Sabtu, 31 Januari 2009

ASBABUN NUZUL

ASBABUN NUZUL
Dec 18, '07 1:06 AMfor everyone
BAB I
PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin dan menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus mereka imani dan aplikasikan dalam kehidupan mereka agar mereka memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidaklah berlebihan jika selama ini kaum muslimin tidak hanya mempelajari isi dan pesan-pesannya. Tetapi juga telah berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga otentitasnya. Upaya itu telah mereka laksanakan sejak Nabi Muhammad Saw masih berada di Mekkah dan belum berhijrah ke Madinah hingga saat ini. Dengan kata lain upaya tersebut telah mereka laksanakan sejak al-Qur’an diturunkan hingga saat ini. Mengenai mengerti asbabun nuzul sangat banyak manfaatnya. Karena itu tidak benar orang-orang mengatakan, bahwa mempelajari dan memahami sebab-sebab turun al-Qur’an itu tidak berguna, dengan alasan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an itu telah masuk dalam ruang lingkup sejarah. Di antara manfaatnya yang praktis ialah menghilangkan kesulitan dalam memberikan arti ayat-ayat al-Qur’an.
Imam al-Wahidi menyatakan; tidak mungkin orang mengerti tafsir suatu ayat, kalau tidak mengetahui ceritera yang berhubungan dengan ayat-ayat itu, tegasnya untuk mengetahui tafsir yang terkandung dalam ayat itu harus mengetahui sebab-sebab ayat itu diturunkan.

Ulama salaf tatkala terbentur kesulitan dalam memahami ayat, mereka segera kembali berpegang pedoman asbabun nuzulnya. Dengan cara ini hilanglah semua kesulitan yang mereka hadapi dalam mempelajari al-Qur’an tentang “Asbabun Nuzul”.
Dalam hal ini penulis mencoba menuangkan dalam bentuk makalah yang berjudul “ASBABUN NUZUL” dengan harapan semoga makalah ini dapat menambah keimanan dan keilmuan kita baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amien.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qur’an Menurut Bahasa
Al-Qur’an Menurut Bahasa
Di kalangan para ulama dan pakar bahasa Arab tidak ada kesepakatan tentang ucapan, asal pengambilan dan arti kata al-Qur’an.[1] Di antara mereka berpendapat bahwa kata al-Qur’an itu harus diucapkan tanpa huruf hamzah. Termasuk mereka yang berpendapat demikian adalah al-Syafi’i[2] al-Farra[3] dan al-Asy’ari[4]. Para pakar lain berpendapat bahwa kata al-Qur’an tersebut harus diucapkan dengan memakai huruf hamzah. Termasuk mereka yang berpendapat seperti ini adalah al-Zajjaj[5] dan al-Lihyani.[6]

B. Definisi Al-Qur’an
Kalau berkenaan dengan al-Qur’an menurut bahasa, para ulama telah berbeda pendapat, demikian pula sikap mereka dalam memberikan definisinya. Misalnya, Prof. DR. Syekh mahmud Syaitut mendifinisikan al-Qur’an dengan:
اللفظ العربي المنزل على نبينا محمد صلى الله عليه وسلم المنقول إلينا بالتواتر[7]
Artinya: “Lafaz Arab yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw dan disampaikan kepada kita secara mutawatir.”
Al-Qur’an juga mengandung sebab-sebab diturunkannya suatu ayat yang dikenal dengan istilah “Asbabun Nuzul”. Tetapi dalam keseluruhan isi al-Qur’an, tidak semuanya ada ayat yang mengandung asbabun nuzul, hanya sebagian ayat saja.

C. Pengertian Asbabun Nuzul
Secara etimologis, asbabun nuzul ayat itu berarti sebab-sebab turun ayat. alam pengertian sederhana turunnya suatu ayat disebabkan oleh suatu peristiwa, sehingga tanpa adanya peristiwa itu, ayat tersebut itu tidak turun.[8] Sedangkan menurut Subhi Shalih misalnya menta’rifkan (ma’na) sababun nuzul ialah:
ما نزلة الأية او الآيات بسببه متضمنة له أو مجيبة عنه أو مبينة لحكمه زمن وقوعه.[9]
“Sesuatu yang dengan sebabnyalah turun sesuatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban tentang sebab itu, atau menerangkan hukumnya; pada masa terjadinya peristiwa itu.”
Yakni, sesuatu kejadian yang terjadi di zaman Nabi Saw, atau sesuatu pertanyaan yang dihdapkan kepada Nabi dan turunlah suatu atau beberapa ayat dari Allah Swt yang berhubungan dengan kejadian itu, atau dengan penjawaban pertanyaan itu baik peristiwa itu merupakan pertengkaran, ataupun merupakan kesalahan yang dilakukan maupun merupakan suatu peristiwa atau suatu keinginan yang baik.
Definisi yang dikemukakan ini dan yang diistilahi, menghendaki supaya ayat-ayat al-Qur’an, dibagi dua:
Ayat yang ada sebab nuzulnya.
Ayat yang tidak ada sebab nuzulnya.
Memang demikianlah ayat-ayat al-Qur’an. Ada yang diturunkan tanpa didahului oleh sesuatu sebab dan ada yang diturunkan sesudah didahului sebab.[10] Tetapi hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak semua ayat al-Qur’an diturunkan. Karena timbul suatu peristiwa dan kejadian.[11] Oleh karena itu, tujuan studi al-Qur’an mencakup beberapa permasalahan yang hendaknya harus dipelajari bukan saja masalah asbabun nuzul. Tetapi juga mempelajari masalah bagaimana cara membaca al-Qur’an, bagaimana tafsirnya dan juga tidak kalah penting masalah nasakh dan mansukh,[12]
Pembahasan dimensi sejarah. Kisah-kisah al-Qur’an ini tidak dimaksudkan untuk mempelajari makna historis kisah-kisah al-Qur’an. Namun di sini akan mencoba mengungkapkan nilai historis sejarah turunnya suatu ayat.[13] Ada perselisihan pendapat di antara ulama tafsir, pada ungkapan sahabat: “Turunnya ayat ini dalam kasus begini”. Apakah pengertian ini masuk dalam musnad yakni sesuai bila disebutkan dengan tegas, bahwa turunnya ayat ini berkaitaan erat dengan kasus tersebut.[14] Jadi masalah mempelajari turunnya suatu ayat bukan hanya dipahami sebagai doktrin normatif semata, tetapi juga harus dapat dikembangkan menjadi konsepsi operatif.[15]

D. Latar Belakang Turunnya Ayat
Di antara sekian banyak aspek yang banyak memberikan peran dalam menggali dan memahami makna-makna ayat al-Qur’an ialah mengetahui sebab turunnya. Oleh karena itu, mengetahui asbabun nuzul menjadi obyek perhatian para ulama. Bahkan segolongan diantara mereka ada yang mengklarifikasikan dalam suatu naskah, seperti Ali Al-Maidienie, guru besar imam Bukhari.
Dari sekian banyak kitab dalam masalah ini, yang paling terkenal ialah: karangan Al-Wahidie, Ibnu Hajar dan As-Sayuthi. Dan As-Sayuthi telah menyusun dalam suatu kitab besar dengan judul “Lubaabun Nuquul fie Asbabin Nuzuul”.
Boleh dikata, untuk mengetahui secara mendetail tentang aneka corak ilmu-ilmu al-Qur’an serta pemahamannya, tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui asbabun nuzuul[16] seperti pada firman Allah :
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q—9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììÅ™ºur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ[17]
Artinya: “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap disitulah wajah Allah”. (Q.S. Al-Baqarah: 115)
Ayat ini kadang kala diartikan, boleh menghadap ke arah mana pun saja selain kiblat. Pengertian ini jelas salah, sebab di antara syarat sahnya sembahyang ialah menghadap kiblat.
Akan tetapi dengan mengetahui sebab-sebab turunnya, akan jelas pengertian ayat ini, di mana ayat ini diturunkan bagi siapa yang sedang di tengah perjalanan dan tidak tahu mana arah kiblat. Maka ia harus berijtihad dan menyelidiki, kemudian sembahyang kemana saja ia menghadap, sahlah shalatnya. Dan tidak diwajibkan kepadanya bersembahyang lagi setelah bersembahyang apabila ternyata salah.

E. Ilmu Asbabun Nuzul
Allah menjadikan segala sesuatu melalui sebab-musabbab dan menurut suatu ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabbab dan berbagai tahap perkembangan. Tidak sesautu pun terjadi di dalam wujud ini kecuali setelah melewati pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga perubahan pada cakrawala pemikiran manusia terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan. Itulah sunnatullah (hukum Allah) yang berlaku bagi semua ciptaan-Nya, “dan engkau tidak akan menemukan perubahan pada sunnatullah” (al-Ahzab, 62).
Tidak ada bukti yang menyingkap kebenaran sunnatullah itu selain sejarah, demikian pula penerapannya dalam kehidupan. Seorang sejarahwan yang berpandangan tajam dan cermat mengambil kesimpulan, dia tidak akan sampai kepada fakta sejarah jika tidak mengetahui sebab-musabbab yang mendorong terjadinya peristiwa.
Tapi tidak hanya sejarah yang menarik kesimpulan dari rentetan peristiwa yang mendahuluinya, tapi juga ilmu alam, ilmu sosial dan kesusastraan pun dalam pemahamanya memerlukan sebab-musabbab yang melahirkannya, di samping tentu saja pengetahuan tentang prinsip-prinsip serta maksud tujuan.[18]

F. Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat. Itu disebutkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat, tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah. Al-Wahidie mengatakan, “Tidak halal berpendapat mengenai asbabun Nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahasnya tentang pengertiannya serta bersungguh-sungguh dalam mencarinya”. Al-Wahidie telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan “Sekarang setiap orang suka mengada-ngada dan berbuat dusta: ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan acaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat”.[19]


G. Kisah Nuzulnya Ayat
Menanamkan sebab turunnya ayat dengan kisah nuzulnya ayat, sungguhlah mengisyaratkan kepada dzauq yang tinggi. Sebenarnya, asbabun nuzul tidaklah lain daripada kisah yang dipetik dari kenyataan dan kejadian, baik mengenai peristiwanya, maupun mengenai orang-orangnya. Dan kisah nuzul menimbulkan kegemaran untuk membaca kisah itu di setiap masa dan tempat, serta menghilangkan kejemuan, karena merasakan bahwa kisah-kisah (kejadian-kejadian itu) seolah baru saja terjadi.[20]

H. Perbedaan Pendapat Para Ulama Tentang Beberapa Riwayat Mengenai (Asbabun Nuzul)

Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian, sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut:
1. Apabila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, atau “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini”, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi di antara riwayat-riwayat itu. Sebab maksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk ke dalam makna ayat dan disimpulkan darinya, bukan menyebutkan sebab nuzul, kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya adalah penjelasan sebab nuzulnya.
2. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya “Ayat ini turun mengenai urusan ini”. Sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas; dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang asbabun nuzul.
“istri-istrimu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”. (Q.S. Al-Baqarah, 2 : 223)
Dari nafi disebutkan “Pada suatu hari aku membaca (istri-istri adalah ibarat tempat kamu bercocok tanam), maka kata Ibnu Umar: “Tahukah engkau mengenai apa ayat ini diturunkan?” Aku menjawab: “Tidak”, ia berkata ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi istri dari belakang”.[21]
Bentuk redaksi riwayat dari Ibnu Umar ini tidak dengan tegas menunjukkan sebab nuzul. Sementara itu terdapat riwayat yang sangat tegas menyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan orang-orang Yahudi berkata: “Apabila seorang laki-laki mendatangi istrinya dari arah belakang maka anaknya nanti akan bermata juling”, maka turunlah ayat tersebut”.[22]
Maka Jabir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang asbabun nuzul. Sedangkan ucapan Ibnu Umar, tidaklah demikian. Karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.

Diriwayatkan oleh Ibnu jarir, Abu Ya’la, Ibnu Mardaweh, Bukhari, Ath-Thabrany dalam Al-Ausath bahwa pada masa Nabi Saw ada seorang laki-laki mendatangi istrinya dari arah belakang, kemudian orang-orang membencinya. Kemudian turunlah ayat 223 surah al-Baqarah. Dari beberapa riwayat tersebut jelaslah terdapat beberapa perbedaan tentang turunnya suatu ayat. Namun apabila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat di antaranya itu shahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang shahih.


BAB III
P E N U T U P

A. Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan mu’jizat terbesar yang diturunkan Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dengan perantaraan Malikat Jibril As. disampaikan secara mutawatir dan bernilai ibadah bagi yang membacanya baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Al-Qur’an yang memiliki cita-cita para Nabi, dan menguraikan masalah hukum-hukum dan lain-lain ternyata ayat tersebut memiliki kekhasan tersendiri, di antaranya:
a. Masalah asbabun nuzul ayat yaitu sebab-sebab ayat-ayat al-Qur’an diturunkan.
b. Adapun asbabun nuzul mempunyai ruang lingkup pembahasan yang berkaitan langsung dengan peristiwa diturunkannya ayat al-Qur’an terutama dalam hubungan peristiwa dan ungkapan kata, baik teks ayat, maupun redaksi ayat.
Asbabun nuzul juga mengungkapkan ilmu tentang turunnya ayat-ayat al-Qur’an dimana para ulama berpedoman langsung kepada riwayat yang shahih yang berasal dari Nabi Saw atau dari shabat sejak zaman tarikh Islam klasik yang berisikan kisah-kisah nuzulnya ayat mengenai asbabun nuzulnya suatu ayat terkadang para ulama telah terjadi perbedaan pendapat, misalnya:
a. Apabila bentuk-bentuk redaksi ayat itu tidak tegas, seperti “Aku mengira ayat ini turun mengenai urusan ini” maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi.
b. Apabila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti “Ayat ini turun mengenai urusan ini”, sedang riwayat lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang termasuk di dalam hukum ayat.
c. Para perawi dan kita sekarang dapat membaca dan meneliti keabsahan berita tentang turunnya ayat-ayat al-Qur’an itu, dan dengan demikian dapat memahami al-Qur’an dengan baik. Itulah urgensinya mengetahui asbabun nuzul.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Aththar, Dawud, Dr., Perspektif Baru Ilmu Al-Qur’an, Pengantar DR. M. Quraish Shihab, Beirut, Pustaka Hidayah, 1979.

Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Litera Antarnusa, Pustaka Islamiyah, 1973.

Ash-Shabunie, Moh. Ali, Pengantar Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Surabaya, Al-Ikhlas, 1983.

Ash-Shidieqy, T. M. Hasbi, Prof., Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Media Pokok dalam Menafsirkan Al-Qur’an, Jakarta, Bulan Bintang, 1973.

As-Shalih, Subhi, Dr., Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Beirut, Pustaka Firdaus, 1985.

Athaillah, A., Sejarah Al-Qur’an dan Verifikasi Tentang Otentitas Al-Qur’an, Banjarmasin, Antasari Press, 2007.

Bakar, Rohadi Abu, Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an), Semarang, Wicaksana, 1986.

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta, Yayasan Penyelenggara Al-Qur’an, 1997.

Hadits Riwayat Bukhari dan lainnya, h. 15.

Hasan, Muhammad Tholhah, Prospek Islam dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Jakarta, Lantabora Press, 2005.

Khalafullah, Muhammad A., Al-Qur’an Bukan Kitab Sejarah Seni, Sastra dan Moralitas dalam Kisah-Kisah Al-Qur’an, Jakarta, Paramadina, 2002.

Mudzhar, M. Atho, Dr., H., Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.

Syafi’i, Rachmat, MA., Prof. DR. H., Pengantar Ilmu Tafsir, Bandung, Pustaka Setia, 1973.

Syaitut, Mahmud, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, h. 14

ADAB PERIWAYATAN HADIST

Adab Muhaddits
Seseorang yang menyibukkan dirinya dengan hadits serta menyebarluaskannya ketengah-tengah masyarakat, maka seorang muhaddits sudah selayaknya menjadi teladan, bersifat jujur terhadap apa yang disampaikannya, dan mengamalkan hadits pada dirinya sendiri sebelum memerintahkannya pada orang lain.
Hal-Hal Utama yang Menjadi Adab Muhaddits
a. - Meluruskan niat dan ikhlas, yaitu dengan membersihkan hati dari motif-motif keduniawian seperti mencari kedudukan dan popularitas.
b. - Memberi perhatian yang amat besar terhadap penyebarluasan hadits, dan menyampaikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangka meraih pahala yang melimpah.
c. - Tidak berbicara hadits di depan orang yang lebih utama daripada dirinya, baik dari sisi usia maupun ilmunya.
d. - Hendaknya seorang muhaddits membentuk majelis untuk mengkaji hadits jika memang memiliki kelayakan untuk mengajarkan hadits.
Anjuran-Anjuran Jika Hendak Menghadiri Mejelis
a. - Bersuci, merapikan diri, dan menata jenggot
b. - Duduk dengan tentang dan penuh perhatian sebagai penghormatan terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
c. - Menghadap kepada seluruh peserta majelis serta tidak menaruh perhatian hanya pada orang-orang tertentu dengan melalaikan peserta yang lain.
d. - Membuka dan menutup majelis dengan pujian kepada Allah Ta’ala serta shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Usia Seseorang sehingga Layak Untuk Menyampaikan Hadits
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat:
a. - Ada yang berpendapat usia lima puluh tahun. Ada pula yang mengatakan usia empat puluh tahun.
b. - Pendapat yang benar adalah ketika seseorang sudah memiliki kemampuan dan sanggup membentuk majelis hadits, berapa pun usianya.
Kitab yang Populer
a. - Al-Jami’ li Akhlaqi Ar-Rawi wa Adabi As-Sami’, karya Khatib Al-Baghdadi.
b. - Jami’u Bayani Al-‘Ilmi wa Fadhilihi wa ma Yanbaghi I Rawayatihi wa Hamlihi, karya Ibnu Abdil Bar.

Adab Penuntut Ilmu Hadits
Adab yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu hadits yaitu berupa adab yang tinggi dan akhlak yang mulia. Di antara adab-adab tersebut ada yang bersekutu dengan adab muhaddits, dan ada juga yang khusus bagi penuntut ilmu hadits.
Adab yang Bersekutu Dengan Adab Muhaddits
a. - Meluruskan niat dan ikhlas hanya kepada Allah Ta’ala dalam menuntut ilmu hadits.
b. - Bersikap hati-hati terhadap tujuannya menuntut ilmu hadits yang bisa menjerumuskannya pada motivasi keduniawian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menuntut ilmu yang dianjurkan untuk Allah Ta’ala, dan ia tidak mempelajarinya melainkan untuk meraih keduniawian, maka pada hari Kiamat tidak akan memperoleh harumnya wangi surga.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah)
c. - Mengamalkan hadits yang didengarnya.
Adab yang Berlaku Khusus Bagi Penuntut Ilmu Hadits
a. - Senantiasa meminta taufik, arahan, kemudahan, dan pertolongan Allah Ta’ala dalam hal hafalan hadits dan pemahamannya.
b. - Selalu memperhatikan hadits secara komprehensif dan mengerahkan seluruh upaya untuk meraihnya.
c. - Memulai dengan mendengar dari para guru yang paling utama di negerinya, baik dalam hal sanad, ilmu, maupun agamanya.
d. - Memuliakan gurunya dan orang-orang yang mendengarkannya serta senantiasa menghormatinya.
e. - Sifat malu dan sombong hendaknya tidak menghalanginya untuk terus mendengar dan mendapatkan ilmu, meskipun berasal dari orang yang lebih muda atau kedudukannya lebih rendah.
f. - Berusaha memahami hadits yang telah ditulis. Oleh karena itu, ia harus rela melelahkan dirinya tanpat mengenal waktu.
g. - Dalam hal mendengar, menghafal, dan memahaminya, hendaknya ia mendahulukan kitab Shahihain, kemudian Sunan Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, lalu Sunan Al-Kubra Baihaqi. Setelah itu bersandar pada kitab-kitab musnad dan jawami’, seperti Musnad Imam Ahmad, Al-Muwatha’ Imam Malik, termasuk kitab ‘Ilal seperti ‘Ilal Daruquthni.
- Sedangkan kitab yang memuat nama-nama perawi adalah Tarikh Kabir Imam Bukhari, begitu juga Jarh wa Ta’dil Ibnu Abi Hatim, Diabthu Al-Asma Ibnu Makula. Kitab yang membahas hadits gharib adalah kitab An-Nihayat Ibnu Katsir.


Daftar Pustaka
Thahan, Mahmud. 2006. Tafsir Musthalah Hadits terjemah: Abu Fuad. Bogor: Pustaka Tariqul Izzah

OTENTISITAS DAN OTORITAS AL-QURAN


OTENTISITAS DAN OTORITAS AL-QURAN



Wednesday, 14 September 2005
Oleh: KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Pendahuluan Menurut keimanan umat Islam, al-Quran adalah kitab suci (sakral) karena ia merupakan wahyu Allah yang tidak mengandung keraguan (QS 2: 2) dan kebatilan (QS 41: 42). Namun, sakralitas al-Quran tersebut terus-menerus digerogoti oleh kaum orientalis dan para pengikutnya, seperti kaum liberal. Mereka berusaha keras menghancurkan sakralitas al-Quran dengan berbagai cara. Di antaranya dengan cara menggugat otentisitas dan otoritas al-Quran. Gugatan otentisitas al-Quran pada gilirannya jelas akan mengguncang otoritas (kehujjahan) al-Quran, atau mengancam kedudukan al-Quran sebagai hujjah atau dalil syariat pertama bagi segala ajaran Islam. Jika otoritas al-Quran ini sudah bisa dihancurkan, kaum orientalis tentu berharap akan dapat pula meruntuhkan seluruh sumber ajaran Islam lainnya seperti as-Sunnah, Ijma Sahabat, dan Qiyas. Itulah tujuan akhir mereka yang sangat keji.
Orientalisme dan al-Quran
Orientalisme merupakan studi yang dilakukan intelektual Barat untuk mempelajari situasi Timur; khususnya yang menyangkut sejarah, agama, bahasa, etika, seni, tradisi, dan adat-kebiasaannya (Bath, 2004: 19). Walau terkesan ilmiah dan canggih, orientalisme sebenarnya merupakan salah satu sarana yang dimanfaatkan Barat untuk melakukan penjajahan terhadap Dunia Islam (Baharun, 1997: 87-92).
Khusus berkaitan dengan studi al-Quran, tujuan orientalisme bukanlah untuk mengimani dan mengamalkan al-Quran, melainkan untuk membuat keraguan terhadap keabsahan al-Quran sebagai wahyu Allah (Baharun, 1997: 62; Bath, 2004: 19). Hal itu tidak mengherankan, sebab asumsi dasar orientalisme memang bukan keimanan, tetapi kekafiran sekaligus kebencian dan kedengkian yang mendalam terhadap Islam. Ini bisa dibuktikan dengan sikap mereka yang sangat kurang ajar terhadap Rasulullah saw. yang mulia. Orientalis Arthur Jeffery dalam artikelnya, “The Quest of The Historical Mohammad,” yang dimuat dalam jurnal The Muslim World XVI/14, hlm. 338 (terbit 1926), tanpa segan menyebut Rasulullah saw. sebagai ‘gembong perampok’ (the robber chief) (Arif, 2005: 13). Sebelum itu, Dante, intelektual Italia, pada abad ke-18 menulis Divina Comedia (Komedi Ketuhanan), sebuah karya sastra imajinatif bernada dagelan yang menggambarkan Nabi Muhammad saw. berada di kerak neraka paling bawah (Baharun, 1997: 44). Masya Allah!
Menjawab Serangan Orientalis
Menurut Ugi Suharto (2004), orientalisme menyerang al-Quran melalui 3 (tiga) jalan: (1) melalui periwayatan al-Quran; (2) melalui penemuan manuskrip lama tentang qirâ‘ah (ragam bacaan al-Quran); (3) melalui berbagai argumentasi intelektual untuk meragukan al-Quran. Berikut penjelasan serangan-serangan itu dan jawabannya.
Jalan pertama: periwayatan.
Jalan ini ditempuh orientalis dengan mengajukan berbagai riwayat untuk menggoyahkan keabsahan Mushaf Utsmani. Sebagaimana diketahui, Mushaf Utsmani sampai kepada kita melalui jalur periwayatan dari para periwayat al-Quran secara mutawâtir; dari periwayat generasi tâbi‘ at-tâbi‘în, para tâbi‘în, para sahabat, dan dari Rasulullah saw. Sebagian tâbi‘în dan tâbi‘ at-tâbi‘în telah menghimpun riwayat-riwayat itu dalam kitab-kitab dan menerangkan sanad-nya (jalur periwayatannya) (Ibnu Khalil, 2000: 63).
Nah, para orientalis menggunakan riwayat tertentu dengan tujuan agar riwayat yang sebelumnya telah tertolak itu dapat diterima kembali oleh umat Islam. Orientalis mengajukan berita adanya beberapa mushaf yang dimiliki sahabat yang tidak sama dengan Mushaf Utsmani, seperti Mushaf Ibnu Mas‘ud dan Mushaf Ubay bin Ka‘ab. Sebagai contoh: mereka mengetengahkan riwayat bahwa dalam Mushaf Ibnu Mas’ud bunyi QS Ali Imran (3) ayat 19 adalah: Inna ad-dîna ‘inda Allâhi al-hanifiyah (Abdush Shabur Syahin, Târikh al-Qur’ân, hlm. 132). Orientalis juga mengajukan kembali riwayat yang menyatakan Mushaf Ibnu Mas‘ud tidak mengandung surat al-Falaq dan surat an-Nas (Al-Qattan, 2001: 203). Di sini orientalis berharap, umat Islam mempercayai riwayat ini dan menjadi ragu-ragu apakah surat al-Falaq dan surat An-Nas termasuk al-Quran atau tidak. Jalan pertama ini, yaitu melalui periwayatan, adalah jalan buntu bagi orientalis. Mereka telah gagal. Kaum orientalis tidak akan mampu merusak keabsahan Mushaf Utsmani yang telah mantap dengan dasar Ijma Sahabat yang tak dapat diperselisihkan lagi (Syahin, 1966: 150). Orientalis tak akan mampu mengguncang posisi Mushaf Utsmani, sebab mushaf ini disandarkan pada riwayat mutawâtir, yaitu periwayatan oleh banyak orang yang menurut kebiasaan mustahil mereka akan sepakat untuk berdusta. Ke-mutawâtir-an ini dapat dibuktikan, misalnya, dengan jumlah penghapal al-Quran yang mencapai jumlah mutawâtir. Pada peristiwa Bi‘r Maunah gugur 70 syuhada yang hapal al-Quran, demikian pula dalam Perang Yamamah. (Al-Hasan,1983: 87). Para ulama dan para ulama ushul seluruhnya pun telah sepakat bahwa al-Quran adalah apa yang diriwayatkan secara mutawâtir dari Nabi saw. (Ash-Shabuni, At-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qurân, hlm. 8). Karena itu, apa yang diriwayatkan secara ahad (bukan mutawâtir) tentang bunyi bacaan suatu ayat, bukan termasuk al-Quran. Mengomentari Mushaf Ibnu Mas‘ud yang mengandung qirâ‘ah yang menyalahi Mushaf Utsmani, Ibnu Hayyan dalam Al-Bahr al-Muhîth I/159 berkata, “Qirâ‘ah itu hanyalah riwayat ahad kalau pun itu bisa dianggap sahih. Karena itu, jangan dipertentangkan dengan apa yang telah terbukti secara mutawâtir). (Syahin, 1966: 96 & 132). Namun, meski demikian, kata Ibnu Hayyan, qirâ‘ah semacam itu dapat dianggap sebagai tafsir. (Ibn Hayyan, Al-Bahr al-Muhîth, III/240).
Jadi, bacaan inna ad-dîna ‘inda Allâhi al-hanîfiyah bukanlah bagian dari al-Quran, karena diriwayatkan secara ahad (bukan mutawâtir), meskipun kata al-hanîfiyah itu dapat dianggap sebagai salah satu tafsir kata al-Islâm (QS 3: 19). Namun demikian, ia tetap tidak bisa digunakan sebagai dalil pembenar untuk konsep teologi inklusif yang digembar-gemborkan kaum liberal. Sebab, mereka mengartikan al-hanîfiyah sebagai ‘sikap lapang dada’ yang dapat menerima kebenaran agama lain. Kalau mereka jujur, mereka mestinya mengekspos juga qirâ‘ah ahad serupa (sebagai tafsir) dari Ubay bin Ka‘ab yang justru menegaskan, bahwa al-hanîfiyah itu adalah Islam itu sendiri; bukan Yahudi, bukan Kristen, bukan Majusi. Sebab, qirâ‘ah ahad dari Ubay itu berbunyi: Inna ad-dîna ‘inda Allâhi al-hanîfiyah, lâ al-yahudiyah wa lâ an-nashrâniyah wa lâ al-majûsiyah (Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, IV/43; Syahin, 1966: 132).
Mengenai riwayat bahwa Mushaf Ibnu Mas‘ud tidak mengandung surat al-Falaq dan surat an-Naas, para ulama telah memberikan jawaban. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmû‘ Syarh al-Muhadzdzab berkata, “Kaum Muslim sepakat bahwa kedua surat itu (al-Falaq dan surat an-Nas) dan al-Fatihah termasuk al-Quran. Siapa saja yang mengingkarinya, walau sedikit saja, ia adalah kafir. Sementara itu, riwayat yang diterima dari Ibnu Mas‘ud adalah batil, tidak sah.”
Ibn Hazm berpendapat, riwayat tersebut merupakan pendustaan dan pemalsuan atas nama Ibnu Mas’ud (Al-Qattan, 2001: 203).
Jalan kedua: manuskrip lama.
Jalan ini antara lain ditempuh Gerd R. Puin. Orientalis ini mengajukan penemuan mushaf tua di Shan‘a (Yaman) yang konon mengandung qirâ‘ah yang lebih awal dari qirâ‘ah tujuh (al-qirâ‘ah as-sab‘u) yang terkandung dalam Mushaf Utsmani, meskipun mushaf temuan itu tidak lengkap dan sangat berbeda dengan Mushaf Utsmani. Puin ingin membuktikan, qirâ‘ah-qirâ‘ah yang berbeda dengan Mushaf Utsmani memang ada faktanya, bukan sekadar pemberitaan (riwayat). Jadi, jalan ini setingkat lebih canggih daripada jalan periwayatan di atas.
Namun, jalan ini tetap jalan yang buntu. Sebab, paradigma kaum orientalis itu adalah al-qirâ‘ah tâbi‘ah li ar-rasm (reading follows the text/ragam bacaan itu mengikuti tulisan/teks). Ini salah. Paradigma yang benar mengenai rasm (tulisan/teks) al-Quran adalah ar-rasm tâbi‘ li ar-riwâyah (tulisan/teks itu haruslah mengikuti riwayat (Ugi Suharto, 2004). Jadi, prinsip yang disepakati ialah al-Quran itu pada asalnya adalah qirâ‘ah (bacaan, recitation) yang diperdengarkan melalui periwayatan dari mulut ke mulut (dari syaikh/guru kepada muridnya), barulah kemudian rasm (tulisan/teks) mengikutinya. Proses transmisi ini dilakukan dengan sanad yang bersambung secara mutawâtir, bersumber dari Rasulullah saw., lalu diteruskan riwayatnya dari generasi ke generasi (Arif, 2005). Jadi, penemuan manuskrip Shan‘a oleh Puin tersebut tidak ada nilainya sama sekali, karena hanya bewujud teks tanpa informasi periwayatan sama sekali.
Mengapa orientalis keliru dalam masalah ini? Sebab, paradigma yang mereka pakai adalah paradigma untuk Bibel (Perjanjian Lama dan Baru), yang mereka paksakan untuk al-Quran. Dalam kasus Bibel, yang memegang peran utama memang bukti fisik berupa tulisan/teks (manuscript evidence) dalam bentuk lembaran papirus, skroll, dan sebagainya; bukan periwayatan ‘mutawâtir’ sebagaimana al-Quran. Itulah pangkal kekeliruan orientalis seperti Puin, Jeffery, dan Wansbrough (Arif, 2005).
Jalan ketiga: argumentasi intelektual.
Jalan ini ditempuh orientalis dengan membuat berbagai macam argumentasi yang bertujuan menciptakan keraguan terhadap al-Quran. Contohnya adalah orientalis R. Blachere yang menuduh Mushaf Utsmani sebagai proyek pribadi Utsman atau hanya didasarkan pada dominasi golongan Quraisy. Tuduhan ini, sayangnya, lalu diamini dan disepakati secara fanatik oleh aktivis kelompok Liberal, seperti Ahmad Baso.
Terhadap tuduhan jahat itu, dapat dijawab bahwa: Pertama, tuduhan itu tidak dengan sesuai fakta. Sebab, Mushaf Utsmani itu adalah hasil penggandaan dari mushaf yang sebelumnya telah dihimpun oleh Abu Bakar. Mushaf ini dihimpun Abu Bakar dari hapalan banyak sahabat dan dari lembaran-lembaran otentik yang ditulis di hadapan Nabi saw. dan pada masa beliau. Zaid bin Tsabit ra. yang bertugas mengumpulkan dan menggandakan mushaf itu tidaklah bekerja sendiri, tetapi bersama-sama dengan sejumlah besar sahabat. Lalu Mushaf Utsmani itu pun disepakati oleh semua sahabat dan seluruh kaum Muslim, tanpa melihat lagi kaum Quraisy atau bukan Quraisy. Jadi, jelas bahwa Mushaf Utsmani adalah karya bersama umat Islam, bukan proyek pribadi Utsman, apalagi hasil ‘hegemoni Quraisy’. Lalu atas dasar apa mereka menuduh secara bodoh bahwa Mushaf Utsmani adalah proyek pribadi Utsman dan lahir akibat dominasi Quraisy? (Syahin, op.cit., hlm. 117).
Kedua, andaikata benar Mushaf Utsmani hanya ambisi politik pribadi Utsman, bukan untuk kemaslahatan segenap umat Islam, tentu para sahabat akan mengecam keras dan memprotes Utsman habis-habisan. Faktanya, seluruh sahabat, tanpa kecuali, setuju terhadap penyusunan Mushaf Utsmani, termasuk perintah Utsman membakar mushaf-mushaf selain Mushaf Utsmani. Ali bin Abi Thalib ra. berkata tentang pembakaran mushaf selain Mushaf Utsmani, “Sekiranya Utsman tidak melakukannya, aku akan melakukannya!”
Suatu saat Ali bin Abi Thalib mendatangi kota Kufah, lalu seorang lelaki menemuinya dan mencela Utsman yang telah menyusun Mushaf Utsmani itu. Ali berkata, “Diam kamu! Karena Utsman melakukannya sudah sepengetahuan kami (sahabat)! Sekiranya aku berkuasa sebagaimana Utsman berkuasa, aku akan melakukan hal yang sama.” (Syahin, ibid., hlm. 117).
Ketiga, tidak benar tuduhan Baso bahwa Mushaf Ibnu Mas‘ud yang menyebutkan bunyi QS Ali Imran (3) ayat 19, Inna ad-dîna ‘inda Allâhi al-hanîfiyah diabaikan oleh Utsman hanya karena Ibnu Mas’ud tidak merepresentasikan kekuasaan Quraisy. Penolakan ini karena Mushaf Ibu Mas’ud adalah riwayat ahad, bukan mutawâtir. Ini dapat mengancam persatuan umat. Lagi pula, andaikata benar Mushaf Utsmani adalah representasi kekuasaan Quraisy, tentu semua isi Mushaf Ibnu Abbas akan dimasukkan ke dalam Mushaf Utsmani. Sebab, Ibnu Abbas jelas dari golongan Quraisy karena beliau adalah anak paman Rasulullah saw. Faktanya, ada qirâ‘ah Mushaf Ibnu Abbas yang riwayatnya ahad sehingga tidak terdapat dalam Mushaf Utsmani. Misalnya qirâ‘ah Ibnu Abbas tentang QS Al-Baqarah ayat 198, yang berbunyi: Laysa ‘alaikum junâhun an tabtaghû fadhlan min Rabbikum fî mawâsim al-hajj. (Al-Husaini, 1983: 23). Kalimat fî mawâsim al-hajj ternyata tidak ada dalam al-Quran sekarang (Mushaf Utsmani). Jadi, tuduhan bahwa Mushaf Utsmani merupakan representasi kekuasaan Quraisy, tidak ada faktanya. Itu hanya sekadar imajinasi intelektual yang liar, murahan, dan tidak berdasar.
Penutup
Sesungguhnya serangan orientalis (dan pengikutnya) terhadap otentisitas al-Quran tidak akan berhasil. Sebab, al-Quran sekarang memang terbukti otentik, karena diriwayatkan dari generasi ke generasi secara mutawâtir dan meyakinkan. Jadi, al-Quran yang kita baca sekarang adalah benar-benar sama dengan yang dibaca oleh Rasulullah saw. Karena itu, dengan sendirinya, berbagai upaya untuk meragukan otoritas (kehujjahan) al-Quran juga tidak akan pernah berhasil. Mahabenar Allah Swt. yang berfirman:
Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS al-Hijr [15]: 9).
Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.
Daftar Pustaka
1 Ahmadi, Ali. 2005. “Al-Qiraat dan Orisinalitas al-Quran.” Jurnal Al-Insan. Edisi 1 Tahun I Januari 2005, hlm. 51-62.
2 Al-Hasan, M. Ali. 1983. Al-Manâr fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Amman: Mathba’ah Asy-Syarq wa Maktabatuha.
3 Al-Husaini, Muhammad bin Alawi Al-Maliki. 1983. Zubdah al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Jeddah: Darusy Syuruq.
4 Arif, Syamsudin. 2005. “Al-Quran, Orientalisme, dan Luxemberg.” Jurnal Al-Insan. Edisi 1 Tahun I Januari 2005, hlm. 9-26.
5 Armas, Adnin. 2003. Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal. Jakarta: Gema Insani Press.
6 —————. 2004. “Kritik Arthur Jeffery Terhadap Al-Quran.” Islamia. No. 2 Th. I Juni–Agustus 2004, hlm. 7-19.
7 Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2001. Studi Ilmu-Ilmu al-Quran (Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân). Terjemahan oleh Mudzakir AS. Cetakan VI. Jakarta-Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
8 Ash-Shabuni, M. Ali. 1985. At-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: ‘Alam Al-Kutub.
9 Baharun, Mohammad. 1997. Isu Zionisme Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
10 Bathh, Hasanain. 2004. Anatomi Orientalisme: Menguak Tujuan dan Bahaya Orientalisme Serta Cara Umat Menghadapinya (Dirâsat fî al-Istisyrâq). Terjemahan oleh M. Faisal Muchtar. Yogyakarta: Menara Kudus Jogjakarta
11 Khadhar, Lathifah Ibrahim. 2005. Ketika Barat Memfitnah Islam (Al-Islâm fî al-Fikr al-Gharbi). Terjemahan oleh Abdul Hayyie Al-Kattanie. Jakarta: Gema Insani Press.
12 Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl. Beirut: Darul Ummah.
13 Suharto, Ugi. 2004. “Upaya Meruntuhkan Kewibawaan Mushaf Utsmani dari Dahulu Sehingga Kini”. Makalah Workshop Pemikiran dan Peradaban Islam, Depok, 27-29 Pebruari 2004.
14 Syahin, Abdush Shabur. 1966. Târîkh al-Qur’ân. Kairo: Darul Qalam.
Sumber: http://hizbut-tahrir.or.i/ d/modules.php?name=News&f ile=article&sid=554

SEJARAH AL-QURAN HINGGA BERBENTUK MUSHAF


SEJARAH AL-QURAN HINGGA BERBENTUK MUSHAFDitinjau dari segi bahasa (etimologi), Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qaraa yang artinya membaca
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizatyang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir di mana membacanya termasuk ibadah”.
Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul,dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir yang dimulai dengan surat Al Fatihah (bermaksud - pembukaan: Memohon taufik dan hidayah ke jalan lurus dari Allah SWT) dan ditutup dengan surat Al-Nas (Memohon perlindungan daripada godaansyaitan dari Allah SWT )"
Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW seperti Hadis Qudsi, tetapi tidak termasuk Al-Qur’an.
Pembahagian Al-Qur'an
Surah dan ayat
Al-Qur'an terdiri atas 114 bahagian yang dikenal dengan nama surah. Total jumlah ayat dalam Al-Qur'an mencapai 6236 ayat di mana jumlah ini dapat bervariasi menurut pendapat tertentu namun bukan disebabkan perbedaan isi melainkan karena cara/aturan menghitung yang diterapkan. Surah-surah yang panjang terbagi lagi atas sub bahagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
Makkiyah dan Madaniyah
Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surah dapat dibahagi kepada surah-surah Makkiyah (surah Mekkah) dan Madaniyah (surah Madinah). Pembahagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surah dan ayat tertentu di mana surah-surah yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surah Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surah Madaniyah.
Menurut ukuran surah
Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surah-surah yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
As Sab’uththiwaal (tujuh surah yang panjang). Yaitu Surah Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
Al Mufashshal (surah-surah pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
PENURUNAN AL-QUR'AN
Penurunan Al-Qur'an terjadi secara beransur-ansur selama 23 tahun. Para ulama membahagi masa turun ini dibahagi menjadi 2 period, yaitu period Mekkah dan period Madinah. Period Mekkah berlangsung selama 13 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surah-surah yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan period Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surah yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya
Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian pembukuannya dilakukan pada zaman khalifah Uthman bin Affan.
Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW
Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

PENGUMPULAN AL-QUR'AN DI MASA KHULAFA UR RASYIDIN
Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an (70 orang) . Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat bimbang akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga isteri Nabi Muhammad SAW.
PADA MASA PEMERINTAHAN UTSMAN BIN AFFAN - PEMBUKUAN
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Uthman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbezaan dialek (lahjah) antara suku yang berasal dari daerah yang berbeza. Hal ini menimbulkan kebimbangan Utsman sehingga ia mengambil keputusan untuk membukukan sebuah mushaf standard (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan panduan berikut : 1) Mengambil pedoman kepada bacaan mereka yang hafal Al-Quran 2) Jika ada perbedaan dialek/lahjah- qiraah, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka.Standard tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (resam) Uthmani yang digunakan hingga saat ini. Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Daud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang sohih:
Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah di Madinah (mushaf al-Imam).
PADA MASA PEMERINTAHAN MUAWIYAH - PEMELIHARAAN MAKSUD AYAT-AYAT AL-QURAN
Tanda titik pada ayat-ayat Al-Quran Tujuan Pemeliharaan makna/maksud ayat-ayat Al-Quran
Ulama yang bertanggungjawab tugas berkenaan ialah Abu Al-Aswad Adhuali meletakkan titik- titik pada ayat –ayat al-Quran bagi mengelakkan salah bacaan yang menyebabkan perubahan makna /maksud ayat ini lanjutan daripada beberapa peristiwa yang terjadi pada zaman Muawiyah apabila utusannya dibunuh akibat tersalah baca bacaan huruf oleh pihak penerima utusan . Contoh titik seperti pada huruf-huruf “ba, ta, ,sa dan sebagainya seperti yang kita lihat pada Quran hari ini.
Dengan kata lain tanda titik-titik tersebut langsung tidak menyentuh huruf-huruf Quran sepertimana dapat dilihat pada Quran hari ini.
Pada masa pemerintahan Daulah Abbasiah - memperindahkan lagi dengan tanda baris atas, bawah hadapan dan sebagainya sepertimana dilihat pada Quran Resam Uthmani hari ini tujuannya demi memelihara maksud ayat-ayat suci Al-Quran. Titik-titik dan tanda baris selain fungsinya sebagai panduan bacaan yang betul - memelihara maksud ayat-ayat suci juga sepertimana ukiran-ukiran pada lembaran al-quran sebagai pengindahan ukiran pada Al-Quran.
Titik, tanda dan ukiran tidaklah merubah walaupun satu huruf kerana Titik, tanda dan ukiran tidak menyentuh huruf, oleh itu huruf asalnya terpelihara hingga ke hari kiamat sepertimana jaminan daripada Allah SWT.
AL QURAN RESAM UTHMANI
Hukum tajwid dan penggunaan tanda-tanda bacaan ayat-ayat suci Al-Quran adalah menurut Tariq Syatibi daripada riwayat Hafs b. Sulaiman Ibn Al-Mughirah al-Asadi Al-Kufi bagi Qiraat ‘Asim b. Abi an Najwad Al-Kufi At-Tabii’ daripada Abi abdul Rahman Abdullah b. Habib As-Sulami daripada Uthman b Affan dan Ali b Abi Talib dan Zaid b. Thabit dan Ubaiy b. Kaab. Keempat sahabat nabi ini menerimanya daripada Nabi Muhammad SAW.
Al Quran resam Uthmani yang ada pada umat muslimin sekarang ini tiada suatu perubahan hurufpun sepertimana dijelaskan sejarah Quran zaman Khaifah Ur Rasyidin, Muawiyah dan Abbasiyah semuanya bertujuan memelihara ayat-ayat suci al-Quran, ini menyangkal golongan yang mengatakan Tahrif pada Quran dan sesungguhnya Al-Quran adalah dipelihara Allah sejak di Luh Mahfuz hingga hari qiamat secara tulisan dan hafalan-hafalan kaum muslimin(para hafiz) di seluruh dunia.

Surah ke-15 ayat 9 :
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al Quran dan Kami pulalah yang tetap memeliharanya.”
Surat ke-18 ayat 27 :
“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu yaitu Kitab Tuhanmu (Quran). Tidak ada seorangpun yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari pada-Nya.”

RUJUKAN :
1.Ust. Hassan Mahmud al Hafiz; Ilmu Tajwid Al Quran, Pustaka Al Mizan, cetakan ke 6; 1992
2. Jalaluddin As Suyuti : Riwayat Turunnya Ayat-ayat Quran, Pustaka Darul Fikir
3. Hj Abdul Qadir Leong : Tajwid Al Quran Resam Othmani, Pustaka Salam sdn bhd. 1998
4. Prof. Dr. H. Mahmud Yunus; Klang Book Centre, Cetakan 1 1992

Soal Nasikh dan Mansukh



oleh Dr. M. Quraish Shihab
Seandainya (Al-Quran ini) datangnya bukan dari Allah, niscaya mereka akan menemukan di dalam (kandungan)-nya ikhtilaf (kontradiksi) yang banyak (QS 4:82).
Ayat Al-Quran tersebut di atas merupakan prinsip yang di yakini kebenarannya oleh setiap Muslim. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala kontradiksi. Dari sinilah kemudian timbul pembahasan tentang nasikh dan mansukh.
Di dalam Al-Quran, kata naskh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam QS 2:106, 7:154, 22:52, dan 45:29. Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan, dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan, dan sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus, dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.
Sebelum menguraikan arti nasikh dan mansukh dari segi terminologi, perlu digarisbawahi bahwa para ulama sepakat tentang tidak ditemukannya ikhtilaf dalam arti kontradiksi dalam kandungan ayat-ayat Al-Quran. Dalam menghadapi ayat-ayat yang sepintas lalu dinilai –memiliki gejala kontradiksi, mereka mengkompromikannya. Pengkompromian tersebut ditempuh oleh satu pihak tanpa menyatakan adanya ayat yang telah dibatalkan, dihapus, atau tak berlaku lagi, den ada pula dengan menyatakan bahwa ayat yang turun kemudian telah membatalkan kandungan ayat sebelumnya, akibat perubahan kondisi sosial.151
Apa pun cara rekonsiliasi tersebut, pada akhirnya mereka sependapat bahwa tidak ada kontradiksi dalam ayat-ayat Al-Quran. Karena disepakati bahwa syarat kontradiksi, antara lain, adalah persamaan subjek, objek, waktu, syarat, dan lain-lain.
Arti Naskh
Terdapat perbedaan pengertian tentang terminologi naskh. Para ulama mutaqaddimin (abad I hingga abad III H) memperluas arti naskh sehingga mencakup: (a) pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian; (b) pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian; (c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar; (d) penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.152
Bahkan ada di antara mereka yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah di saat kaum Muslim lemah, dianggap telah di-naskh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah, sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.153
Pengertian yang demikian luas dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka naskh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.
Para ulama tidak berselisih pendapat tentang adanya ayat-ayat Al-Quran mencakup butir-butir b, c, dan d, yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin tersebut. Namun istilah yang diberikan untuk hal-hal tersebut bukannya naskh tetapi takhshish (pengkhususan).
Yang kemudian menjadi bahan perselisihan adalah butir a, dalam arti adakah ayat yang dibatalkan hukumnya atau tidak? Para ulama yang menyatakan adanya naskh dalam pengertian tersebut mengemukakan alasan-alasan berdasarkan ‘aql dan naql (Al-Quran).
Ibn Katsir, dalam rangka membuktikan kekeliruan orang-orang Yahudi yang mempertahankan ajaran agama mereka dan menolak ajaran Islam dengan dalih tidak mungkin Tuhan membatalkan ketetapan-ketetapannya yang termaktub dalam Taurat, menyatakan: “Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya naskh atau pembatalan dalam hukum-hukum Allah, karena Dia (Tuhan) menetapkan hukum sesuai kehendak-Nya dan melakukan apa saja yang diinginkanNya.”154
Al-Maraghi menjelaskan hikmah adanya naskh dengan menyatakan bahwa: “Hukum-hukum tidak diundangkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan hal ini berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila ada satu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila ia di-naskh (dibatalkan) dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan waktu, sehingga dengan demikian ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.”155
Lebih jauh dikatakannya bahwa hal ini sama dengan obat-obat yang diberikan kepada pasien. Para nabi dalam hal ini berfungsi sebagai dokter, dan hukum-hukum yang diubahnya sama dengan obat-obat yang diberikan oleh dokter.156
Ada dua butir yang harus digarisbawahi dari pernyataan AlMaraghi di atas. Pertama, mempersamakan nabi sebagai dokter dan hukum-hukum sebagai obat memberikan kesan bahwa nabi dapat mengubah atau mengganti hukum-hukum tersebut, sebagaimana dokter mengganti obat-obatnya. Kedua, mempersamakan hukum yang ditetapkan dengan obat tentunya tidak mengharuskan dibuangnya obat-obat tersebut, walaupun telah tidak sesuai dengan pasien tertentu, karena mungkin masih ada pasien lain yang membutuhkannya.
Pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para ulama tentang dapatnya diadakan perubahan-perubahan hukum, antara lain atas dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh Al-Maraghi di atas. Tetapi yang mereka maksudkan dan yang disepakati itu adalah perubahan-perubahan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad mereka sendiri atau perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Tuhan bagi mereka yang berpendapat adanya naskh dalam Al-Quran.
Pendukung-pendukung naskh juga mengemukakan ayat Al-Baqarah 106, yang terjemahan harfiahnya adalah;
Kami tidak me-naskh-kan satu ayat atau Kami menjadikan manusia lupa kepadanya kecuali Kami mendatangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding. Apakah Kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.
Menurut mereka, “ayat” yang di naskh itu adalah ayat Al-Quran yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum. Penafsiran ini berbeda dengan penafsiran mereka yang menolak adanya naskh dalam pengertian terminologi tersebut dengan menyatakan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat para nabi.157 Mereka juga mengemukakan ayat 101 Surat Al-Nahl:
Apabila Kami mengganti satu ayat di tempat ayat yang lain dan Tuhan mengetahui apa yang diturunkannya, maka mereka berkata sesungguhnya engkau hanyalah pembohong.
Disisi lain, mereka yang menolak adanya naskh dalam Al-Quran, beranggapan bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu (a) ketidaktahuan, sehingga Dia perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain; dan (b) kesia-siaan dan permainan belaka.
Argumentasi ini jelas tertolak dengan memperhatikan argumentasi logis pendukung naskh.
Alasan lain yang dapat dianggap terkuat adalah firman Allah QS 41:42, Tidak datang kepadanya (Al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.
Ayat tersebut di atas menurut Abu Muslim Al-Isfahani menegaskan bahwa Al-Quran tidak disentuh oleh “pembatalan”, dan dengan demikian bila naskh diartikan sebagai pembatalan, maka jelas ia tidak terdapat dalam Al-Quran.
Pendapat Abu Muslim di atas ditangkis oleh para pendukung naskh dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak berbicara tentang pembatalan tetapi “kebatilan” yang berarti lawan dari kebenaran. Hukum Tuhan yang dibatalkannya bukan berarti batil, karena sesuatu yang dibatalkan penggunaannya karena adanya perkembangan dan kemaslahatan pada suatu waktu bukan berarti bahwa yang dibatalkan itu ketika berlakunya merupakan sesuatu yang tidak benar, dan dengan demikian yang dibatalkan dan membatalkan keduanya adalah hak dan benar, bukan batil.158
Agaknya kita dapat berkesimpulan bahwa argumentasi yang dikemukakan oleh penolak adanya naskh dalam Al-Quran telah dibuktikan kelemahan-kelemahannya oleh para pendukung naskh. Namun demikian masalah kontradiksi belum juga terselesaikan.
Para pendukung naskh mengakui bahwa naskh baru dilakukan apabila, (a) terdapat dua ayat hukum yang saling bertolak belakang dan tidak dapat dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga yang lebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan yang kemudian sebagai nasikh.159
Di sini para penolak adanya naskh dalam Al-Quran dari saat ke saat membuktikan kemampuan mereka mengkompromikan ayat-ayat Al-Quran yang tadinya dinilai kontradiktif. Sebagian dari usaha mereka itu telah diterima secara baik oleh para pendukung naskh sendiri, sehingga jumlah ayat-ayat yang masih dinilai kontradiktif oleh para pendukung naskh dari hari ke hari semakin berkurang.
Dalam hal ini agaknya dibutuhkan usaha rekonsiliasi antara kedua kelompok ulama tersebut, misalnya dengan jalan meninjau kembali pengertian istilah naskh yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir, sebagaimana usaha mereka meninjau istilah yang dikemukakan oleh para ulama mutaqaddim.
Untuk maksud tersebut, kita cenderung menjadikan pemikiran Muhammad ‘Abduh dalam penafsirannya tentang ayat-ayat Al-Quran sebagai titik tolak.
Muhammad ‘Abduh –walaupun tidak mendukung pengertian kata “ayat” dalam Al-Baqarah ayat 106 sebagai “ayat-ayat hukum dalam Al-Quran”, dengan alasan bahwa penutup ayat tersebut menyatakan “Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” yang menurutnya mengisyaratkan bahwa “ayat” yang dimaksud adalah mukjizat– tetap berpendapat bahwa dicantumkannya kata-kata “Ilmu Tuhan”, “diturunkan”, “tuduhan kebohongan”, adalah isyarat yang menunjukkan bahwa kata “ayat” dalam surat Al-Nahl ayat 101 adalah ayat-ayat hukum dalam Al-Quran.160
Apa yang dikemukakan oleh ‘Abduh di atas lebih dikuatkan lagi dengan adanya kata “Ruh Al-Quds” yakni Jibril yang mengantarkan turunnya Al-Quran. Bahkan lebih dikuatkan lagi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut, baik ayat-ayat sebelum maupun sesudahnya. Ayat 98 sampai 100 berbicara tentang cara mengucapkan ta’awwudz (a’udzu billah) apabila membaca Al-Quran serta sebab perintah tersebut. Ayat 101 berbicara tentang “pergantian ayat-ayat (yang tentunya harus dipahami sebagai ayat-ayat Al-Quran)”. Kemudian ayat 102 dan 103 berbicara tentang siapa yang membawanya “turun” serta tuduhan kaum musyrik terhadapnya (Al-Quran).
Kembali kepada ‘Abduh, di sana terlihat bahwa dia menolak adanya naskh dalam arti pembatalan, tetapi menyetujui adanya tabdil (pergantian, pengalihan, pemindahan ayat hukum di tempat ayat hukum yang lain).
Dengan demikian kita cenderung memahami pengertian naskh dengan “pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain” (lihat pengertian etimologis kata naskh). Dalam arti bahwa kesemua ayat Al-Quran tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula.
Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat dijalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.
Siapa yang Berwenang Melakukan Naskh?
Pertanyaan di atas tentunya hanya ditujukan kepada mereka yang mengakui adanya naskh dalam Al-Quran, baik dalam pengertian yang dikemukakan oleh para ulama muta’akhir maupun dalam pengertian yang kita kemukakan di atas.
Pengarang buku Manahil Al-’Irfan mengemukakan bahwa Para ulama berselisih paham tentang boleh-tidaknya Nabi saw. me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Selanjutnya mereka yang membolehkannya secara teoretis berbeda paham pula tentang apakah dalam kenyataan faktual ada hadis Nabi yang me-naskh ayat atau tidak?161
Menurutnya, Al-Syafi’i, Ahmad (dalam satu riwayat yang dinisbahkan kepadanya), dan Ahl Al-Zhahir, menolak –walaupun secara teoretis– dapatnya Sunnah me-naskh Al-Quran. Sebaliknya Imam Malik, para pengikut mazhab Abu Hanifah, dan mayoritas para teolog baik dari Asy’ariah maupun Mu’tazilah, memandang bahwa tidak ada halangan logis bagi kemungkinan adanya naskh tersebut. Hanya saja mereka kemudian berbeda pendapat tentang ada tidaknya Sunnah Nabi yang me-naskh Al-Quran.
Walaupun terjadi perbedaan pendapat di atas, namun secara umum dapat dikatakan bahwa mereka semua bersepakat menyatakan bahwa yang dapat me-naskh Al-Quran hanyalah wahyu-wahyu Ilahi yang bersifat mutawatir (diyakini kebenaran nisbahnya kepada Nabi saw.). Walaupun demikian, mereka berselisih tentang cakupan kata “wahyu Ilahi” tersebut, apakah Sunnah termasuk wahyu atau bukan.
Syarat bahwa wahyu tersebut harus bersifat mutawatir, disebabkan karena sebagaimana dikatakan oleh Al-Syathibi: “Hukum-hukum apabila telah terbukti secara pasti ketetapannya terhadap mukallaf, maka tidak mungkin me-naskh-nya kecuali atas pembuktian yang pasti pula.”162 Sebab adalah sangat riskan untuk membatalkan sesuatu yang pasti berdasarkan hal yang belum pasti.
Atas dasar hal tersebut di atas, kita dapat berkata bahwa persoalan kini telah beralih dari pembahasan teoretis kepada pembahasan praktis. Pertanyaan yang muncul di sini adalah “apakah ada Sunnah Nabi yang mutawatir yang telah membatalkan ayat-ayat Al-Quran?”
Dalam hal ini pengarang Manahil Al-Irfan mengemukakan empat hadis yang kesemuanya bersifat ahad (tidak mutawatir), namun dinilai oleh sebagian ulama telah me-naskh ayat-ayat Al-Quran. Apakah ini berarti bahwa tidak ada hadis mutawatir yang me-naskh Al-Quran? Agaknya memang demikian. Di sisi lain, keempat hadis tersebut, setelah diteliti keseluruhan teksnya, menunjukkan bahwa yang me-naskh ayat –kalau hal tersebut dinamai naskh– bukannya hadis tadi, melainkan ayat yang ditunjuk oleh hadis tersebut.
Hadis “La washiyyata li warits” (tidak dibenarkan adanya wasiat untuk penerima warisan), yang oleh sementara ulama dinyatakan sebagai me-naskh ayat “kewajiban berwasiat” (QS 2:180), ternyata setelah diteliti keseluruhan teksnya berbunyi: Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak haknya, dengan demikian tidak ada (tidak dibenarkan) wasiat kepada penerima warisan.
Kata-kata “sesungguhnya Allah telah memberikan” dan seterusnya menunjuk kepada ayat waris. Dan atas dasar itu, hadis tersebut menyatakan bahwa yang me-naskh adalah ayat-ayat waris tersebut, bukan hadis Nabi saw. yang bersifat ahad tersebut.
Adapun jika yang dimaksud dengan naskh adalah “pergantian” seperti yang dikemukakan di atas, maka agaknya di sini terdapat keterlibatan para ahli untuk menentukan pilihannya dari sekian banyak alternatif ayat hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Quran menyangkut kasus yang dihadapi. Satu pilihan yang didasarkan atas kondisi sosial atau kenyataan objektif dari masing-masing orang. Ada tiga ayat hukum yang berbeda menyangkut khamr (minuman keras). Ketiganya tidak batal, melainkan berubah sesuai dengan perubahan kondisi. Para ahli dapat memilih salah satu di antaranya, sesuai dengan kondisi yang dihadapinya.
Hal ini agaknya dapat dikuatkan dengan memperhatikan bentuk plural pada ayat Al-Nahl tersebut, “apabila Kami mengganti suatu ayat …”, kata “kami” di sini menurut hemat penulis, sebagaimana halnya secara umum kata “Kami” yang menjadi pengganti nama Tuhan dalam ayat-ayat lain, menunjukkan adanya keterlibatan selain Tuhan (manusia) dalam perbuatan yang digambarkan oleh kata kerja pada masing-masing ayat. Ini berarti ada keterlibatan manusia (yakni para ahli) untuk menetapkan alternatifnya dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan oleh ayat-ayat Al-Quran yang mansukh atau diganti itu.
Nasikh artinya penghapus, dan mansukh artinya yang dihapus baik hukumnya atau lafadznya atau lafadz dan hukumnya. ahlussunah meyakini adanya nasikh dan mansukh dalam alqur’an, beda dengan kaum mu’tazilah yang mengingkari adanya nasikh dan mansukh.
Apakah ayat yang memansukhkan itu dari segi maknanya atau keseluruhan ayat tersebut?
-. Ayat yang di mansukh itu bisa jadi dimansukh secara lafadznya tapi hukumya tetap seperti ayat rajam.
-. Terkadang dimansukh hukumnya tapi lafadznya tetap, seperti ayat dalam surat al-anfal tentang jumlah kaum muslmin dalam menghadapi kaum kuffar, ayat ini dimansukh oleh ayat setelahnya yang bunyinya al aaana khoffaffallahu’ankum wa ‘alima anna fiikum dlo’fa…..dan seterusnya. membacanya adalah ibadah sama dengan ayat-ayat lainnya. sebagai rujukan silahkan lihat buku irsyadulfuhul oleh imam assyaukany.
Catatan kaki
151 Lihat antara lain Al-Fairuzzabadiy dalam Al-Qamus Al-Muhith, Al-Halabiy, Mesir, cet. II, 1952, Jilid I, h. 281. Lihat juga Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, Mesir, 1957, cet. I, jilid III, h. 28.
152 Al-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’at, Dar Al-Ma’arif, Beirut, 1975, jilid III, h. 108.
153 Abdul ‘Azim Al-Zarqani, Manahil A-’Irfan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Al-Halabiy, Mesir 1980, Jilid II, h. 254.
154 Ismail Ibn Katsir, Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, Sulaiman Mar’iy, Singapura, t.t.h., jilid I, h. 151.
155 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghiy, Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid I, h. 187.
156 Ibid.
157 Lihat antara lain Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1367 H, cet. III, jilid 1, h. 415-416.
158 Lihat ‘Abdul Azim Al-Zarqani, op cit., h. 208.
159 Ibid., h. 209.
160 Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, op cit., h. 237.
161 ‘Abdul Azim Al-Zarqani, op cit., h. 237.
162 Al-Syatibi, op cit., h. 105.

PENGUMPULAN AL-QURAN


A. Periode Pengumpulan Al-Qur’an
Pengumpulan Al-Qur’anul Karim terbagi dalam dua periode:
Periode Nabi SAW.
Periode Khulafaur Rasyidin.
Masing-masing periode tersebut mempunyai beberapa ciri dan keistimewaan. Istilah pengumpulan kadang-kadang dimaksudkan dengan penghafalan dalam hati, dan kadang-kadang pula dimaksudkan dengan penulisan dan pencatatan dalam lembaran-lembaran.
1. Pengumpulan Al-Qur’an Periode Nabi SAW
ada dua kategori:

Pengumpulan dalam dada berupa penghafalan dan penghayatan/pengekspresian,
Pengumpulan dalam dokumen atau catatan berupa penulisan pada kitab maupun berupa ukiran.
Kami akan menjelaskan keduanya secara terurai dan mendetail agar nampak bagi kita suatu perhatian yang mendalam terhadap Al-Qur’an dan penulisannya serta pembukuannya. Langkah-langkah semacam ini tidak terjadi pada kitab-kitab samawy lainnya sebagaimana halnya perhatian terhadap Al-Qur’an, sebagai kitab yang maha agung dan mu’jizat Muhammad yang abadi.
a. Pengumpulan Al-Qur’an dalam dada berupa penghafalan dan penghayatan.
Al-Qur’anul Karim turun kepada Nabi yang ummy (tidak bisa baca-tulis). Karena itu perhatian Nabi hanyalah dituangkan untuk sekedar menghafal dan menghayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Qur’an persis sebagaimana halnya Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah itu ia membacakannya kepada orang-orang dengan begitu terang agar merekapun dapat menghafal dan memantapkannya. Yang jelas adalah bahwa Nabi seorang yang ummy dan diutus Allah di kalangan orang-orang yang ummy pula, Allah berfirman:

Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dengan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. (Al-Jumu’ah: 2)
Biasanya orang-orang yang ummy itu hanya mengandalkan kekuatan hafalan dan ingatannya, karena mereka tidak bisa membaca dan menulis. Memang bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an, mereka berada dalam budaya Arab yang begitu tinggi, ingatan mereka sangat kuat dan hafalannya cepat serta daya fikirnya begitu terbuka.
Orang-orang Arab banyak yang hafal beratus-ratus ribu syair dan mengetahui silsilah serta nasab keturunannya. Mereka dapat mengungkapkannya di luar kepada, dan mengetahui sejarahnya. Jarang sekali diantara mereka yang tidak bisa mengungkapkan silsilah dan nasab tersebut atau tidak hafal Al-Muallaqatul Asyar yang begitu banyak syairnya lagi pula sulit dalam menghafalnya.
Begitu Al-Qur’an datang kepada mereka dengan jelas, tegas ketentuannya dan kekuasaannya yang luhur, mereka merasa kagum, akal fikiran mereka tertimpa dengan Al-Qur’an, sehingga perhatiannya dicurahkan kepada Al-Qur’an. Mereka menghafalnya ayat demi ayat dan surat demi surat. Mereka tinggalkan syair-syair karena merasa memperoleh ruh/jiwa dari Al-Qur’an.
b. Pegumpulan dalam bentuk tulisan.
Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur’anul Karim ialah pengumpulan dan penulisannya dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur’an beliau memerintahkan kepada mereka menulisnya, untuk memperkuat catatan dan dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap kitab Allah ‘Azza Wa Jalla, sehingga penulisan tesebut dapat melahirkan hafalan dan memperkuat ingatan.
Penulis-penulis tersebut adalah sahabat pilihan yang dipilih oleh Rasul dari kalangan orang yang terbaik dan indah tulisannya agar mereka dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantara mereka adalah Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka’ab; Muadz bin Jabal, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Khulafaur Rasyidin dan Sahabat-sahabat lain.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas r.a. bahwasanya ia berkata: “Al-Qur’an dikumpulkan pada masa Rasul SAW oleh 4 (empat) orang yang kesemuanya dari kaum Anshar; Ubay bin Ka’ab, Mu’adz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid. Anas ditanya: “Siapa ayah Zaid?” Ia menjawab: “Salah seorang pamanku”.
2. Pengumpulan Al-Qur’an Periode Khulafaur Rasyidin
a. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Abu Bakar
Rasulullah SAW berpulang ke rahmatullah setelah beliau selesai menyampaikan risalah dan amanah, menasehati ummat serta memberi petunjuk. pada agama yang lurus. Setelah beliau wafat kekuasaan dipegang oleh Abu Bakar Siddik ra .
Pada masa pemerintahannya Abu Bakar banyak menghadapi malapetaka, berbagai kesulitan dan problem yang rumit, diantaranya memerangi orang-orang yang murtad (keluar dari agama Islam) yang ada di kalangan orang Islam, memerangi pengikut Musailamah al-Kadzdzab.
Peperangan Yamamah adalah suatu peperangan yang amat dahsyat. Banyak kalangan sahabat yang hafal Al-Qur’an dan ahli bacanya mati syahid yang jumlahnya lebih dari 70 orang huffazh ternama. Oleh karenanya kaum muslimin menjadi bingung dan khawatir. Umar sendiri merasa prihatin lalu beliau menemui Abu Bakar yang sedang dalam keadaan sedih dan sakit. Umar mengajukan usul (bermusyawarah dengannya) supaya mengumpulkan Al-Qur’an karena khawatir lenyap dengan banyaknya khufazh yang gugur, Abu Bakar pertama kali merasa ragu.
Setelah dijelaskan oleh Umar tentang nilai-nilai positipnya ia memandang baik untuk menerima usul dari Umar. Dan Allah melapangkan dada Abu Bakar untuk melaksanakan tugas yang mulia tersebut, ia mengutus Zaid bin Tsabit dan mengajukan persoalannya, serta menyuruhnya agar segera menangani dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushhaf. Mula pertama Zaid pun merasa ragu, kemudian iapun dilapangkan Allah dadanya sebagaimana halnya Allah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam shahihnya tentang kisah pengumpulan ini. Karena pentingnya maka di sini kami menukilnya sebagai berikut:
“Dari Zaid bin Tsabit r.a. bahwa ia berkata: “Abu Bakar mengirimkan berita kepadaku tentang korban pertempuran Yamamah, setelah orang yang hafal Al-Qur’an sejumlah 70 orang gugur. Kala itu Umar berada di samping Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar mengatakan “Umar telah datang kepadaku dan ia mengatakan: “Sesungguhnya pertumpahan darah pada pertempuran Yamamah banyak mengancam terhadap para penghafal Al-Qur’an. Aku khawatir kalau pembunuhan terhadap para penghafal Al-Qur’an terus-menerus terjadi di setiap pertempuran, akan mengakibatkan banyak Al-Qur’an yang hilang. Saya berpendapat agar anda memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Al-Qur’an”. Aku (Abu Bakar) menjawab: “Bagaimana aku harus melakukan suatu perbuatan sedang Rasul SAW tidak pernah melakukannya?”. Umar r.a. menjawab: “Demi Allah perbuatan tersebut adalah baik”. Dan ia berulangkali mengucapkannya sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana ia melapangkan dada Umar. Dalam hal itu aku sependapat dengan pendapat Umar.
Zaid berkata: Abu Bakar mengatakan: “Anda adalah seorang pemuda yang tangkas, aku tidak meragukan kemampuan anda. Anda adalah penulis wahyu dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu telitilah Al-Our’an dan kumpulkanlah….!” Zaid menjawab: “Demi Allah andaikata aku dibebani tugas untuk memindahkan gunung tidaklah akan berat bagiku jika dibandingkan dengan tugas yang dibebankan kepadaku ini”.
Saya mengatakan: “Bagaimana anda berdua akan melakukan pekerjaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasululah SAW?”. Abu Bakar menjawab: “Demi Allah hal ini adalah baik”, dan ia mengulanginya berulangkali sampai aku dilapangkan dada oleh Allah SWT sebagaimana ia telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar.
Selanjutnya aku meneliti dan mengumpulkan Al-Qur’an dari kepingan batu, pelepah kurma dan dari sahabat-sahabat yang hafal Al-Qur’an, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surat At-Taubah dari Abu Khuzaimah Al-Anshary yang tidak terdapat pada lainnya (yaitu):

Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat baginya apa yang kamu rasakan, ia sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan) maka katakanlah: Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ‘Arsy yang agung. (At-Taubah: 128-129).
Lembaran-lembaran tersebut disimpan pada Abu Bakar sampai ia wafat Kemudian (diserahkan) kepada Umar sampai wafat dan kemudian disimpan di rumah Hafsah binti Umar
b. Pengumpulan Al-Qur’an Pada Masa Utsman
Semakin meluasnya daerah kekuasaan islam pada masa Utsman membuat perbedaan yang cukup mendasar dibandingkan dengan pada masa Abu Bakar
Latar belakang pengumpulan Al-Qur’an di masa Utsman r.a. adalah karena beberapa faktor lain yang berbeda dengan faktor yang ada pada masa Abu Bakar. Daerah kekuasaan Islam pada masa Utsman telah meluas, orang-orang Islam telah terpencar di berbagai daerah dan kota. Di setiap daerah telah populer bacaan sahabat yang mengajar mereka.
Penduduk Syam membaca Al-Qur’an mengikuti bacaan Ubay ibnu Ka’ab, penduduk Kufah mengikuti bacaan Abdullah Ibnu Mas’ud, dan sebagian yang lain mengikuti bacaan Abu Musa al-Asy’ari. Diantara mereka terdapat perbedaan tentang bunyi huruf, dan bentuk bacaan. Masalah ini membawa mereka kepada pintu pertikaian dan perpecahan sesamanya. Hampir satu sama lainnya saling kufur-mengkufurkan karena berbeda pendapat dalam bacaan.
Diriwayatkan dari Abi Qilabah bahwasanya ia berkata: “Pada masa pemerintahan Utsman guru-pengajar menyampaikan kepada anak didiknya, guru yang lain juga menyampaikan kepada anak didiknya. Dua kelompok murid tersebut bertemu dan bacaannya berbeda, akhirnya masalah tersebut sampai kepada guru/pengajar sehingga satu sama lain saling mengkufurkan. Berita tersebut sampai kepada Utsman. Utsman berpidato dan seraya mengatakan: “Kalian yang ada di hadapanku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku pasti lebih-lebih lagi perbedaannya”.
Karena latar belakang dari kejadian tersebut Utsman dengan kehebatan pendapatnya dan kebenaran pandangannya ia berpendapat untuk melakukan tindakan prefentip menambal pakaian yang sobek sebelum sobeknya meluas dan mencegah penyakit sebelum sulit mendapat pengobatannya. Ia mengumpulkan sahabat-sababat yang terkemuka dan cerdik cendekiawan untuk bermusyawarah dalam menanggulangi fitnah (perpecahan) dan perselisihan.
Mereka semua sependapat agar Amirul Mu’minin menyalin dan memperbanyak mushhaf kemudian mengirimkannya ke segenap daerah dan kota dan selanjutnya menginstruksikan agar orang-orang membakar mushhaf yang lainnya sehingga tidak ada lagi jalan yang membawa kepada pertikaian dan perselisihan dalam hal bacaan Al-Qur’an.
Sahabat Utsman melaksanakan keputusan yang sungguh bijaksana tadi, ia menugaskan kepada empat orang sahabat pilihan, lagi pula hafalannya dapat diandalkan. Mereka tersebut adalab Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Said Ibnu al-’Asb dan Abdurrahman Ibnu Hisyam. Mereka semua dari suku Quraisy golongan muhajirin kecuali Zaid Ibnu Tsabit, dimana ia adalah dari kaum Anshar. Pelaksanaan gagasan yang mulia ini adalah pada tahun kedua puluh empat hijrah.
Utsman mengatakan kepada mereka: “Bila anda sekalian ada perselisihan pendapat tentang bacaan, maka tulislah berdasarkan bahasa Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Quraisy”. Utsman meminta kepada Hafsah binti Umar agar ia sudi menyerahkan mushhaf yang ada padanya sebagai hasil dari jasa yang telah dikumpulkan Abu Bakar, untuk ditulis dan diperbanyak. Dan setelah selesai akan dikembalikan lagi, Hafsah mengabulkannya.
c. Motif Utsman mengumpulkan Al-Qur’an
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas Ibnu Malik bahwasanya ia berkata:
“Sesungguhnya Hudzaifah Ibnu al-Yaman datang kepada Utsman, ketika itu, penduduk Syam bersama-sama dengan penduduk Irak sedang berperang menaklukkan daerah Armenia dan Adzerbaijan. Tiba-tiba Hudzaifah merasa tercengang karena penyebabnya adalah faktor perbedaan dalam bacaan. Hudzaifah berkata kepada Utsman: “Ya Amirul Mu’minin perhatikanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan dalam masalah Kitab sebagaimana perselisihan diantara kaum Yahudi dan Nasrani”.
Selanjutnya Utsman mengirim surat kepada Hafsah yang isinya:
“Kirimlah kepada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur’an kami akan menyalinnya dalam bentuk mushhaf dan setelah selesai akan kami kembalikan lagi kepada anda”. Kemudian Hafsah mengirimkannya kepada Utsman. Utsman memerintahkan kepada Zaid ibnu Tsabit, Abdullah ibnu Zubair, Said ibnu al-’Ash dan Abdurrahman ibnu al-Harits ibnu Hisyam lalu mereka menyalinnya dalam mushhaf.
Utsman berpesan kepada ketiga kaum Quraisy: “Bila anda bertiga dan Zaid ibnu Tsabit berbeda pendapat tentang hal Al-Qur’an maka tulislah dengan ucapan/lisan Quraisy karena Al-Qur’an diturunkan dengan lisan Quraisy”.
Setelah mereka selesai menyalin ke dalam beberapa mushhaf, Utsman mengembalikan lembaran/mushhaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushhaf yang baru tersebut ke seluruh daerah dan ia memerintahkan agar semua bentuk lembaran/mushhaf yang lain dibakar.(HR. al-Bukhari).
d. Perbedaan antara Mushhaf Abu Bakar dan Mushhaf Utsman
Perbedaan antara pengumpulan (mushhaf) Abu Bakar dan Utsman sebagaimana kami kemukakan di atas dapat kami ketahui dan kami tandai dari masing-masingnya.
Pengumpulan mushhaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisan Al-Qur’an ke dalam satu mushhaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan-kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binatang. Adapun latar belakangnya karena banyaknya huffazh yang gugur. sedangkan pengumpulan mushhaf pada masa Utsman adalah menyalin kembali yang telah tersusun pada masa Abu Bakar, dengan tujuan untuk dikirimkan ke seluruh negara Islam. Latar belakangnya adalah disebabkan karena adanya perbedaan dalam hal membaca Al-Qur’an.
e. Beberapa Keistimewaan Mushhaf Abu Bakar ash-Shiddiq
Keunggulan yang dimilki oleh mushhaf Abu Bakar ash-Shiddiq
Lembaran-lembaran yang dikumpulkan dalam satu mushhaf pada masa Abu Bakar memiliki beberapa keistimewaan yang terpenting:
(1)
Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
(2)
Yang tercatat dalam mushhaf banyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh bacaannya.
(3)
Ijma’ ummat terhadap mushhaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
(4)
Mushhaf mencakup qira’at sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar shahih.
Keistimewaan-keistimewaan tersebut membuat para sahabat kagum dan terpesona terhadap usaha Abu Bakar, dimana ia memelihara Al-Qur’an dari bahaya kemusnahan, dan itu berkat taufiq serta hidayah dari Allah Azza wa Jalla.
Ali berkata: “Orang yang paling berjasa dalam hal Al-Qur’an ialah Abu Bakar r.a. ia adalah orang yang pertama mengumpulkan Al-Qur’an/Kitabullah.
Pengumpulan Al-Qur’an adalah perbuatan yang mulia lagi abadi. Sejarah senantiasa akan mengenangnya dengan keindahan dan pujian yang harum terhadap Abu Bakar karena pengarahan dan pengawasannya, dan kepada Zaid bin Tsabit karena pelaksanaan dan usahanya.
Pengumpulan Al-Qur’an dalam bentuk satu mushhaf pada masa Abu Bakar tidaklah dimaksudkan bahwa para sahabat sebelumnya samasekali tidak ada yang memiliki lembaran-lembaran kertas yang bertuliskan Al-Qur’an. Tidaklah menyatakan bahwa di kalangan sahabat tidak ada yang memiliki mushhaf tertentu, hanya saja mushhaf-mushhaf yang ada pada mereka itu tidak diteliti secara seksama sebagaimana halnya mushhaf Abu Bakar yang begitu benar-benar dalam penelitiannya, yang tertulis hanyalah yang tidak dinasakh bacaannya, kepopulerannya sampai mutawatir (menurut semua orang). Semua orang sependapat untuk menerimanya, lagi pula mencakup bacaan menurut qira’at sab’ah sebagaimana telah dikemukakan terdahulu.
Ali secara pribadi memiliki mushhaf (khusus yang ditulisnya pada masa permulaan pengangkatan khalifah Abu Bakar dimana ia telah bertekad menulisnya dengan tidak akan keluar-keluar rumah kecuali untuk melakukan shalat sampai ia selesai menulisnya. Diriwayatkan oleh as-Suyuthy dari Muhammad ibnu Sirin dari ‘Ikrimah bahwasanya ia berkata: “Pada saat pengangkatan Abu Bakar, Ali tetap berada di rumahnya. Kemudian dikatakan kepada Abu Bakar: Ali tidak menyenangi baiatmu….” Selanjutnya Abu Bakar mengirim surat kepada Ali.
Dan ia mengatakan: “Apakah anda benci dengan pengangkatanku?”. Ali menjawab: “Aku melihat kitab Allah ada yang diselipi, jiwanya membisikkan padaku agar aku tidak memakai selendang atau berpakaian kecuali kalau aku melakukan shalat sampai aku membukukannya”. Abu Bakar mengatakan kepadanya: “Benar yang anda lihat itu”. Pada kenyataannya Ali memiliki satu mushhaf, tetapi sebagaimana yang dikemukakan Ibnu Sirrin di dalamnya masih terdapat nasikh dan mansukh tidak sebagaimana mushhaf Abu Bakar.
f. Penyempurnaan Penulisan Al-Qur’an setelah Masa Kholifah
Mushaf yang ditulis pada masa kholifah Ustman tidak memiliki harokat dan tanda titik. Setelah banyak orang non-arab memeluk islam, mereka merasa kesulitan dalam membaca Al-Qur.an, Pada masa Khlifah ’Abd Al-Malik ( 685-705 ) penyempurnaan penulisan Al-Qur’an dimulai dilakukan. Dua tokoh yang berjasa pada masa ini yaitu ’Ubaidillah bin Ziyad ( w. 67 H, ) dan Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi ( w. 95 H. ). Upaya penyempurnaan dilakukan bertahap oleh setiap generasi sampai abad III H ( akhir abad IX M. ).
Penerbitan mushaf Al-Qur.an dengan label islam baru dimulai pada tahun 1787. Yang menerbitkan adalah Maulaya ’Utsman. Di negara arab, raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan Al-Qur’an pada abad XX. Panitia yang dimotori para Syekh Al-Azhar ini pada tahun 1342 H./ 1828 M. berhasil menerbitkan mushaf Al-Qur’an dengan cetakan bagus. Mushaf yang pertama terbit di negara Arab ini dicetak sesuai dengan riwayat Hfsah atau qiro’at ‘Ashim. Sejas itu berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir dan di berbagai negara.

APAKAH TEHKNOLOGI PENDIDIKAN

Berikut, adalah definisi teknologi pendidikan/pembelajaran berdasarkan beberapa definisi dari tahun ke tahun sampai yang terkini.
Comission on Instructional Technology, 1970:
A systematic way of designing, implementing, and evaluating the total process of of learning and teaching in terms of specific objectives, based on research in human learning and communication and employing a combination of human and non human resources to bring about more effective instruction.
Suatu cara yang sistematis dalam mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi proses keseluruhan dari belajar dan pembelajaran dalam bentuk tujuan pembelajaran yang spesifik, berdasarkan penelitian dalam teori belajar dan komunikasi pada manusia dan menggunakan kombinasi sumber-sumber belajar dari manusia maupun non-manusia untuk membuat pembelajaran lebih efektif.
Jadi, menrut konsep ini tujuan utama teknologi pembelajaran adalah membuat agar suatu pembelajaran lebih efektif. Bagaimana hal itu dilakukan? Dengan cara mendesain, melaksanakan dan mengevaluasi secara sistematis berdasarkan teori komunikasi dan belajar tentunya, serta memanfaatkan segala sumber baik yang bersifat manusia maupun non-manusia. dengan demikian, sejak tahun 1970an, sudah ada pandangan bahwa manusia (dalam hal ini guru) bukanlah satu-satunya sumber belajar.
AECT (1972):
Educational tehcnology is a field involved in the facilitation of human learning through the systematic identification, development, organization and utilization of full range of learning resources and through the management of these process.
Teknologi pendidikan adalah satu bidang/disiplin dalam memfasilitasi belajar manusia melalui identifikasi, pengembangan, pengeorgnasiasian dan pemanfaatan secara sistematis seluruh sumber belajar dan melalui pengelolaan proses kesemuanya itu.
Serupa tapi tak sama, bukan? Berdasarkan pengertian ini, jelas dikatakan bahwa teknologi pendidikan adalah suatu disiplin ilmu yang memfokuskan diri dalam upaya memfasilitasi belajar pada manusia. Jadi obyek formal teknologi pendidikan menurut pengertian ini adalah bagaimana memfasilitasi belajar. Dengan cara apa? Melalui identifikasi, pengembangan, pengeorgnasiasian dan pemanfaatan secara sistematis seluruh sumber belajar. Disamping itu, melalui pengelolaan yang baik dan tepat terhadap proses daripada pengembangan, pengeorgnasiasian dan pemanfaatan secara sistematis seluruh sumber belajar tersebut.
AECT (1977):
Teknologi Pendidikan adalah proses kompleks yang terintegrasi meliputi orang, prosedur, gagasan, sarana dan organisasi untuk menganalisis masalah dan merancang, melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah dalam segala aspek belajar manusia.
Ini adalah definisi yang paling “ribet” menurut saya. Tapi, sudah jelas menurut pengertian ini bahwa obyek formal teknologi pendidilkan adalah memecahkan masalah belajar manusia. Dilakukan dengan cara menganalisis maslah terlebih dahulu, baru kemudian melaksanakan, menilai dan mengelola pemecahan masalah tersebut.
AECT (1994):
Teknologi Instruksional adalah teori dan praktek dalam mendesain, mengembangkan, memanfaatkan, mengelola, dan menilai proses-proses maupun sumber-sumber belajar.
Definisi ini lebih operasional dari pada rumusan tahun 1977 yang menurut saya terlalu rumit. Definisi ini menegaskan adanya lima domain (kawasan) teknologi pembelajaran, yaitu kawasan desain, kawasan pengembangan, kawasan pemanfaatan, kawasan pengelolaan, dan kawasan penilaian baik untuk proses maupun sumber belajar. Seorang teknolog pembelajaran bisa saja memfokuskan bidang garapannya dalam salah satu kawasan tersebut.
Tom Cutchall (1999)
Instructional technology is the research in and application of behavioral science and learning theories and the use of a systems approach to analyze, design, develop, implement, evaluate and manage the use of technology to assist in the solving of learning or performance problems. (source: http://www.arches.uga.edu/~cutshall/tomitdef.html)
Definisi menurut Cutchal ini sama seperti definisi AECT 1994. Dia menekankan bahwa teknologi pembelajaran merupakan penelitian dan aplikasi ilmu prilaku dan teori belajar dengan menggunakan pendekatan sistem untuk melakukan analisis, desain, pengembangan, implementasi, evaluasi dan pengelolaan penggunaan teknologi untuk membantu memecahkan masalah belajar dan kinerja. Tujuan utamanya adalah pemanfaatan teknologi (soft-technology maupun hard-technology) untuk membantu memecahkan masalah belajar dan kinerja manusia.
AECT (2004):
Educational technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processes and resources.
Ini adalah definisi terbaru yang menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah studi dan praktek etis dalam upaya memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja dengan cara menciptakan, menggunakan/memanfaatkan, dan mengelola proses dan sumber-sumber teknologi yang tepat. Jelas, tujuan utamanya masih tetap untuk memfasilitasi pembelajaran (agar efektif, efisien dan menarik/joyfull) dan meningkatkan kinerja.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa:• teknologi pembelajaran / teknologi pendidikan adalah suatu disiplin/bidang (field of study)• istilah teknologi pembelajaran dipakai bergantian dengan istilah teknologi pendidikan• tujuan utama teknologi pembelajaran adalah (1) untuk memecahkan masalah belajar atau memfasilitasi pembelajaran; dan (2) untuk meningkatkan kinerja;• dalam mewujudkan tersebut menggunakan pendekatan sistemi (pendekatan yag holistik/komprehensif, bukan pendekatan yang bersifat parsial);• kawasan teknologi pembelajaran dapat meliputi kegiatan yang berkaitan dengan analisis, desain, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan, implementasi dan evaluasi baik proses-proses maupun sumber-sumber belajar.• teknologi pembelajaran tidak hanya bergerak di persekolahan tapi juga dalam semua aktifitas manusia (seperti perusahaan, keluarga, organisasi masyarakat, dll) sejauh berkaitan dengan upaya memcahkan masalah belajar dan peningkatan kinerja.• yang dimaksud dengan teknologi disini adalah teknologi dalam arti yang luas, bukan hanya teknologi fisik (hardtech), tapi juga teknologi lunak (softtech