NASH DAN IJTIHAD
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al-Ahzab:36)
Dasar-dasar Hukum Islam
Semua muslimin sepakat bahwa sumber hukum pertama yang tertinggi adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yang disebut Al-Quran. Sumber hukum peringkat selanjutnya adalah kejelasan yang tersurat maupun yang tersirat dari kehidupan Rasul Allah; disebut as-Sunnah.
Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat. Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala hukum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran hukum yang lain. Sementara landasan selain Al-Quran adalah semua yang sudah mencukupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al-Quran, sehingga tidak ada ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Dengan landasan ini, muslimin sependapat bahwa barang siapa yang menentang dan mengubah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka dinyatakan sebagai kufur.
Tanpa disadari, keterikatan muslimin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan setiap muslim berjanji untuk mengikuti Al- Quran dan Hadits/Sunnah. Mereka mencoba mengekspresikan semua yang ada dari keduanya dalam kehidupan keseharian. Tapi, ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni adanya perubahan persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari dasar sumber yang sama, ternyata, muslimin memahami dengan berbeda. Dari sumber yang sama (Al-Quran dan Hadits), difahami secara berbeda, sehingga beramal pun dengan praktik yang berbeda. Karena, memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan yang sama tetapi muatannya berbeda.
Awal perbedaan ini, nampak jelas ketika Rasulullah SAW wafat. Al-Quran, dalam artian wahyu atau kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu terhenti. Sebagian muslimin berpandangan bahwa periode dasar hukum telah terhenti, sehingga mereka berpandangan hanya Al-Quran dan Sunnah Nabi saja sebagai sumber hukum yang mutlak.
Sebagian muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinan berbeda. Wafat Nabi Muhammad SAW tidak berarti terhentinya nash Ilahi dalam bentuk Sunnah. Karena, Sunnah dalam pemahaman kelompok ini tidak terbatas pada Nabi Muhammad SAW, tetapi juga ada pada tiga belas orang maksum setelah beliau. Yaitu, dimulai dari Ali bin Abi Thalib AS sampai dengan Muhammad bin Hasan al-Mahdi AS (termasuk Fatimah az-Zahra AS), hingga akhir zaman. Kedua pandangan inilah yang menjadi pemilah kesatuan muslimin yang telah dibina Rasulullah SAW. Hinggalah sekarang, pengaruh dan bara tersebut masih saja menyala.
Akibat lain yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan itu adalah telah terbentuknya ideologi yang menjadi dasar cara pandang muslim dalam melihat Islam. Dengan dasar perspektif pandangan masing-masing, Islam akan tampak berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi berbeda pula. Perbedaan inilah yang mendasari lemahnya kekuatan muslimin dalam menghadapi tantangan zaman, baik dari nilai ideologi maupun tantangan fisik.
Permasalahan di atas, juga menjadi faktor yang melahirkan generasi muslim zaman ini. Generasi kini adalah hasil dari generasi terdahulu, karena unsur sejarah mendominasi pandangan muslim dalam menilai Islam. Dengan kenyataan yang terjadi, dan pandangan yang tercipta dari waktu ke waktu, serta informasi yang diterima untuk dipelajari hari ini, telah membentuk opini keislaman seseorang.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dengan cara memandang pada fenomena sejarah yang berbeda akan didapatkan nilai keislaman yang berbeda pula. Sehingga i'tiqad dasar keislaman pun akan berbeda. Sementara itu, semua muslim sepakat bahwa Islam adalah agama Ilahi yang satu dan merupakan hamparan jalan tunggal menuju kepada Allah. Karena itu, muslimin, mau tak mau, harus memilih juga, yang konsekuensinya adalah i'tiqad dasar dari pandangan di atas harus ditimbang kembali untuk mendapatkan nilai yang benar, sehingga seseorang dapat memastikan keberadaan setiap personal di jalan yang lurus dan tunggal tersebut.
Ijtihad di Kalangan Muslimin
Ijtihad (secara bahasa), berasal dari akar kata bahasa Arab al-jahd yang berarti jerih payah. Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi mendefinisikan ijtihad sebagai tindakan menguras tenaga untuk mengetahui hukum tentang sesuatu dalam batas menduga. Seperti, menguras tenaga untuk memperoleh dugaan tentang hukum syar'i. (al-Ra'ya al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid wa al-Ihthiyath, hal.9). Ijtihad juga diartikan menguras tenaga dan jerih-payah untuk memperoleh hukum syar'i yang bersifat dugaan dari Al-Quran, Sunnah, Qiyas, Ihtihsan dan sebagainya.
Muslimin (secara historis) menggunakan kesempatan berijtihad untuk melepaskan tanggung jawab dalam menjawab permasalahan kehidupan yang belum ditemui dalam hukum yang jelas (dhahir) sampai datangnya masa penaklukan kota Baghdad di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah oleh Bangsa Tartar (sekitar 665 H.) Setelah adanya kejadian tersebut, ulama tidak lagi terkumpul dan pintu ijtihad menjadi "tertutup". Dari sinilah hak ijtihad hanya menjadi milik mujtahid terdahulu.
Selanjutnya, perkembangan ijtihad dalam kehidupan muslimin berjalan lamban, dan secara umum tidak ada perbedaan mendasar tentang ijtihad, meskipun ada juga pembeda di antara kelompok muslim. Seperti, adanya perbedaan antara mereka yang memasukkan qiyas dalam ijtihad dan sebagian lagi menolak.
Kasus Seputar Ijtihad
Dasar sumber-sumber ijtihad adalah Al-Quran, Sunnah, Akal dan Ijma'. Namun demikian, dari keempat sumber ini, bukan berarti tidak terbuka kemungkinan untuk tidak ditemukannya ketentuan hukum dari keempatnya. Atau, didapatkan hasil kesimpulan yang tidak kokoh. Atau, dalil-dalil yang ada tidak cukup untuk mendukung kasus yang ada.
Karena itu, terhentinya atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad dapat memastikan bahwa fiqih dan pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah yang timbul di masa kini tidak akan teratasi. Satu hal lain yang mendasar bahwa muslimin akan terhenti dalam ruang lingkup kehidupan yang tradisional (lampau), serta tidak memiliki kesempatan mengembangkan akal pikiran manusia.
Dengannya orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu dan tidak akan membentuk opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah hukum Islam menjadi hukum yang menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa muslim yang mengenal Islam itu membela dan membangun kehidupan kemanusiaan.
Kasus yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya ijtihad, maka setiap muslim telah menjadi mujtahid pada posisinya. Karena, sebagai tuntutan hidup yang nyata, seorang muslim harus hidup dalam hukum, padahal banyak persoalan kehidupan yang dijalani dan harus dipecahkannya tidak terdapat di buku para mujtahid terdahulu.
Tanpa disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber hukum yang ada (ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai mujtahid, walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar karena kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan masa/waktu, yang memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum. Meskipun pada dasarnya hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui keabsahan dan kebenarannya.
Mujtahid Sebagai Standar Keilmuan
Islam sebagai agama dan ideologi merupakan sarana penghantar perjalanan manusia kepada Allah. Dengan sarana yang pasti ini, memastikan manusia untuk tidak memilih jalan lain atau berjalan di jalan yang salah. Sehingga manusia dengan sendirinya wajib memastikan dirinya untuk berada di dalam Islam. Pemikiran ideal ini menjadi i'tiqad muslimin. Dasarnya adalah dengan adanya Maksum maka i'tiqad dan idealnya Islam dapat terjaga bersamanya.
Tetapi dengan tidak adanya maksum, maka pikiran ideal merupakan i'tiqad tanpa kepastian untuk didapatkan dalam praktik kehidupan muslim. Maka muslimin mengejar idealisme kesempurnaan Islam dengan berusaha mendapatkan nilai ideal. Namun, karena agama samawi ini tidak memberikan jaminan kepada manusia yang tidak maksum secara takwin, maka Nilai Islam yang ada dalam i'tiqad muslimin pun tidak terjamin untuk kesempurnaannya pada kebenaran Ilahi. Kebenaran yang ada adalah nilai yang didapat dari usaha maksimal sebagai manusia untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab di hadapan Allah.
Maka akan ada selisih antara kebenaran yang bersifat absolut Ilahi yang di-i'tiqadi dengan nilai kebenaran yang diamalkan oleh manusia. Namun demikian, usaha yang dilakukan oleh muslimin untuk mendapatkan ilmu Islam dari sumber-sumber dasar hukum (Al-Quran, Hadits/Sunnah, Ijma' dan Akal) yang kita sebut ijtihad, merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari, karena:
Pertama, tidak hadirnya Imam Maksum di antara muslimin. Islam sebagai sumber hukum dan nilai absolut, hanya ada pada Allah dan Maksumin. Selain dari keduanya, Islam masih merupakan konsep yang harus digali. Paling tidak dengan memprediksikan bahwa konsep tadi dinyatakan benar oleh pandangan muslimin.
Kedua, perkembangan pola hidup manusia. Ketika muslim merupakan bagian komunitas alam yang saling mengikat, maka perubahan yang terjadi selalu memiliki keterikatan dengan yang lain. Baik pada komunitas muslim atau dengan yang di luar muslim. Perubahan pola hidup yang dimaksud adalah perubahan pola berfikir dan bertindak serta adanya tuntutan keperluan hidup. Sehingga hukum aktual yang ada dalam Islam merupakan suatu keharusan.
Pada sisi lain, tanpa adanya wahyu dan maksum yang berkuasa dalam kehidupan muslim, maka muslimin harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, yakni ia harus selalu berada dan berjalan di bawah hukum Ilahi. Maka usaha maksimal mendapatkan hukum tersebut merupakan kewajiban muslimin.
Dengan hal di atas pun bukan berarti permasalahan kewajiban tersebut telah terlepas dari persoalan, tetapi masih banyak masalah lain dalam ijtihad, seperti:
a. Apakah ijtihad hanya terbatas pada kasus-kasus yang tidak ada nashnya?
b. Apakah boleh berijtihad (ta'awul) ketika ada nash?
c. Mana yang harus didahulukan, ijtihad atau hadits nabawi?
d. Siapa yang berhak untuk berijtihad?
Empat kasus di atas telah membelah muslim menjadi dua pecahan, yaitu kelompok Ahl al-Ra'yu dan Ahl al-Hadits, tanpa disadari. Boleh jadi, dari sini pula kelompok kalam terbagi menjadi Mu'tazilah yang menggunakan akal untuk qiyas dalam menentukan hasan (baik) dan qubuh (buruk); dan kelompok Asy'ariy yang lebih mengutamakan hadits nabawi.
Apapun yang terjadi, permasalahan ini akan kembali kepada persoalan: adakah kini masih terbuka pintu ijtihad dan siapa yang dibenarkan untuk berijtihad?
Dibalik pertanyaan ini sebenarnya tersembunyi suatu hal yang sangat penting, yaitu fiqih itu sendiri. Karena, fiqih merupakan gambaran atau penjelas dari simbol dan amal serta kriteria Islam. Dengan kata lain, gambaran Islam dapat dilihat dari keberadaan fiqih. Keislaman seseorang terlihat dengan bentukan (pengejawantahan) fiqih pada dirinya. Karena itu keberadaan ijtihad dan mujtahid memegang peran yang sangat penting atas keberadaan Islam dalam kehidupan manusia.
Dalam Surat al-Taubah ayat 122 ditegaskan: "Mengapa tidak pergi sebagian di antara setiap golongan kamu untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya bila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya."
Fiqih berasal dari akar kata tafaqquh. Fiqih adalah pemahaman mendalam serta pengertian sempurna tentang realitas sesuatu. Al-Raghib al-Isfahani dalam Mufrad Al-Quran menyatakan bahwa tafaqquh ialah spesialisasi, dengan mengatakan: tafaqqahu idza thalabahu fatakhashshasha bihi. Begitulah, Al-Quran memerintahkan muslimin untuk memperdalam pengetahuan sehingga dapat mengatasi problema kehidupan ini.
Bergabungnya Semua Hukum Islam dengan Politik
Islam bukan merupakan satu sisi penilai terhadap persoalan, tapi Islam merupakan penilai dan penilaian dari semua sisi. Semua permasalahan, baik yang berhubungan dengan dunia, politik, masyarakat, ekonomi, dan juga semua permasalahan yang berhubungan dengan sisi-sisi yang tidak diketahui oleh ahli-dunia. Agama Tauhid didatangkan agar manusia mengetahui kedua sisi tersebut dan membahasnya. Dan untuk keduanya terdapat hukum di dalamnya.
Karena itu, muslim yang ber-tauhid tentu saja tidak hanya memandang dari satu sisi saja dan melupakan sisi lain. Islam, yang kesempurnaannya melebihi agama lain, semua hukumnya bergabung dengan politik. Semuanya terikat dalam politik. Shalat bersenyawa dengan politik. Haji, zakat, pelaksanaan negara, semuanya berhubungan dengan politik. Kaum isti'mar (penindas)-lah yang berusaha hendak memisahkan dan mengesampingkannya.
Dengan ini fungsi fuqaha (jamak dari faqih) merupakan fokus perjalanan Islam di tengah kehidupan Islam. Dinyatakan dalam ungkapan: "Fuqaha adalah benteng Islam seperti benteng kota untuk membentengi kota." Dari sisi lain dinyatakan: "Ulama adalah pewaris Nabi."
Jadi, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah faqih (yang menguasai fiqih) yang dapat menjaga Islam. Maka ulama akan masuk dalam standar keulamaan dengan predikat faqih-nya, untuk menjaga Islam. "Demikianlah sesungguhnya perjalanan semua hal dan ahkam ada pada tangan ulama Ilahi, penanggung-jawab halal dan haram-Nya."
IV.24. TAQLID DAN IJTIHAD (1/4)Beberapa Pengertian Dasar Oleh KH. Ibrahim Hosen 1. IJTIHAD Tulisan ini akan mendahulukan masalah ijtihad, baru kemudianmenyoroti masalah taqlid. Minimal ada tiga alasan kenapalebih mendahulukan ijtihad daripada taqlid. 1. Sekedar mengikuti kelaziman, dimana dalam buku-buku Ushul Fiqh, masalah ijtihad selalu lebih dahulu dibicarakan sebelum masalah taqlid. 2. Taqlid tidak akan ada tanpa ijtihad. Dengan demikian seseorang hanya dibenarkan bertaqlid kepada mujtahid yang mu'tabar. 3. Persoalan taqlid akan lebih mudah dipahami jika seseorang telah memahami persoalan ijtihad. Dalam tulisan ini saya hanya akan bicara tentang beberapaaspek ijtihad dan taqlid yang dipandang penting; mengingatkedua masalah itu amat sering diperbincangkan, disampingbanyaknya buku yang mengupas masalah tersebut yang mudahkita temukan. PENGERTIAN IJTIHAD Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuanuntuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini makatidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untukmelakukan sesuatu yang mudah/ringan. Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinyadengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untukmelakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanyatidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarangorang. Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakanpara sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihadadalah "penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatuyang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah dan Sunnah Rasul, baikyang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal denganqiyas (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh darimaksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenaldengan "mashlahat." Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada duakelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritasdan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi.Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihadmenurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas. Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenapkesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untukmemperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukumsyara' (hukum Islam). Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulansebagai berikut: 1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain. 2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau hukum khuluqi, 3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni. Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatasmaka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertianistilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan inikomentator Jam'u 'l-Jawami' (Jalaluddin al-Mahally)menegaskan, "yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkanmaka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu'. (Jam'u'l-Jawami', Juz II, hal. 379). Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yangmengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah.Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh,salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihadjuga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan sajamenunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu(ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensipembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaranitulah Jumhur 'ulama' telah bersepakat bahwa ijtihad hanyaberlaku di bidang hukum (hukum Islam) denganketentuan-ketentuan tertentu. MEDAN IJTIHAD Di atas telah ditegaskan bahwa ijtihad hanya berlaku dibidang hukum. Lalu, hukum Islam yang mana saja yang mungkinuntuk di-ijtihad-i? Adakah hal itu berlaku di dunia hukum(hukum Islam) secara mutlak? Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, sertaperbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, danakan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yangmemenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalulijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkanperanannya adalah: 1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas. 2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin. 3. Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan. 4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid). Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam,disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosanbaru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telahmemenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagaimujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak. Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidakberlaku atau tidak dibenarkan pada: 1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah." Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas." Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an. 2. Hukum Islam yang telah diijma'i ulama. 3. Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli 'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui mujtahid). Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukanpada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihadakan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad ituberlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah,"Tidak ada ijtihad dalam melawan nash." PERBEDAAN YANG DITOLERIR Ijtihad dilegalisasi bahkan sangat dianjurkan oleh Islam.Banyak ayat al-Qur'an dan Hadits Nabi yang menyinggungmasalah ini. Islam bukan saja memberi legalitas ijtihad,akan tetapi juga mentolerir adanya perbedaan pendapatsebagai hasil ijtihad. Hal ini antara lain diketahui dariHadits Nabi yang artinya, "Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu iamelakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka iamemperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahalakebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan iaberijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka iamendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)." (Riwayat Bukhari
MuslimIV.24. TAQLID DAN IJTIHAD (2/4)Beberapa Pengertian Dasar Oleh KH. Ibrahim Hosen Hadits di atas bukan saja memberi legalitas ijtihad, akantetapi juga menunjukkan kepada kita bahwa adanya perbedaanpendapat sebagai hasil ijtihad ditolerir. Prinsip inidipegang teguh oleh para imam mujtahid; sehingga muncullahucapan mereka yang sangat populer, "Pendapat kami benar,tetapi mengandung kemungkinan salah; dan pendapat selainkami salah, tetapi mengandung kemungkinan benar." Hal ini sejalan dengan status fiqih sebagai produk ijtihadyang statusnya dhanny, yang artinya kebenarannya tidakbersifat absolut, ia benar tetapi mengandung kemungkinansalah, ia salah tetapi mengandung kemungkinan benar. Hanyasaja, menurut mujtahid, porsi kebenarannya lebihdominan/rajih. Perbedaan pendapat dalam hukum Islam sebagaihasil ijtihad inilah yang ditegaskan Nabi akan membawarahmat (kelapangan bagi umat) sebagaimana diketahuiditegaskan dalam sebuah hadits, "Perbedaan pendapat dikalangan ulama akan membawa rahmat." (Abu NasharAl-Muqaddasi). Yang dimaksud dengan perbedaan di sini adalah perbedaanpendapat dalam hukum Islam ijtihady, yakni fiqih. Inilahyang ingin saya tegaskan dalam kesempatan ini mengingatadanya sementara pihak yang menggunakan hadits marfu' untukmembenarkan adanya perbedaan pendapat di bidang aqidah yangakan bermuara pada paham "pluralisme agama" -semua agamasama atau benar. Ini jelas tidak dapat dibenarkan. Apabilabenar bahwa semua agama itu sama tentu tidak ada kewajibanberda'wah, amar ma'ruf nahi munkar, jihad dan sebagainya.Demikian juga al-Qur'an tidak perlu diturunkan. IJTIHAD TIDAK DAPAT DIGUGURKAN DENGAN IJTIHAD Di atas telah disinggung bahwa hukum yang dihasilkan olehijtihad statusnya dhanny. Oleh sebab itu maka ijtihad yangsatu tidak dapat membatalkan ijtihad yang lain, sejalandengan kaidah, "Ijtihad yang satu tidak dapat digugurkanoleh ijtihad yang lain." Betapapun lemahnya suatu ijtihad, ia tetap eksis, tidakdapat begitu saja dilenyapkan oleh ijtihad yang lain,betapapun kuat dalilnya. Apabila hal ini dapat kita pegangisecara konsisten maka jiwa tasammuh dalam menanggapi anekaragam pendapat di bidang fiqih sebagai akibat perbedaandalam berijtihad akan tetap dapat ditumbuhkan; sehingga kitaakan sanggup menjadikan perbedaan pendapat tersebut sebagairahmat yang memporak-porandakan persatuan umat Islam. Prinsip tasammuh sebagai manifestasi dari status fiqih yangbersifat dhanny tersebut dipegang teguh oleh para ImamMujtahid; sehingga muncullah ucapan mereka yang sangatpopuler, "Pendapat kami benar, tapi mengandung kemungkinansalah; dan pendapat selain kami salah, tetapi mengandungkemungkinan benar." SYARAT-SYARAT IJTIHAD. Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahidharus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekianpersyaratan itu yang terpenting ialah: 1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum. 2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum. 3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'. 4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum. 5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an. 6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum. 7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u 'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u 'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat. 8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening). 9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya. 10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya. MACAM-MACAM TINGKATAN IJTIHAD. Ijtihad terdiri dari bermacam-macam tingkatan, yaitu: 1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat. 2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil. 3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi'i. 4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan. BENARKAH PINTU IJTIHAD SUDAH DIKUNCI? Para ahli fiqih telah sepakat bahwa ijtihad denganpengertian penyesuaian suatu perkara dengan sesuatu hukumyang sudah ada tetap terbuka. Ijtihad kategori ini tidaktermasuk ketentuan ijtihad menurut ketentuan ushul fiqih. Perbedaan pendapat terjadi pada ijtihad menurut definisiushul fiqih. Sebagian ulama berpendapat bahwa pintu ijtihadtelah tertutup. Gema ini digelorakan oleh ulama-ulamamutakhirin pada awal abad ke-IV Hijriah setelah dunia Islamdiliputi kabut ta'ashub madzhab serta banyaknya man laisalahu ahlu 'l-Ijtihad (mujtahid karbitan) yang tampil mengakusebagai mujtahid. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa pintu ijtihadtetap terbuka dan dapat dimasuki oleh siapa saja yangmemiliki kuncinya (memenuhi persyaratan). Pendapat iniantara lain diproklamirkan Imam al-Syaukani pada pertengahanabad ke-XIII Hijriah, yang kemudian di Mesir digalakkan olehSyekh Al-Maraghy, Rektor Universitas Al-Azhar pada waktuitu. Golongan yang memandang bahwa ijtihad adalah sumber hukum,mereka berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka.Sedangkan golongan yang memandang bahwa ijtihad adalahkegiatan/pekerjaan mujtahid, mereka berpendapat bahwa pintuijtihad telah tertutup, yaitu sejak wafatnya imam-imammujtahid kenamaan. Kini, kita perlu mengetahui argumentasi dari golongan yangberpendapat bahwa pintu ijtihad masih tetap terbuka, yaitu: 1. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang semestinya lincah dan dinamis menjadi kaku dan beku; sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, akan banyak kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur'an dan Sunnah serta belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, tidak dapat diketahui bagaimana status hukumnya. 2. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam 3. Dengan membuka pintu ijtihad maka setiap permasalahan baru yang dihadapi umat, akan dapat diketahui hukumnya. Dengan demikian maka hukum Islam akan selalu berkembang dan tumbuh subur serta sanggup menjawab tantangan zaman. Golongan yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutupantara lain beralasan: 1. Hukum Islam baik dalam bidang 'ibadah, mu'amalah, munakahah, jinayah dan lain sebagainya seluruhnya sudah lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi. Karena itu kita tidak perlu melakukan ijtihad lagi. 2. Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui Madzhab Empat. Oleh karena itu tiap-tiap yang menganut madzhab Ahl al-Sunnah harus memilih salah-satu dari Madzhab Empat. Ia harus terikat tidak boleh pindah madzhab. 3. Membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan membuang-buang waktu, juga hasilnya akan berkisar: a. Mungkin berupa hukum yang terdiri dari koleksi pendapat antara dua madzhab atau lebih, yang biasa kita kenal dengan istilah talfiq, yang kebolehannya masih diperselisihkan kaum ushuliyyin. b. Mungkin berupa hukum yang telah dikeluarkan oleh salah satu Madzhab Empat, yang berarti ijtihad yang dilakukan itu hanyalah tahsil al-hasil c. Mungkin berupa hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab di luar Mazhab Empat. Padahal, menurut mayoritas ulama Ahl al-Sunnah, selain Mazhab Empat tidaklah dianggap. d. Mungkin berupa hukum yang tidak seorangpun ulama Islam membenarkannya. Hal semacam ini pada hakikatnya menentang ijma'. 4. Realitas sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-IV Hijriah sampai detik ini tak seorangpun ulama berani menonjolkan diri atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai seorang mujtahid muthlaq/mustaqil. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad yang telah ditentukan itu memang sangat sulit kalau tidak dikatakan tidak mungkin lagi untuk saat seperti sekarang ini.
Sebelum saya mengambil kesimpulan dengan mempertemukan keduapendapat yang saling berbeda itu marilah kita ikuti hasilkeputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar Cairo yangbersidang pada bulan Maret 1964 M, sebagai berikut: "Mu'tamar mengambil keputusan bahwa al-Qur'an dan SunnahRasul merupakan sumber pokok hukum Islam; dan bahwaberijtihad untuk mengambil hukum dari al-Qur'an dan Sunnahdibenarkan manakala ijtihad itu dilakukan pada tempatnya;dan bahwa jalan untuk memelihara kemaslahatan dan untukmenghadapi peristiwa-peristiwa yang selalu timbul, hendaklahdipilih di antara hukum-hukum fiqih pada tiap-tiap mazhabsuatu hukum yang memuaskan. Jika tidak terdapat suatu hukumyang memuaskan dengan jalan tersebut, maka berlakulahijtihad bersama (kolektif) berdasarkan madzhab, dan jikatidak memuaskan maka berlakulah ijtihad bersama secaramutlaq. Lembaga penelitian akan mengatur usaha-usaha untukmencapai ijtihad bersama baik secara mazhab maupun secaramutlaq untuk dapat dipergunakan dimana perlu." Dari Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebutdapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Pintu ijtihad masih tetap terbuka bagi yang memenuhi persyaratan. 2. Ijtihad dibenarkan apabila dilakukan di tempat-tempat dimana ijtihad boleh dilakukan. 3. Butir pertama hanya berlaku untuk: a. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan (ijtihad fardy) maupun secara kolektif (ijtihad Jama'iy). b. Ijtihad di bidang madzhab apabila dilakukan secara kolektif (ijtihad madzhab jama'iy). c. Ijtihad muthlaq apabila dilakukan secara kolektif (ijtihad muthlaq jama'iy). 4. Poin kedua tidak berlaku untuk: a. Ijtihad madzhab secara perorangan (ijtihad madzhab fardy). c. Ijtihad muthlaq secara perorangan (ijtihad muthlaq fardy). Keputusan Lembaga Penelitian Islam al-Azhar tersebut sangatbijaksana, karena keputusan itu telah mempertemukan antaradua pendapat yang saling berbeda. Dengan demikian, pendapatyang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih tetap terbukaharuslah diartikan untuk: 1. Ijtihad di bidang tarjih baik bagi perorangan maupun kelompok secara kolektif, 2. Ijtihad madzhab secara kolektif 3. Ijtihad muthlaq secara kolektif, Demikian juga pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihadtelah tertutup haruslah kita artikan untuk: 1. Ijtihad mutlaq secara perorangan, 2. Ijtihad madzhab secara perorangan. Jadi tidak tepat, kalau secara mutlaq/tanpa batasan kitamengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Dansebaliknya, tidak tepat kalau kita mengatakan secaramutlaq/tanpa batasan bahwa pintu ijtihad masih tetapterbuka. Dan harus kita sadari bahwa pintu ijtihad masihtetap terbuka dalam bidang-bidang tertentu tersebut adalahbagi yang memenuhi syarat. Bagi yang tidak, tentunyatertutup kemungkinan untuk membuka pintu ijtihad dengansegala macam bentuknya. Menurut saya, mengingat sangat jarangnya faqih/ulama ahlihukum seperti saat sekarang ini, maka yang masih benar-benardapat dilakukan adalah: 1. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan maupun secara kolektif. 2. Ijtihad untuk kasus-kasus tertentu yang memang belum pernah dibahas oleh aimmat al-mujtahidin terdahulu. Hal ini dapat dilakukan secara perorangan maupun secara kolektif. Kelompok pertama sudah banyak dilakukan oleh Muhammadiyahdengan Majelis Tarjihnya, NU dengan Syuriyah dan BahstulMatsailnya, MUI dengan Komisi Fatwanya. Kelompok kedua,alhamdulillah, sudah banyak dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI;sayangnya belum banyak dipublikasikan. Pesan saya dalammenutup uraian tentang ijtihad ini, kalau memang bukan faqihyang menguasai kaidah-kaidah istinbath, janganlah sokberijtihad, sebab bisa berakibat fatal. Milikilahpersyaratan dan berijtihadlah di tempat-tempat yangdibenarkan untuk melakukan ijtihad sesuai dengan ketentuanyang berlaku. 2. TAQLID Tidak semua orang sanggup memahami hukum Islam secaralangsung dari dalil atau sumbernya, mengingat kecerdasan,daya tangkap dan ilmu yang dimiliki seseorang bagaimanapuntidaklah sama. Bagi mereka yang memenuhi persyaratan ijtihadsebagaimana telah disebutkan di atas, mereka akan sanggupmelakukan hal tersebut, yakni mengetahui, memahami danmenggali hukum Islam dari sumber atau dalilnya secaralangsung. Mereka itulah para mujtahid dengan segala macamtingkatannya. Bagi mereka yang tidak memiliki persyaratan ijtihad, tentutidak akan sanggup mengetahui, memahami dan menggali hukumIslam yang harus diamalkannya secara langsung dari dalilatau sumbernya. Untuk mengetahui hukum Islam yang akandiamalkannya, tentu mereka harus lewat perantara, yaituharus mengetahuinya melalui mujtahid. Dari sinilah munculpersoalan taqlid. Secara faktual, eksistensi taqlid memang tidak mungkindihindarkan, mengingat tingkatan manusia yang berbeda-beda. Kaidah Agama yang mengatakan, La taklifa fawqa 'l-istitha'a-manusia tidak akan ditaklif untuk melakukan sesuatu yangtidak mungkin dilaksanakan/diluar kemampuannya. Mentaklifatau mewajibkan seluruh umat manusia untuk meraih rutbatu'l-ijtihad jelas tidak mungkin. Disamping tidak logis dantidak realistis, hal itu juga akan membawa akibatterbengkalainya urusan-urusan duniawi/kehidupan yang lain,karena waktu dan segala konsentrasi umat manusia hanyatercurah kearah ijtihad. Ini jelas tidak rasionil. Memang harus kita sadari bahwa taqlid bukanlah merupakansistem atau metode keilmuan yang baik yang digunakanseseorang untuk memperoleh ilmu. Sebab, sistem dan metodeyang baik yang seharusnya kita jadikan washilah/saranamencapai atau memperoleh ilmu adalah nadhar. Sedangkanpenelitian, pengkajian dan penelaahan secara mendalam, yangkhusus untuk mencapai hukum furu'/fiqih dikenal denganijtihad. Oleh karena itu jumhur ulama telah mencapaikonsensus bahwa taqlid tidak dapat dijadikan dasar ataumetode keilmuan di bidang aqidah. Karena itu pula pelakutaqlid berdosa, sekalipun imannya sah. Sebagai contoh untukmengetahui bahwa Allah itu ada maka harus ditempuh lewatnadhar. Apabila hal itu diketahui lewat taqlid, ia berdosa,meski imannya dianggap sah. Taqlid di bidang aqidah inilahyang antara lain dicela al-Qur'an sebagaimana yangditegaskan dalam QS. al-Zuhruf Ayat 23, yang artinya sbb: "Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorangNabi/Rasul yang memberi peringatan pada suatu negeri,melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri ituberkata; "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak (leluhur)kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalahpengikut jejak-jejak mereka." Mengenai taqlid di bidang hukum Islam, khususnya fiqih,agama membenarkan, mengingat bahwa dalam masalah hukumtaklifi seseorang dibenarkan melakukan sesuatu berdasarkandhann-nya. Bahkan sebagian besar hukum taklifi dasarnyadhann. Disinilah antara lain perbedaan ajaran Islam yangberhubungan dengan masalah aqidah/keimanan dengan ajaranIslam yang berhubungan dengan masalah hukum. Dalam bidang aqidah/keimanan, semuanya bersifat qath'iy ataupasti benarnya. Oleh karena itu ulama telah sepakat bahwapenetapan aqidah haruslah berdasarkan nash qath'iyal-dalalah yang tidak mengandung pen-takwil-an. Sedangkandalam masalah hukum ada yang bersifat qathi'iy dan ada yangbersifat dhanny. Kalaulah dalam masalah hukum ini semuanyaharus berdasarkan dalil qath'iy, niscaya pen-taklid-an itujustru tidak jalan. Lantaran itulah maka taqlid di bidanghukum dibenarkan. Hanya saja tentunya kita jangan cukup puasmendudukkan diri kita pada kursi taqlid ini. Taqlid di bidang hukum inilah yang kita maksud dan yang akankita bicarakan dalam tulisan ini. PENGERTIAN TAQLID Menurut bahasa, taqlid -bentuk masdar dari kata qalladaberarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain,atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimanalehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambingyang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yangdapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing yangbersangkutan. Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kitaseolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorangmujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuahkalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya denganpendapat mujtahid/imam tersebut. Dalam praktek memang demikian. Seseorang yang telahbertaqlid dengan seorang mujtahid/imam, ia tidak akan begitumudah melepaskan diri dari ikatan itu, untuk kemudian pindahke pendapat selain imamnya/mujtahid yang diikuti; sehinggamuncullah rasa ta'ashub madzhab/fanatik madzhab yang kadangsampai berlebih-lebihan. Hal inilah yang pernah melanda umatIslam termasuk umat Islam di Indonesia sampai berpuluh-puluhtahun lamanya; sehingga umat Islam menjadi jumud dan Islamketinggalan zaman. Syukurlah setelah gelap kini terangpundatang, dan kini telah mulai memancar sinar itu ke ufukpenjuru dunia Islam termasuk Negeri Pancasila tercinta ini.Hal ini antara lain berkat digalakkannya studi fiqhperbandingan dan ushul fiqih perbandingan diperguruan-perguruan tinggi Islam. Kondisi yang baik iniharus terus kita kembangkan. Sedangkan taqlid menurut istilah ada beberapa rumusan,antara lain: 1. Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil. Demikian menurut al-Kamal Ibn al-Hammam dalam al-Tahrir. 2. Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak mengetahui dari mana orang itu berpendapat. Demikian menurut al-Qaffal. 3. Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan dalil. Demukian menurut al-Syaukany dalam Irsyad al-Fukhul. Sesuai dengan pengertian taqlid di atas maka beberapa halseperti di bawah ini tidaklah termasuk kategori taqlid.Beberapa hal itu ialah: a. Beramal berdasarkan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi. b. Beramal berdasarkan ijma' c. Seorang hakim yang memutuskan perkara berdasarkan kesaksian saksi yang adil. Sementara pihak ada yang membedakan antara taqlid danittiba'. Taqlid ialah mengamalkan pendapat orang lain tanpamengetahui dalilnya, sedangkan ittiba' adalah beramal ataumengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnya.Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa beramal ataumengamalkan pendapat orang lain dengan mengetahui dalilnyaadalah ijtihad. Menurut hemat saya yang ada hanyalah ijtihaddan taqlid. Jadi Ittiba' itu sendiri termasuk kategoritaqlid, hanya istilah dan tingkatannya saja yang berbeda,tapi hakikatnya sama, yaitu sama-sama mengikuti pendapatorang lain.HARAM IJTIHAD DAN WAJIB TAQLID Bagi orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihadbaik mereka ulama maupun awam, haram bagi mereka berijtihad.Sebab ijtihad yang dilakukannya justru akan membawa padakesesatan. Dan Allah berfirman, yang artinya, "Allah tidakmenaklif/memberi pembenahan kewajiban kepada seseorangkecuali sesuai dengan kemampuannya." Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad semacamitu wajib mengikuti pendapat imam mujtahid yang mu'tabaratau istifta'/meminta penjelasan hukum kepada ahl al-dzikr,sejalan dengan firman-Nya, "Bertanyalah kepada ulama apabilakamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43). WAJIB IJTIHAD DAN HARAM TAQLID Bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad makawajib bagi mereka berijtihad dan mengamalkan hasilijtihadnya. Tidak dibenarkan/haram baginya bertaqlid ataumengikuti pendapat mujtahid yang lain. Kearah inilah haruskita fahami ucapan imam-imam mujtahid kenamaan sepertiHanafi, Syafi'i dan lain-lain yang melarang taqlid. Artinya,bagi yang mampu berijtihad sendiri karena telah memenuhipersyaratannya janganlah mengikuti atau bertaqlid kepadamujtahid yang lain, tetapi wajib berijtihad sendiri. Dengan demikian tidak benar jika kita mengatakan bahwaijtihad itu wajib dan taqlid itu haram secara mutlaq/tanpaada batasan. Sebab tidak realistis. Kenyataan menunjukkanbahwa sejak dahulu sampai saat sekarang dan akan berlanjutterus sampai akhir zaman nanti, mayoritas umat Islam darikalangan awam. Yang awam ini jelas tidak mungkin untukdipaksakan harus mengupayakan dirinya menjadi mujtahid.Diantara ulama yang mengharamkan taqlid dan mewajibkanijtihad tanpa ada batasan-batasan tertentu ialah Ibnu Hazmdan al-Syaukany. Bagi kita yang harus kita tempuh ialah mengusahakanbagaimana agar lahirnya ulama-ulama yang ahlu li 'l-ijtihaddapat diperbanyak. Kalau sudah pada tempatnya untuk duduk dikursi ijtihad, janganlah menduduki bangku taqlid. Sebab adabeberapa ulama yang semestinya mereka mampu berijtihad,tetapi nyatanya masih tetap menjadi muqallidin yang setia.Demikian juga harus kita usahakan, jangan sampai terjadiadanya "man laisa lahu ahlun li 'l-ijtihad" memberanikandiri untuk berijtihad. Ini sangat berbahaya. TINGKATAN TAQLID/MUQALLID Sebagaimana halnya ijtihad/mujtahid yang bertingkat-tingkat,demikian juga taqlid/muqallid yang terdiri dari beberapatingkatan, yaitu: 1. Taqlid secara total/murni (taqlid al-mahdli), seperti taqlid yang dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana dalam keseluruhan hukum Islam, mereka mengikuti pendapat imam mujtahid. 2. Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti yang dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang madzhab, bidang tarjih, dan bidang fatwa. Dengan demikian dilihat dari satu segi, mereka dianggap sebagai mujtahid, tetapi dilihat dari sisi lain, mereka termasuk muqallid. 3. Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang dilakukan oleh mujtahid muntasib. MASALAH TALFIQ Berbicara masalah taqlid, rasanya tidak lengkap kalau kitatidak menyinggung masalah talfiq. Menurut definisinya,talfiq ialah beramal dalam suatu masalah/qadliyah atas dasarhukum yang terdiri dari kumpulan/gabungan dua mazhab ataulebih. Ushuliyyin berbeda pendapat mengenai boleh dan tidaknyaseseorang ber-talfiq. Perbedaan ini bersumber dari masalahboleh dan tidaknya seseorang pindah mazhab. Artinya, apabilaseseorang telah mengikuti/bertaqlid dengan salah satumazhab, apakah ia harus terikat dengan madzhab tersebut yangberarti ia tidak dibenarkan mengikuti atau pindah ke madzhablain, ataukah ia tidak terikat dengan arti boleh baginyamengikuti atau pindah ke madzhab lain? Dalam hal ini adatiga pendapat: 1. Apabila seseorang telah mengikuti salah satu mazhab maka ia harus terikat dengan madzhab tersebut. Baginya tidak boleh pindah ke madzhab lain baik secara keseluruhan maupun sebagian (talfiq). Pendapat ini tidak membenarkan talfiq. Pendapat pertama ini dipelopori oleh Imam Qaffal. Pendapat ini rupanya yang banyak memasyarakat di Indonesia, yang di zaman partai-partai Islam masih ada, sempat dipolitisir dan eksploitir. 2. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja pindah ke madzhab lain, walaupun dengan motivasi mencari kemudahan, selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalam kesatuan qadliyah) dimana imam yang pertama dan imam yang kedua atau imam yang sekarang diikuti sama-sama menganggap batal. Pendapat kedua ini membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk mencari kemudahan, dengan ketentuan tidak terjadi dalam kesatuan qadliyah yang menurut imam pertama dan imam kedua sama-sama dianggap batal. Golongan ini dipelopori olah al-Qarafi. 3. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah madzhab, sekalipun dimaksudkan untuk mencari keringanan. Pendapat ini memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk tujuan mencari keringanan tersebut. Pendapat ketiga ini dipelopori oleh Al-Kamal Ibnu Hammam. Dari segi dalil maupun kemaslahatan diantara ketiga pendapatdi atas menurut hemat saya yang paling kuat adalah pendapatAl-Kamal Ibnu Hammam dengan alasan antara lain: 1. Tidak ada nash agama baik dari al-Qur'an maupun Sunnah yang mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu mazhab saja. Yang ada adalah perintah untuk bertanya kepada ulama tanpa ditentukan ulama yang mana dan siapa orangnya (QS. al-Nahl: 43). 2. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah disuruh memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling mudah, selama tidak membawa ke dosa. 3. Kaidah yang berbunyi, "al-ami la madzhaba lahu" -orang awam tidak punya mazhab. Tidak punya mazhab artinya tidak terikat. Hanya saja dalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan makayang berlaku adalah mazhab pemerintah atau pendapat yangdiundangkan pemerintah lewat perundang-undangan. Hal inidimaksudkan untuk keseragaman dan menghindarkan adanyakesimpang-siuran. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Keputusanpemerintah mengikat atau wajib dipatuhi dan akanmenyelesaikan persengketaan." Contoh Talfiq a. Dalam Ibadat. 1. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu kurang dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit dengan ajnabiyah; ia terus bershalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak membatalkan wudlu. 2. Seseorang berwudlu mengikuti tata cara Syafi'i, kemudian ia bershalat dengan menghadap kiblat dengan posisi sebagaimana ditentukan oleh madzhab Hanafi. b. Masalah Kemasyarakatan 1. Membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi karena mengikuti madzhab Syafi'i; mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafi yang memandang sah ruju' bi 'l-fi'li (langsung bersetubuh). 2. Terjadi ru'yah yang mu'tabarah pada suatu tempat, kemudian Qadli Syafi'i menetapkan bahwa ru'yah tersebut berlaku pada seluruh wilayah kekuasaannya, sebab Qadli tadi berpegang dengan pendapat madzhab Maliki dan Hanafi yang tidak memandang persoalan mathla'. Kesimpulan Dari beberapa uraian di atas ingin saya ambil beberapakesimpulan sebagai berikut: 1. Ijtihad merupakan sarana yang paling efektif untuk mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang sanggup menjawab tantangan zaman (shalihun li kulli zaman wa makan). 2. Ijtihad baru akan berfungsi dan berdayaguna sebagaimana disebutkan pada Butir pertama jika ijtihad dilakukan para ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan pada tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui kebenaran dan kesalahannya). 3. Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya, apabila hal itu dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan peranan ijtihad. 4. Ijtihad yang dilakukan oleh yang bukan ahlinya/yang tidak memenuhi persyaratan atau dilakukan tidak pada tempatnya justru akan membawa kehancuran Islam dan bencana serta malapetaka bagi umatnya. Na'udzu bi 'l-Lah. 5. Ijtihad yang saat ini benar-benar masih dapat kita lakukan ialah ijtihad di bidang tarjih dan ijtihad dalam kasus-kasus tertentu yang belum pernah diijtihadi dibahas oleh imam-imam mujtahid terdahulu. Keduanya ini dapat kita lakukan secara perorangan (ijtihad fardy) atau secara kolektif (ijtihad jamma'iy). 6. Ijtihad sepanjang pengertian ushuliyyin hanyalah berlaku di dunia hukum. 7. Perbedaan yang ditolerir oleh Islam yang dinyatakan akan membawa rahmat/kelapangan adalah perbedaan di bidang hukum furu'/fiqih sebagai akibat dari adanya perbedaan ijtihad. 8. Untuk menggalakkan ijtihad guna menjadikan hukum Islam ini dinamis dan lincah perlu digalakkan studi fiqih perbandingan dan ushul fiqih perbandingan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi. 9. Ijtihad dapat kita jadikan alat untuk menjawab perlu dan tidaknya reaktualisasi hukum Islam dan hal itu hanya memenuhi persyaratan ijtihad. Tanpa itu hanya omong kosong. 10.Marilah kita menjadi mujtahid yang benar atau muqallid yang baik yang mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran agama Islam. DAFTAR KEPUSTAKAAN 1. Al-Syafi'i, al-Risalah 2. Muhammad bin 'Ali al-Bashri, al-Mu'tamad 3. Al-Juwaini, al-Burhan 4. Al-Ghazali, al-Musthafa 5. Fakhruddin al-Razi, al-Mahshul 6. Al-Amidi, Inkamu 'l-Ihkam 7. Al-Baidlawi, Minhaju 'l-Ushul 8. Al-Asnawi, Nihayatu 'l-Sul 9. Al-Subki, Jam'ul Jawami'10. Ushulus-Sarkhasi11. Ushulul-Bazdawi12. Al-Nasafi, al-Manar13. Al-Baghdadi, Badi'un-Nidham14. Shadrus-Syari'ah Al-Bukhari, Ranqikhu 'l-Ushul15. Al-Kamal Ibnul-Hammam, al-Tahrõr16. Muhammad bin Amir al-Halabi, Taisirut-Tahrir17. Al-Syaukani, Irsyadu 'l-Fukhul18. Muhibbu 'l-Lah "Abdus-Syakur," Musallamu 'l-Tsubur19. al-Syathibi, al-Muwafaqat20. Ibnul Qayyim, A'lamu 'l-Muwaqq'in
Tidak ada komentar:
Posting Komentar