Rabu, 04 Februari 2009

ISTINBATUL HUKMI DALAM ILMU FIQIH


ISTINBATUL HUKMI DALAM ILMU FIQIH


Sumber-sumber Hukum Islam

Al Qur’an

1. Definisi Al Qur’an Dan Akar kata al Qur’an
Allah Swt. memilih beberapa nama bagi wahyu-Nya, yang berbeda sekali dari bahasa yang biasa digunakan masyarakat arab untuk penamaan sesuatu. Nama-nama itu mengandung makna yang berbias dan memiliki akar kata [1]. Diantara beberapa nama itu yang paling terkenal ialah al Kitab dan al Qur’an.

Wahyu dinamakan al Kitab yang menunjukkan pengertian bahwa wahyu itu dirangkum dalam bentuk tulisan yang merupakan kumpulan huruf-huruf dan menggambarkan ucapan (lafadz) adapun penamaan wahyu itu dengan al Qur’an memberikan pengertian bahwa wahyu itu tersimpan didalam dada manusia mengingat nama al Qur’an sendiri berasal dari kata qira’ah (bacaan) dan didalam qira’ah terkandung makna : agar selalu diingat,. Wahyu yang diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas itu telah ditulis dengan sangat hati-hati agar terpelihara secara ketat, serta untuk mencegah kemungkinan terjadinya manipulasi oleh orang-orang yang hendak menyalah artikan atau usaha mereka yang hendak mengubahnya. Tidak seperti kitab-kitab suci lain dimana wahyu hanya terhimpun dalam bentuk tulisan saja atau hanya dalam hafalan saja, tetapi penulisan wahyu yang satu ini didasarkan pada isnad yang mutawatir (sumber-sumber yang tidak diragukan kebenarannya) dan isnad yang mutawatir itu mencatatnya dengan jujur dan cermat.[2]

Secara etimologis, Al Qur’an berasal dari kata “qara’a”, yaqra’u, qiraa’atan atau qur’aanan yang berarti mengumpulkan (al jam’u) dan menghimpun (al dlammu) huruf-huruf serta kata-kata dari satu bagian kebagian lain secara teratur [3]. Dikatakan Al Qur’an karena ia berisikan intisari dari semua kitabullah dan intisari dari ilmu pengetahuan. Allah berfirman :


“ Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (dalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kamu telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya”. (al Qiyamah [75]:17-18).

Qur’anan dalam hal ini berarti juga qira’atahu (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tasrif, konjugasi) “fu’lan” dengan vocal “u” seperti “gufran” dan “syukran”. Kita dapat mengatakan qara’tuhu, qur’an, qira’atan wa qur’anan, artinya sama saja yakni maqru’ (apa yang dibaca) atau nama Qur’an (bacaan).[4]

Qur’an dikhususkan sebagai nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w., sehingga Qur’an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara gabungan kata itu dipakai untuk nama qur’an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang membaca ayat Qur’an, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur’an.

“dan apabila dibacakan Qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah …(Al-A’raf [7]:204).

Sebagian Ulama berpendapat bahwa kata Qur’an itu pada mulanya tidak berhamzah sebagai sebuah kata jadian. Ada analisa penyebutan tersebut kemungkinan adalah karena Qur’an dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi s.a.w., dan bukan merupakan kata jadian, sementara yang lain berpendapat berbeda. Untuk itulah ada baiknya jika kita mereferensi beberapa pendapat ulama tentang asal kata Qur’an :
Asy-Syafi’i, berpendapat bahwa kata qur’an ditulis dan dibaca tanpa hamzah ( Quran) yang tidak diambil dari kata lain (Musytaq). Ia adalah nama Khusus yang dipakai untuk kitab suci yang diberikan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana kitab Injil dan Taurat dipakai khusus untuk kitab-kitab Tuhan yang diberikan kepada Nabi Isa dan Musa [5]. Lafadz tersebut sudah lazim digunakan dalam pengertian kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.. jadi menurut asy Syafi’i, lafadz tersebut bukan berasal dari akar kata qa-ra-a (membaca), sebab kalau akar katanya qa-ra-a, maka tentu setiap sesuatu yang dibaca dapat dinamai al Qur’an, sama halnya dengan nama Taurat dan Inzil.[6]
Al-Farra’ dalam kitabnya “Ma’anil Qur’an” berpendapat bahwa lafadz qur’an tidak memakai hamzah, dan diambil (musytaq) dari kata qara’in jamak dari qarinah, yang berarti indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan karena sebagian ayat-ayat al Qur’an itu serupa satu sama yang lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya merupakan indikator dari apa yang dimaksud oleh ayat lain yang serupa.[7] Dan huruf “nun” pada akhir lafadz al Qur’an adalah huruf asli, bukan huruf tambahan.[8]
Al Asy’ari berpendapat bahwa lafadz al Qur’an tidak memakai hamzah dan diambil dari kata qarana, yang berarti menggabungkan. Hal ini disebabkan karena surat-surat dan ayat-ayat al Qur’an dihmpun dan digabungkan dalam satu mushaf.

Tiga pendapat diatas menurut Subhi as Shalih adalah beberapa contoh dari Ulama yang berpendapat bahwa lafadz al Qur’an tanpa huruf hamzah ditengahnya jauh dari kaidah pemecahan kata (isytiqaq) dalam bahasa Arab. Sedangkan para ulama’ yang berpendapat bahwa lafadz al Qur’an ditulis dengan tambahan hamzah ditengahnya adalah :
Az Zajjaj, lafadz al Qur’an ditulis dengan huruf hamzah ditengahnya berdasarkan pola kata (wazn) fu’lan, lafadz tersebut pecahan (musytaq) darai akar kata qar’un yang berarti jam’un, Seperti kalimat quri’al ma’u fil-haudi, yang berarti : air dikumpulkan dalam kolam. Jadi dalam kalimat itu kata qar’un bermakna jam’un, yang dalam bahasa Indonesia bermakna kumpul, atau menhimpun. Hal ini karena al Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari ajaran-ajaran dari kitab suci sebelumnya.
Al Lihyani, lafadz al Qur’an ditulis dengan huruf ditengahnya berdasarkan pola kata ghufran dan merupakan pecahandari akar kata qa-ra-a yang bermakna tala (membaca).

Secara terminologi al Qur’an menurut beberapa ulama adalah:
a. Ulama Ushul fiqh,

Artinya:
“Kalam Allah[9] yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam bahasa Arab yang dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah, tertulis dalam mushaf , dimulai dari surat al fatihah dan ditutup dengan surat an Nas.[10]
Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan al Qur’an sebagai firman Allah yang diturunkan melalui ruhul amin (jibril) kepada Nabi Muhammad saw. Dengan bahasa Arab, isinya dijamin kebenarannya, dan sebagai hujjah kerasulannya, undang-undang bagi seluruh manusia dan petunjuk dalam beribadah serta dipandang ibadah dalam membacanya, yang terhimpun dalam mushaf yang dimulai dari surat al fatihah dan diakhiri dengan surat an Nas yang diriwayatkan kepada kita dengan jalan mutawatir
Syaikh Muhammad Abduh mendefinisikan al Quran sebagai kalam mulia yang diturunkan oleh allah kepada Nabi yang paling sempurna (Muhammad) ajarannya mencakup keseluruha ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber yang mulai yang essensinya tidak dimengerti kecuali bagi orang yang berfjiwa suci dan berakal cerdas.

Ketiga definisi tersebut sebenarnya saling melengkapi. Definisi pertama lebih focus pada subyek pembuat wahyu, Allah dan obyek penerima wahyu yakni rasulullah Muhammad saw, proses penyampaiannya kepada umat secara mutawatir, membacanya dikategorikan sebagai ibadah. Definisi kedua melengkapi penjelasan cara turunnya melalui malaikat Jibril, penegasan tentang awal dan akhir surat. Dan definisi ketiga berkaitan dengan isi dan kriteria bagi orang ingin memahaminya.

Dari definisi tersebut dapat dinalisa bahwa al Qur’an memiliki unsur-unsur Yang menjadi ciri khas bagi al Qur’an, yakni :
a. Al Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad Saw. Tidak dinamakan al Qur’an seperti Zabur, Taurat dan Injil. Ketiga kitab tersebut memang termasuk kalam Allah tapi tidak diturunkan kepada nabi Muhammad sehingga tidak disebut al qur’an.
Kehujjahan al Qur’an

B.….Ijma’…Dan…Qiyas.
Kata-kata “Sumber Hukum Islam’ merupakan terjemahan dari lafazh Masâdir al-Ahkâm. Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti ‘sumber hukum Islam’, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashâdir al-Ahkâm oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masâdir al-Ahkâm adalah dalil-dalil hukum syara’ yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk menemukan hukum’.
Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas adalah istihsân, maslahah mursalah, istishâb, ‘‘uruf, madzhab as-Shahâbi, syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.[4] Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh adalah ad-dzara’i.Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.
Hal yang demikian dilakukan pula oleh Abu Bakar ra apabila terjadi kepada dirinya perselisihan, pertama ia merujuk kepada kitab Allah, jika ia temui hukumnya maka ia berhukum padanya. Jika tidak ditemui dalam kitab Allah dan ia mengetahui masalah itu dari Rasulullah Saw,, ia pun berhukum dengan sunnah Rasul. Jika ia ragu mendapati dalam sunnah Rasul Saw, ia kumpulkan para shahabat dan ia lakukan musyawarah. Kemudian ia sepakat dengan pendapat mereka lalu ia berhukum memutus permasalahan.[8] Karena itu, pembahasan ini sementara kami batasi dua macam sumber hukum saja yaitu ijma’ dan qiyas.
1.Ijma’
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر berarti berupaya di atasnya.
Sebagaimana firman Allah Swt:
“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)
Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua ini bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang.
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas hukum syara.
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.

2.Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
3.Qiyas
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.
Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
4.Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)
Dari ayat di atas bahwasanya Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan.
Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum.
Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahahRukun Qiyas
Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
o Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
o Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
o Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
o Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya


[1] Subhi as shalih, Dr. “Mabahis fi Ulumil-Qur’an”, Darul- Ilm Lil-Malayin, Beirut, Libanon
[2] Ibid, Subhi as shalih, “Mabahis fi Ulumil-Qur’an”, hal.9
[3] Muhaimin, Drs, MA, “Dimensi-dimensi Studi Islam”, Karya Abditama, Surabaya, 1994:86.
[4] Manna’ Khalil al Qattan, “Mabahis fi Ulumil Qur’an”
[5] Ibid, “Dimensi-dimensi Studi Islam” hal.86
[6] Subhi as shalih, Dr. “Mabahis fi Ulumil-Qur’an”, hal.10
[7] Muhaimin, Drs, MA “Dimensi-dimensi Studi Islam” hal.86
[8] Subhi as shalih, Dr. “Mabahis fi Ulumil-Qur’an”, hal.11
[9] Menurut Manna Khalil al-Qattan, dalam definisi “kalam” merupakan semua jenis yang meliputi segala kalam. Dan dengan menghubungkan kepada Allah (kalamullah) berarti tidak termasuk semua kalam manusia, jin dsan malaikat. (Manna Khalil al-Qattan Mabahist fi ulum alQur’an diterjemahkan oleh Drs, Muzdakkir As dalam “Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an” Litera Antar Nusa, Jakarta, 1987.
[10] Syafe’I, Rachmat , Prof,Dr,MA,”Ilmu Ushul FIqf”,CV.Pustaka Setia, Bandung,1999.hal.50

Tidak ada komentar: