Rabu, 08 April 2009

PERAN DAN POSISI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

PERAN DAN POSISI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Abstrak∗
Ruh pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami tanpa pemahaman terhadap kedudukannya
dalam keseluruhan bingkai konsep Islam itu sendiri. Pendidikan merupakan cara yang digunakan
Islam untuk menata kehidupan, sekaligus sebagai sarana yang digunakan oleh Allah untuk
memuliakan manusia. Adanya dikotomi antara pendidikan agama (Islam) dan pendidikan umum yang
belum terjembantani sampai saat ini secara real mengantarkan posisi pendidikan agama selalu
menjadi pelengkap mata kuliah/pelajaran lainnya di lembaga pendidikan umum. Upaya untuk
menempatkannya ke dalam ranah analisis perlu segera diwujudkan mengingat hal itu jarang
dilakukan sebelumnya. Masuknya sistem metodologi ala Barat juga harus mendapat perhatian khusus
agar tidak menghasilkan anak didik yang bersifat “sekuler” dan kehilangan nilai-nilai etika Islam.
Kata Kunci:
Pendidikan Islam, fungsi,
Kendala
Pendahululan
Bagi semua umat manusia, pendidikan merupakan persoalan penting dalam hidup dan
kehidupan. Pendidikan selalu menjadi tumpuan harapan untuk mengembangkan individu dan
masyarakat. Pendidikan merupakan wahana, sarana, dan proses, serta alat untuk mentransfer warisan
umat dari nenek moyang kepada anak cucu dan dari orang tua kepada anak. Pendidikan tidak berada
dalam ruang hampa, artinya, pendidikan selalu berada dalam konteks. Tetapi penerapan secara
mentah-mentah sistem pendidikan yang diimpor seperti layaknya peralatan, perlengkapan, sayurmayur,
dan buah-buahan merupakan awal kebinasaan umat. Sistem pendidikan seperti ini hanya akan
melahirkan generasi muda yang tidak mempunyai jati diri dan kepribadian.1
Islam memandang pendidikan sebagai proses yang terkait dengan upaya mempersiapkan
manusia untuk mapu memikul taklif sebagai khalifah Allah di muka bumi. Untuk maksud tersebut,
manusia diciptakan lengkap dengan potensinya berupa akal dan kemampuan belajar.2 Dalam tahap
selanjutnya, Allah mengutus para rasul setelah Adam as. kepada umat manusia untuk membimbing
mereka dari kondisi yang serba tidak berperadaban menjadi berperadaban melalui al-Kitab, al-
∗ Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Syari’ah STAIN Manado, meraih gelar magister
pendidikan Islam dari IAIN Alauddin Makassar (kini UIN Makassar)
1 Hery Noer Aly dan Munszier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, cet.I,
(Jakarta: CV. Triasco, 2003), hal. 4-5
2QS. al-Baqarah: 30-32
M. Danial Alwi
Volume 4 Juli - Desember 2007 IQRA’ 2
Hikmah, dan pendidikan. 3 Diletakkannya perintah membaca dalam ayat-ayat permulaan
diturunkannya Al-Qur’an4, membuktikan betapa peran membaca begitu urgen dalam upaya persiapan
kekhalifahan manusia di muka bumi.
Dalam sunnah Rasulullah pun, selalu memberikan komitmen dan perhatian besar terhadap
pendidikan. Fakta yang terbesar dapat dilihat dengan terangkatnya bangsa Arab kepada tingkat
peradaban yang lebih tinggi serta memperkenalkan sendi-sendi di bidang pendidikan yang saat itu
masih memprihatinkan. Situasi seperti itu dapat dilihat ketika tawanan perang Badar, oleh Rasulullah
diwajibkan untuk mengajarkan cara menulis kepada anak-anak Madinah sebagai tebusan bagi
pembebasan mereka. Tindakan Nabi ini diperkuat dengan sabdanya: ‘Carilah ilmu sejak dari ayunan
sampai ke liang lahat’.
Pada sisi lain, persoalan pendidikan merupakan faktor penentu bagi perkembangan umat. Ia
menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan sebab sampai saat ini masyarakat muslim sangat
terbelakang di bidang pendidikan. Dengan demikian salah satu target yang harus diusahakan
semaksimal mungkin adalah revitalisasi pelaksanaan pendidikan bagi umat Islam melalui cara-cara
yang sesuai dengan nilai-nilai dan motif ajaran Islam sehingga tidak salah arah dengan pelaksanaan
pendidikan ala Barat. Untuk menyikapinya diperlukan penyusunan sistem pendidikan yang berakar
pada nilai-nilai, prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan Islam.
Penurunan moral pada generasi muda, khususnya dalam konteks generasi muda di
perkotaan, menggambarkan bahwa sistem pendidikan sekuler tidak mencapai tingkat yang
memuaskan pada pembinaan moral generasi muda. Dari titik ini pula pada tingkat pendidikan formal
daerah perkotaaan merupakan basis ilmu tempat anak didik mendapatkan pendidikan terutama
pendidikan perguruan tinggi. Sementara dalam kurikulum pendidikan umum yang diajarkan di
sekolah-sekolah, materi pendidikan lebih ditekankan pada penguasaan ilmu duniawi dengan tidak
begitu memperhatikan nilai pengajaran agama, kecuali sekolah yang berorientasi keagamaan.5
Oleh sebab itu, sebagian orang tua, pendidik, dan anggota masyarakat Indonesia banyak
mengeluhkan dan mewaspadai bahwa muatan pendidikan agama tidak begitu mendapat perhatian
yang cukup dari pemerintah. Meskipun secara umum, tujuan pemerintah Indonesia adalah untuk
menciptakan pembangunan seimbang antara unsur material dan unsur spiritual, tetapi tampaknya
pemerintah lebih memberikan perhatian yang besar terhadap tujuan yang bersifat materiil.
Implikasinya, ada usaha-usaha untuk mengembalikan nilai-nilai tradisional terutama dalam
mempertimbangkan kembali peranan pendidikan tradisional Islam, yaitu pesantren, yang kaya dengan
pendidikan moral dan spiritual.6
Tidaklah heran bila Muslih Usa mengatakan bahwa adalah sangat aneh ketika mayoritas
masyarakat Indonesia adalah Muslim, tetapi pendidikan Islam tidak diberikan kesempatan untuk
3QS. al-Baqarah: 129
4QS. al-‘Alaq: 1-5
5Suprayetno, “Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren sebagai Kebutuhan Masyarakat”,
dalam Dody S. Truna dan Ismatu Ropi, Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik,
Hukum, dan Pendidikan, cet.I, (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 273
6Ibid, 273-274
M. Danial Alwi
Volume 4 Juli - Desember 2007 IQRA’ 3
bersaing dalam pembangunan masyarakat yang besar. Pemerintah Indonesia hanya memberi
perhatian kecil terhadap pendidikan Islam.7
Gambaran Umum Pendidikan Islam di Indonesia
Sistem pendidikan Islam di Indonesia merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional
Indonesia. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 15 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional
No.20 Tahun 2003, mendeklarasikan bahwa pendidikan formal termasuk pendidikan umum,
pendidikan kejuruan, pendidikan khusus, pendidikan magang, pendidikan keagamaan, pendidikan
akademik, dan pendidikan profesi.8
Pendidikan Islam di Indonesia diberikan pada tiga sektor, yaitu nonformal, informal, dan
formal. Yang bersifat nonformal, biasanya diberikan di mesjid-mesjid, surau, dan langgar. Penekanan
utama yang diberikan pada sektor ini adalah pendidikan al-qur’an, tajwid dan ibadah seperti wudhu
dan shalat. Pendidikan informal, diberikan di rumah dengan menekankan kepada pengajaran
individu, khususnya dalam belajar al-qur’an sesuai dengan tingkatan pelajar. Sedangkan sistem
pendidikan formal diberikan di sekolah, madrasah, dan pesantren. Bagi lembaga-lembaga organisasi
Islam yang mengelola lembaga pendidikan Islam, kecuali pesantren, mempergunakan kurikulum
pemerintah dalam lembaga pendidikan mereka. Dengan memberi penekanan sedikit pada pengajaran
agama Islam. Jadi, dapat dikatakan bahwa madrasah dikategorikan ke dalam dua bentuk kurikulum,
yaitu: madrasah yang menyediakan ilmu-ilmu keislaman dan madrasah yang menyediakan keduanya,
baik ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keislaman.9
Dalam tataran pendidikan tinggi, selain dari lembagai pendidikan swasta, pendidikan Islam
diberikan pada di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN).10 Selama ini kedua lembaga Islam tersebut merumuskan jati dirinya sebagai lembaga yang
memelihara dan mewariskan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber
utama pedoman hidup di muka bumi ini.11
7Muslih Usa, ed., Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1991), hal. 11
8Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 6
9Suprayetno, “Modernisasi Sistem…, hal. 281
10Ibid.
11HM. Imron Abdullah, “STAIN dan Transformasi Budaya Keilmuan” dalam LEKTUR, Seri
IX, (Cirebon: STAIN, 2001), hal. 90. Sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi agama tentu
mempunyai tanggung jawab moral dan sosial untuk menyiapkan generasi-generasi masa depan yang
memiliki kekokohan aqidah dan kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan
kematangan profesional, sehingga ia mampu tetap eksis dalam pergulatan kehidupan yang multi
dimensional ini. Ubaidillah Nafi’, “Membangun Paradigma STAIN di Masa Depan” dalam Al-
‘Adalah, Vo. 4, No. 3, (Jember: STAIN, 2001), hal. 48
M. Danial Alwi
Volume 4 Juli - Desember 2007 IQRA’ 4
Fungsi dan Kendala
Telah menjadi rahasia umum, bahwa pendidikan Islam berada pada tataran keterpurukan
meskipun kemajuan di bidang pendidikan sangat pesat. Atas nama modernisasi, sistem pendidikan
Barat telah banyak diserap dan dipakai di lembaga formal pendidikan di Negara Islam, tak terkecuali
di Indonesia, tanpa memperhatikan kabajikan orisinilnya. Dengan karakter dan ciri khasnya,
pendidikan ala Barat mengembangkan fungsinya sebagai laboratorium tempat generasi muda Islam
terbumbui dan terbagi-bagi, serta terbentuk kesadarnnya menjadi karikatur Barat.12
Pendidikan Islam, pada prinsipnya hadir untuk menciptakan pengembangan diri manusia.
Sejalan dengan misi agama Islam yang bertujuan memberikan rahmat bagi sekalian alam13, maka
pendidikan Islam mengidentifikasikan sasaran yang digali dari sumber ajaran al-Qur’an, meliputi
empat pengembangan fungsi manusia. Pertama, menyadarkan manusia secara individual pada posisi
dan fungsinya ditengah makhluk lain, serta tanggung jawab dalam kehidupannya. 14 . Kedua,
menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat serta tanggung jawabnya
terhadap ketertiban masyarakat. Oleh karena itu manusia harus mengadakan interrelasi dan interaksi
dengan sesamanya.15 Ketiga, menyadarkan manusia terhadap Pencipta alam dan mendorongnya untuk
beribadah kepada-Nya.16 Keempat, menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk
lain dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan makhluk lain serta memberikan
kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya.17
Dengan demikian hal yang diharapkan dalam pemberian pendidikan Islam, yaitu pendidikan
yang dilandasi nilai-nilai Islam akan menuntun umat Islam menuju ketakwaan secara total kepada
Allah, dengan jalan mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan manusia.
Karena Islam menggolongkan pendidikan sebagai tugas suci maupun penyerahan diri terhadap Allah
(ibadah), maka dengan keteguhan hati diharapkan mampu memotivasi umat untuk
mengaktualisasikan imannya kepada Allah dalam situasi dan kondisi apapun, bukan perkembangan
yang didominasi Barat. Keteguhan hati yang didasarkan pada kecintaan terhadap Islam yang
membawa semangat belajar ke dalam hati setiap umat. Jadi dalam hal ini visi pendidikan Islam tidak
diarahkan oleh pragmatisme, namun oleh keteguhan hati dan cinta terhadap Allah. Oleh karena itu,
12Affandi Mochtar, “Pendidikan Islam: Makna, Problem, dan Solusi”, dalam Aler Fheria
Wasim, dkk (ed), Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Praktik dan Pendidikan, (Oasis
Publisher: Yogyakarta, 2005), hal. 234
13QS. al-Anbiyaa: 107
14QS. al-Baqarah: 30, QS. Shaad: 71-72, QS. al-Isra’: 70
15QS. al-‘Imran: 103, QS. al-Hujurat: 10
16QS. al-An’am: 102-103
17QS. al-An’am: 95-97
M. Danial Alwi
Volume 4 Juli - Desember 2007 IQRA’ 5
pendidikan Islam harus membekali dan menyebarkan ilmu pengetahuan yang benar-benar islami,
relevan dengan sumber mutlaknya, Allah.18
Hal lain adalah pemberian pendidikan Islam merupakan aktivitas intelektual sekaligus
sebagai sarana terwujudnya formulasi Islamisasi pengetahuan. Untuk itu dalam tingkat pendidikan
formal, pendidikan Islam harus diaplikasikan di tingkat akademik, yang mengkhususkan diri pada
studi Islam untuk melahirkan sarjana di bidang studi Islam, baik sebagai intelektual maupun sebagai
mufti. Oleh karena itu, diperlukan komitmen untuk menerapkan pendidikan umat di mana semua
mata pelajaran diberikan secara mendasar sejak sekolah dasar sampai ke jenjang-jenjang yang lebih
tinggi.19
Perlu diketahui bahwa pendidikan Islam sangat berhubungan erat dengan agama Islam itu
sendiri, lengkap dengan akidah, syariat, dan sistem kehidupannya. Keduanya ibarat dua kendaraan
yang berjalan di atas dua jalur seimbang, baik dari segi tujuan maupun rambu-rambunya yang
disyariatkan bagi hamba Allah yang membekali diri dengan takwa, ilmu, hidyah, serta akhlak untuk
menmpuh perjalanan hidup.
Hubungan antara pendidikan Islam dan agama Islam dapat digambarkan dalam pokok-pokok
sebagai berikut:20
a. Agama Islam menyerukan manusia agar beriman dan bertakwa.21 Pendidikan Islam berupaya
menanamkan ketakwaan itu dan mengembangkannya agar bertambah terus sejalan dengan
pertambahan ilmu.
b. Agama Islam menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan menyeru manusia agar berpikir
tentang kerajaan Allah. 22 Sementara dalam pendidikan Islam, dibangun di atas ilmu dan
pengetahuan guna mengembangkan manusia, baik pengetahauan, ketermapilan, maupun arah
tujuannya.
c. Agama Islam menekankan amal saleh dan menetapkan bahwa iman selalu diwujudkan dengan
amal saleh tersebut. 23 Sedangkan dalam pendidikan Islam menekankan pentingnya belajar
18Affandi Mochtar, “Pendidikan Islam…, hal. 235
19Ibid., hal. 237. Meskipun demikian dunia pendidikan tinggi agama Islam belakangan ini
dihadapkan paling tidak pada tiga tantangan besar dalam bidang akademik. Pertama, pendidikan
tinggi agama Islam harus mampu menjawab kebutuhan integritas antara tradisi dan ilmu Islam
dengan tradisi modern dalam bidang ilmu pengetahauan dan teknologi. Kedua, berkaitan dengan
masalah kajian keIslaman (Dirasah Islamiyah atau Islamic studies) itu sendiri. Dalam hal ini,
pendidikan tinggi agama Islam dituntut untuk memberikan respon yang bertanggung jawab baik
secara teologis maupun keilmuan. Ketiga, berkaitan dengan tantangan pembangunan Nasional,
khususnya yang berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia. Lihat Ubaidillah Nafi’,
“Membangun Paradigma…, hal. 48
20Hery Noer Aly dan Munszier Suparta, Pendidikan Islam…, hal. 138-140
21QS. al-Tagabun: 16;, QS. al-Baqarah: 282
22QS. al-Imran: 190; QS. al-Baqarah: 111
23QS. al-Ra’d: 29; QS. al-Shaff: 2-3
M. Danial Alwi
Volume 4 Juli - Desember 2007 IQRA’ 6
dengan jalan berbuat (learning by doing), tidak sekedar menghafal teori yang tidak
membimbing ke arah perbuatan yang bermanfaat dalam berbagai sisi kehidupan.
d. Agama Islam menekankan pentingnya akhlak.24 Di sisi lain, pendidikan Islam pun menekankan
pendidikan akhlak dengan memperhatikan perubahan tingkah laku ke arah yang terbaik.
Begitu indahnya hubungan antara agama dan pendidikan Islam seperti di atas sayang tidak
dibarengi dengan kehidupan atau proses kerja keilmuan di lembaga-lembaga formal, terutama di
perguruan-perguruan tinggi Islam. Qodri Azizy mencontohkan bahwa ilmu-ilmu umum seperti ilmu
hukum, sosiologi, antropologi, filsafat, dan lainnya, yang diajarkan di lembaga pendidikan tersebut
secara dominan diajarkan secara terpisah dari ilmu keislaman. Akibatnya, tidak ada persentuhan
dengan intisari (gist atau khiththah) ilmu-ilmu keislaman yang menjadi core dalam pendidikan di
lembaga pendidikan tersebut. Dan lebih menyayangkan lagi, menurutnya, ilmu-ilmu keislaman
tersebut hanya dijadikan sebagai “pengantar” atau sekadar pengertian definisi yang jauh dari ranah
analisis. Memahami definisi dianggap cukup tanpa perlu menganalisa mengapa sampai terjadi
perbedaan definisi demikian. 25 Oleh karena itu, Liek Wilardjo menyarankan dengan sungguhsungguh
agar para intelektual Islam sebaiknya tidak bersikukuh “memaksakan” penyatuan antara
ilmu dan agama.26
Menurut Qodri Azizy, selama ini telah terjadi anggapan negatif terhadap pelaksanaan
pendidikan agama (Islam) di lembaga pendidikan. Anggapan yang kurang menyenangkan itu antara
lain: a) Islam diajarkan lebih pada hafalan yang harus dipraktekkan; b) pendidikan agama lebih
ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dan Tuhannya; c) penghayatan nilai-nilai agama
kurang mendapat penekanan; d) penalaran dan argumentasi berpikir untuk masalah-masalah
keagmaan kurang mendapatkan perhatian; e) dan lain-lain. Implikasi dari itu semua penanaman
kepribadian kurang berhasil, kalau tidak dikatakan gagal. Tetapi yang hampir dapat dipastikan bahwa
salah satu sebab utama hancurnya sistem pendidikan nasional adalah dominannya peran “pusat”
(sentralisasi) dalam pengambilan kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan.27
Menyikapi hal seperti di atas, maka ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian,
yaitu:
1. Pendidikan agama hendaknya mampu mengajarkan akidah anak didik sebagai landasan
keberagamaannya.
2. Pendidikan agama mengajarkan kepada anak didik pengetahuan tentang ajaran agama Islam.
3. Pendidikan agama harus mampu mengajarkan agama sebagai landasan atau dasar bagi semua
mata pelajaran yang diajarkan di lembaga formal.
24QS. al-Qalam: 4
25Qodri Azizy, Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman, cet.2, (Semarang: Aneka Ilmu, 2004),
hal. 44-45
26 Eka Putra Wirman, “Konversi IAIN menjadi UIN: Tuntutan Pragmatis atau
Epistemologis?”, dalam Kamaruddin Amin, dkk, Quo Vadis Islmicc Studies ini Indonesia: (Current
Trends and Future Challenges), cet.1, (PPS UIN Makassar: Makassar, 2006), hal. 359
27Qodri Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukse
Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, cet. 1, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hal. 62
M. Danial Alwi
Volume 4 Juli - Desember 2007 IQRA’ 7
4. Pendidikan agama yang diberikan kepada anak didik harus menjadi landasan moral kehidupan
sehari-hari.
5. Jam pendidikan agama di lembaga pendidikan formal, seharusnya dijadikan waktu tatap muka
formal dalam menyampaikan ajaran agama atau diskusi masalah keagamaan. Sementara dari segi
praktekna harus lebih dari sekedar jam pelejaran tersebut.28
Sedangkan, dalam konteks menyongsong era global dan dengan “diterimanya” sistem
pendidikan yang bersifat ala Barat, maka ada tiga aspek problematis pendidikan modern yang sangat
substansial dan mendesak segera di”Islam”kan.
1. Aspek filosofis, yakni visi atau pandangan dunia yang jelas-jelas mempengaruhi hakekat dan
tujuan pendidikan. Karena pendidikan dewasa ini cenderung membawa mentalitas palsu ke
dalam umat Islam sementara pengelola pendidikan dilanda kehilangan visi. Akibatnya, bisa
dilihat bila generasi muda yang terdidik boleh jadi tidak dapat berperilaku sesuai dengan norma
masyarakat Islam yang diharapkan maupun dengan aspek kemanusiaan yang lazim dalam
pengelolaan pendidikan.
2. Aspek keutamaan ilmu pengetahuan, di mana di satu sisi, perlunya menyelematkan pendidikan
Islam dari ilmu pengetahuan Barat, modern dengan segala kekurangan integralitas spiritualitas di
dalamnya, yang dalam pengertian totalnya hanya merupakan sebuah produk pertimbangan akal
kemanusiaan sekuler. Sementara di sisi lain, pentingnya mengevaluasi ulang ilmu pengetahuan
tradisional dan agama, yang menolak sama sekali isu-isu ilmiah dan kontemporer. Sejauh ini,
kecenderungan-kecenderungan tersebut melahirkan dualisme dalam sistem pendidikan di negaranegara
Islam, yang pada gilirannya telah menghasilkan pribadi-pribadi Muslim yang hipokrit.
3. Aspek metodologi yang tidak memiliki kreativitas dalam menyelenggarakan proses belajar
mengajar. Dengan mengikuti metodologi Barat (modern) hampir semua kasus proses belajar
mengajarnya sangat minim aspek etikanya.29
Penutup
Pembangunan sumber daya manusia (SDM) Indonesia, khususnya bagi umat Islam adalah
suatu jawaban yang tepat. Dan, jalur pendidikan (khususnya pendidikan Islam) merupakan salah satu
jalur pembinaan yang potensial dan mutlak diperlukan sebab sebagaimana dimaklumi bahwa
pendidikan merupakan unsur utama dalam pembinaan SDM.
Untuk itu yang perlu dilakukan adalah bahwa sarjana-sarjana Muslim harus mengarahkan
energi reformatifnya terhadap ilmu ekonomi dan politik. Bentuk-bentuk yang seharusnya
diperhatikan barangkali meliputi seminar, konferensi, pengembangan kurikulum, pusat studi dan
penelitian serta pembentukan jurusan-jurusan khusus.
Oleh sebab itu, untuk mengembangkan pribadi (nafs), pendidikan harus membekali peserta
didiknya dengan pelajaran-pelajaran agama, etika, hukum, sejarah, dan peradaban Islam. Pengajaran
seperti itu diharapkan mampu menanamkan benih iman dalam hati atau diri peserta didik. Pendidikan
bukan semata-mata tugas guru dan sekolah, orang tua dan umat secara keseluruhan tidak boleh lari
28Ibid., hal. 73-79
29Affandi Mochtar, “Pendidikan Islam…, hal. 235-236
M. Danial Alwi
Volume 4 Juli - Desember 2007 IQRA’ 8
dari tanggung jawab untuk melatih mereka dalam semua aspek ajaran Islam sampai mendapat
kematangan diri.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pendidikan Islam bersifat ke-Tuhan-an (rabbani)
sebab selalu mengacu kepada Allah. Sifat yang demikian membuat pendidikan Islam benar-benar
berbeda dari pendidikan lainnya. Baik dari segi tujuan, watak, isi, karakteristik, maupun pengaruh
praktisnya.
Daftar Pustaka
Amin, Kamaruddin, dkk, Quo Vadis Islmicc Studies ini Indonesia: (Current Trends and Future
Challenges), cet.1, PPS UIN Makassar: Makassar, 2006
Al- Qur’an al-Karim
Al-‘Adalah, Vo. 4, No. 3, (Jember: STAIN, 2001), hal. 48
Aly, Hery Noer dan Munszier Suparta. 2003. Pendidikan Islam Kini dan Mendatang (Cet. I).
Jakarta: CV. Triasco.
Azizy, Qodri. 2002. Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial: Mendidik Anak Sukse
Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat (Cet. 1). Semarang: Aneka Ilmu.
__________. 2004. Pengembangan Ilmu-Ilmu Keislaman (Cet. 2). Semarang: Aneka Ilmu
LEKTUR, Seri IX, Cirebon: STAIN, 2001
Truna, Dody S. dan Ismatu Ropi. 2002. Pranata Islam di Indonesia: Pergulatan Sosial, Politik,
Hukum, dan Pendidikan (Cet. I). Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003, Jakarta: Sinar Grafika, 1993
Usa, Muslih, ed., Pendidikan Islam di Indonesia: Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1991
Wasim, Alef Theria, dkk (ed), Harmoni Kehidupan Beragama: Problem, Praktik dan Pendidikan,
Oasis Publisher: Yogyakarta, 2005

Tidak ada komentar: