
Tentunya pada hari ini juga terdapat kejadian-kejadian seperti penumpahan darah kaum Muslimin mereka anggap sebagai kewajiban dan saling melempar batu dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan Islami; sebagai contoh kelompok-kelompok ini meyakini bahwa barangsiapa yang meragukan kekafiran dan keateisan orang-orang Syi’ah dan bimbang dalam kewajiban atau kebolehan memerangi dan membunuh mereka adalah juga kafir seperti mereka.[13]
2- Usaha internal orang-orang yang berniat jahat dan musuh-musuh eksternal:
Musuh-musuh Islam senantiasa berusaha agar di kalangan kaum Muslimin tidak terjalin hubungan baik dan persatuan dan dengan berbagai cara menciptakan perpecahan-perpecahan masyarakat Islami; sebagai contoh Abu Sufyan Shakhr bin Harb karena tidak berbaiat kepada Khalifah pertama berkeliling di gang-gang Madinah dan berteriak: “Wahai Bani Hasyim! Janganlah kalian biarkan Taim dan ‘Adiy (Abu Bakar dan Umar) menguasai hak kalian. Khilafah adalah hak dan milik kalian, selain Abul Hasan (Imam Ali as) tidak ada seorang pun yang pantas memegang kedudukan ini.” Abu Sufyan berkata: “Kenapa khilafah berada dalam genggaman kelompok yang paling rendah dari Quraisy?” Pada saat itu ia berkata kepada Imam Ali as: “Bukalah tangan anda untuk aku baiat. Demi Allah jika anda berkehendak aku akan memenuhi Madinah dengan pasukan berkuda dan berjalan”, akan tetapi Imam Ali as tidak menunjukkan raut kegembiraan dan menjawab: “Demi Allah sesungguhnya engkau tidak menginginkan dengan ucapan tersebut selain fitnah dan demi Allah sesungguhnya engkau hanya menginginkan keburukan untuk Islam! Kami tidak membutuhkan nasehatmu”.[14]
Pada hakekatnya Imam Ali as mengetahui dengan baik rencana-rencana Abu Sufyan untuk merusak persatuan dan kebersamaan masyarakat Islami, oleh karena itu beliau as mencegah dengan tegas gerakan dan fitnah Abu Sufyan.
3-Keterbatasan pengetahuan dan kesalah pahaman:
Imam Ali as memperkenalkan salah satu siasat jahat Muawiyah adalah menyensor dan merubah berita-berita dan informasi-informasi; sehingga kondisi jahiliah dan situasi tertutup Syam menyebabkan rakyat dan sebagian kelompok menentang dan memusuhi pemerintahan Imam Ali as. Imam Ali as mengatakan sebab kesengsaraan dan kebinasaan penduduk Syam adalah karena mereka tidak mengetahui hakekat dan kenyataan dan pada akhirnya mereka menuju tempat penyembelihan dengan kaki mereka sendiri.[15]
Dengan demikian melalui penyebaran kebohongan-kebohongan dan berita-berita bermotif perpecahan, musuh bermaksud memperkeruh suasana dan agar kaum Muslimin saling berhadapan.
b) Tantangan-tantangan internal
1- Tantangan Syaitani:
Pemecah belah persatuan di antara masyarakat insani pertama dan paling gigih adalah iblis; karena ia melihat suasana perpecahan dan perselisihan sebagai sebuah mukaddimah yang membantu untuk menyesatkan umat manusia. Imam Ali as di dalam Nahjul Balaghah juga memberitakan motifasi fitnah dan perpecahan dan mengingatkan seluruh orang dari bisikan-bisikan dan rencana-rencana iblis.[16]
2- Tantangan hawa nafsu:
Kesombongan dan fanatik adalah dua hal yang berhubungan dengan hawa nafsu yang mencegah seseorang dari hakekat persatuan; oleh karena itu, untuk menciptakan kasih sayang dan ikatan persaudaraan di kalangan kaum Muslimin, menghilangkan dua sifat buruk akhlak ini menjadi sebuah keharusan; sebagaimana Nabi besar Islam saw bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menyeru kepada kefanatikan, bukan termasuk golongan kami orang yang berperang atas dasar kefanatikan dan bukan termasuk golongan kami orang yang meninggal atas dasar kefanatikan”.[17] Imam Ali as juga di dalam seluruh khutbah Qashi’ah menjelaskan dampak-dampak buruk kesombongan dan kefanatikan.
Usaha-usaha praktis merealisasikan persatuan
Konsekwensi praktis terhadap sebuah program tertulis dan peninggalan komprehensif dapat memberikan cakrawala baru di hadapan berbagai kelompok dan mazhab Islam sehingga dengan bantuannya dapat mengenal batas-batas ekstrimis dan merealisasikan persatuan dan kesatuan Islam. Sebagian keistimewaan dan keharusan tersebut adalah sebagai berikut:
1- Konsekwensi praktis faktor-faktor persatuan
Kesamaan agama di kalangan berbagai mazhab Islam yang paling urgen dan dasar adalah al-Qur’an dan pribadi Nabi besar Muhammas saw yang menciptakan banyak sekali persamaan di dalam hukum-hukum, akidah-akidah, akhlak, sejarah dan sirah.[18]
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dalam ungkapan kekecewaan terhadap perselisihan di dalam kalangan umat Islam mengingatkan al-Qur’an dan pribadi Nabi Muhammad saw sebagai obat dan pelipur lara. Beliau as berkata: “Tuhan mereka satu, nabi mereka satu, kitab mereka satu, maka apakah Allah memerintahkan mereka untuk berselisih kemudian mereka melaksanakannya atau Allah swt melarang mereka bereselisih kemudian mereka tidak mentaatinya!...”[19]
Dengan kata lain, Imam Ali as melihat keberadaan perselisihan dan perpecahan dalam umat yang tuhan, kitab dan nabi mereka satu sebagai sebuah hal yang buruk dan aneh; sebagaimana dalam surat beliau as kepada Malik Asytar, Imam Ali as menegaskan al-Qur’an dan sunnah Nabi sebagai rujukan untuk menyelesaikan perselisihan dan perpecahan dan memesankan kepadanya untuk mengembalikan segala permasalahan dan kesulitan kepada dua tonggak agung ini: “Dan kembalikanlah segala kesulitan dan kesamaran kepada Allah dan RasulNya karena Allah swt berfirman kepada suatu kaum yang ingin diberikan petunjuk: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan heri kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.[20]
“Maka mengembalikan kepada Allah adalah mengambil ayat-ayat muhkamNya dan mengembalikan kepada Rasul adalah mengambil sunnah beliau saw yang mempersatukan bukan memecah belah”.[21]
Pada tempat lain, Imam Ali as dalam menyifati pribadi agung Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa menghilangkan penyakit-penyakit hati dan pemusuhan-permusuhan, menciptakan suasana kasih sayang dan persaudaraan adalah termasuk dari berkah-berkah pengutusan Nabi saw dan berkata: “Karena beliau saw Allah swt mengubur penyakit-penyakit hati dan memadamkan api permusuhan dan mempersatukan hati dan tali persaudaraan…”[22]
Dengan demikian, menengok kembali prinsip-prinsip dan persamaan-persamaan Islam oleh pemuka-pemuka mazhab dan memberikan konsekwensi praktis kepadanya oleh seluruh mazhab, tampaknya adalah sebuah keurgenan yang harus diperhatikan dalam warisan persatuan Islam.
2- Mengenal dan menyingkirkan kelompok-kelompok pengkafiran dan salafi
Salah satu rintangan mendasar dalam produk persatuan Islam adalah keberadaan kelompok-kelompok pengkafiran yang merekomendasikan setiap tindak kriminal kepada kaum Muslimin dan meyakini penghalalan darah mereka. Pada masa pemerintahan Imam Ali as, Khawarij memiliki pemikiran semacam itu dan meyakini orang yang hanya melakukan dosa besar telah keluar dari Islam dan boleh untuk dibunuh. Imam Ali as ketika menjelaskan permasalahan tersebut menyodorkan sirah Nabi saw sebagai bukti kuat atas kebatilan pemikiran mereka tersebut karena Nabi saw tidak pernah sekali pun menganggap seorang pencuri atau penzina telah kafir dan murtad. Imam Ali as berkata: “Kalian telah ketahui bahwa Rasulullah saw telah merajam penzina muhshan kemudian beliau saw menyalatinya dan menyerahkan warisannya kepada keluarganya, membunuh (menghukum) seorang pembunuh kemudian membagikan warisannya kepada keluarganya, memotong tangan seorang pencuri dan mencambuk penzina nonmuhshan kemudian membagikan harta rampasan perang kepada mereka dan menikahkan mereka dengan wanita-wanita Muslimah maka Rasulullah saw menghukum dengan dosa-dosa mereka dan menegakkan hak (hukum) Allah swt dan tidak menahan saham mereka dari Islam serta tidak mencoret nama-nama mereka dari kelompok kaum Muslimin”.[23]
Bagian ini menegaskan khutbah di atas: Rasulullah saw melaksanakan hukum Islami kepada orang yang melakukan dosa besar, akan tetapi beliau saw tidak pernah menjalankan hukum kemurtadan dan pengkafiran kepada seseorang.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dapat ditemukan banyak sekali riwayat berdasarkan bahwa pengucapan syahadatain (dua kalimah syahadat) menyebabkan keislaman dan pengharaman darahnya untuk ditumpahkan; sebagaimana Nabi saw ketika mengutus Mu’adh bin Jabal ke Yaman, beliau saw mengingatkan bahwa apabila ahlul kitab mengucapkan “laa ilaaha illallah” (tiada tuhan selain Allah) dan “Muhammadun Rasulullah” (Muhammad adalah utusan Allah), maka ajarkanlah kepada mereka shalat lima waktu dan hukum-hukum Islam lain karena hal ini menghikayatkan mereka masuk Islam.[24]
Nabi besar Islam saw bahkan menganggap mencaci maki Muslimin sebagai kefasikan dan berperang dengan mereka sebagai kekafiran: “Mencaci maki orang Muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekafiran”[25]; artinya orang fasik dan kafir adalah orang-orang yang mengkafirkan orang-orang Muslim dan membolehkan membunuh mereka.[26]
Dengan prinsip ini, Ibnu Taimiyah pada permulaan risalah Al-Istighatsah dari kumpulan risalah besarnya mengatakan: “Ahlu Sunnah Wal Jama’ah bersepakat bahwa Nabi Muhammad saw akan memberikan syafaat kepada orang-orang yang berbuat dosa besar dan tidak ada seorang pun dari kelompok bertauhid yang akan kekal di neraka selama-lamanya”.
Demikian juga Ibnu Hazm dalam kitab “Al-Fashl”nya meyakini bahwa tidak seorang Muslim pun dapat dianggap kafir atau fasik karena sebuah ucapan atau akidah yang diucapkan.[27]
Dari sisi ini jelas bawha kelompok-kelompok pengkafiran dan salafi betapa jauh dari sunnah dan sirah Nabi saw dan melalui keegoisan dan kefanatikan mereka menganggap orang-orang yang mengikuti sirah Nabi saw sebagai kafir.
Maka yang patut ditekankan di sini adalah seluruh pemuka dunia Islam melalui dialog ilmiah dan kajian sirah Nabi saw mengenal kembali pemikiran-pemikiran sahih dari pemikiran-pemikiran menyeleweng dan menyingkirkan orang-orang yang berpaling dari sirah Nabi saw;[28] disamping itu juga permasalahan ini termasuk keharusan-keharusan dasar dalam menciptakan warisan persatuan Islam.
Kesimpulan
Tanpa diragukan lagi, persatuan dan kebersamaan ideal adalah sebuah faktor urgen dalam meraih target-target umat dan masyarakat dan juga menjadi penegasan ayat-ayat dan riwayat-riwayat. Bukti-bukti menunjukkan bahwa Ali as adalah orang pertama yang mengumandangkan persatuan dan kebersasmaan di kalangan masyarakat permulaan Islam, penegasan dan penekanan beliau as terhadap keurgenan, peran dan kepentingan persatuan sangat jelas sekali; hingga Imam Ali as berkata: “Singkirkanlah faktor-faktor penyebab perpecahan dan perselisihan dari kalangan masyarakat, walaupun hal itu ada di bawah serbanku (orang-orang terdekat denganku)”.[29]
Akal juga menghukumi kepentingan persatuan dan kebersamaan; karena “menjaga keuntungan-keuntungan bersama” atau “mempertahankan eksistensi” sesuatu mengharuskan kepentingan ini terrealisasi; sebagaimana perjanjian difensiv dan keamanan bersama Rasulullah saw dengan kabilah-kabilah Bani Nadhir, Bani Quraidhah dan Bani Qainuqa’ dapat dinilai dalam tujuan ini.[30]
Dari sisi lain, rintangan dan halangan terpenting yang menghadang negara-negara dan masyarakat Islam adalah halangan eksternal (kelompok-kelompok pengkafiran dan salafi, orang-orang dalam dan luar yang berniat jahat, keterbatasan pengetahuan dan kesalah pahaman) dan halangan internal (halangan-halangan syaitani dan halangan-halangan kejiwaan) yang menghambat dan memperlambat perjalanan terwujudnya persatuan Islam; walaupun mengatur da mengumpulkan warisan persatuan Islam (khususnya berdasarkan sirah dan sunnah Nabi saw dan Imam Ali as) serta konsisten terhadap butir-butirnya dapat menjadi langkah besar dan proyek praktis dalam mempercepat perjalanan di atas.
(Dari: Kumpulan Makalah Seminar LOF Lembaga Otonomi Fathimiah, no.1, vol.1 akhir musim dingin 1386 HS / Maret 2008)

[1] Nahjul Balaghah, khutbah 176.
[2] Ja’fari, Muhammad Taqi, Wahdat-e ‘Ali-ye Insani (Persatuan Tinggi Insani), Penyusun dan peringkas Muhammad Ridlo Jawadi, Teheran, Daftar-e Nasyr-e Farhang-ge Islami, 1380 Syamsi, hal 30.
[3] Majlisi, Muhammad Baqir, Biharul Anwar, Beirut, Muassasah Al-Wafa’, 1404 Qamari, jilid 19, hal 10; Ibnu Katsir Demesyqi, Ismail, Al-Bidayah Wa An-Nihayah, Beirut, Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, 1408, jilid 3, hal 273.
[4] QS. Ali ‘Imran (3): 64.
[5] Javadi Amuli, Abdullah, Wahdat Jawami’ Dar Nahjul Balaghah (Persatuan Sosial dalam Nahjul Balaghah), Pengumpul dan penyusun Said Band Ali, Qom, Isra’, 1380 Syamsi, hal 73.
[6] Khutbah 234.
[7] Ibid.
[8] Ibnu Maitsam Bahrani, Maitsam bin Ali, Syarh Nahjul Balaghah, Teheran, Percetakan Khadamaat Chaapi, 1404, jilid 4, hal 295.
[9] Khutbah 146.
[10] Nahjul Balaghah, surat 62.
[11] Syahrestani, Abul Futuh, Al-Milal Wa An-Nihal, Mesir, Percetakan Al-Ankalu, jilid 1, hal 121.
[12] Nahjul Balaghah, khutbah 127.
[13] Ibnu Abidin, Tanqih Al-Fatawa Al-Hamidiyyah, Pakistan, Al-Maktabah Al-Habibah, jilid 1, hal 103.
[14] Ibnu Atsir, Ali bin Abil Karam, Al-Kamil Fi At-Tarikh, Beirut, Dar Shadir, 1965 M, jilid 2, hal 326.
[15] Nahjul Balaghah, khutbah 51.
[16] Khutbah 120.
[17] Majlisi, 1404, jilid 70, hal 283.
[18] Al-Mujtama’ Al-‘Alami Lit-Taqrib Bainal Mazhahibil Islamiyyah, Periode 10, 1425, no 37, hal 7.
[19] Nahjul Balaghah, khutbah 18.
[20] QS. An-Nisaa’ (4): 59.
[21] Nahjul Balaghah, surat 53.
[22] Ibid, khutbah 95.
[23] Ibid, khutbah 127.
[24] Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Beirut, Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, Muassasah At-Tarikh Al-Arabi, jilid 2, hal 18 / Ibnu Hajjaj, Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Dar Ihya’ At-Turats Al-Arabi, jilid 1, hal 150.
[25]‘Amili, Syarafuddin Sayed Abdul Husain, Al-Fushul Al-Muhimmah Fi Ta’lifil Ummah (Pasal-pasal Penting dalam Mempersatukan Umat), Terjemah Sayed Ibrahim Sayed Alawi, Teheran, Muthahhar, 1377 Syamsi, dengan menukil dari Ibnu Taimiyah, hal 470.
[26] Bukhari, jilid 11, al 9 / Muslim bin Hajjaj, jilid 1, hal 408 / Hurr ‘Amili, Wasail Asy-Syi’ah, jilid 8, hal 610.
[27] Ibnu Hazm Andalusi, Ali bin Ahmad, Al-Fashl Fil Ahwa’ Wal Milal Wan Nihal, Beirut, Darul Ma’rifah, jilid 3, hal 291.
[28] Permasalahan ini juga telah ditindak lanjuti oleh Syaikh Syaltut, guru besar Al-Azhar. Beliau menghimbaukan untuk menengok kembali pengetahuan-pengetahuan dan pendekatan seluruh mazhab, Syi’ah, Ahlu Sunnah dan… (Silahkan merujuk kepada: “Haula Al-Wahidah Al-Islamiyyah, 1404, hal 65.
[29] Nahjul Balaghah, khutbah 127.
[30] Ibnu Katsir, 1965, jilid 3, hal 273.

Tidak ada komentar: